Jejak Lokalisasi di Jawa (dimuat di Koran Suara Merdeka 25 Mei 2014)

Jejak Lokalisasi di Jawa



Wacana penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya membawa kita menapaki jejak sejarah seksualitas di tanah Jawa. Seksualitas adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia, begitulah kata Michael Foucault (1926-1984). Karenanya ia telah ada sejak manusia pertama kali diciptakan. Jawa telah mengubah seksualitas tak semata sebagai sebuah persetubuhan, namun ritus dan pamrih religius. Ia direpresi dengan ketat, namun jejaknya masih dapat kita telisik dengan jelas. Seksualitas dianggap sebagai sebuah kebutuhan kultural, sehingga lahirlah tempat-tempat khusus untuk merayakannya.
Pada masa kerajaan di Jawa, seks disiarkan lewat serat yang berisi suluk dan tembang. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga musikalitas. Tak ubahnya mendendangkan musikalisasi puisi. Lihatlah serat Centhini, Nitimani, Gatholoco dan Dhamogandul. Di banyak serat tersebut kisah-kisah seksualitas diuraikan secara indah penuh citra estetik. Di ruang publik, pembicaraan tentang seksualitas dikontrol dengan pelbagai aturan norma susila. Namun ia justru dapat tergambarkan jelas lewat tetembangan Jawa (Macapat, Dandhanggula, Asmaradhana, dan lain sebagainya). Antara estetika dengan erotika berbaur menjadi satu. Serat-serat tersebut segera menjadi primadona. Dilagukan tapi juga dihayati makna dan artinya. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai seks sudah ada pada tahun 1814 semasa pemerintahan Paku Buwana IV sebagai Raja Surakarta yang ditandai dengan hadirnya serat Centhini. Bahkan konon, Centhini merupakan serat paling vulgar memberitakan seksualitas. Tersusun menjadi 722 jenis tembang.
Kisah-kisah prostitusi dalam serat Centhini begitu realis, seolah menunjukkan jejak pengalaman pribadi dari si pengarang. Bahkan ada yang mengindikasikan serat tersebut dibuat oleh raja sendiri (Paku Buwana IV), orang yang memiliki “kuasa” untuk melakukan hubungan seksualitas dengan banyak orang. Tak hanya wanita, sesama lelaki, bahkan prilaku menyimpang hubungan intim antara manusia dan hewan disiarkan dengan jelas lewat serat tersebut. Seksualitas kemudian dianggap sebagai sebuah ritus sakral, tak semata sebagai gejolak nafsu. Lahirlah tradisi yang mengambil seksualitas sebagai sumber. Patung linga-yoni (kelamin lelaki dan perempuan) bertebaran secara terbuka lewat relief candi (lihat candi Sukuh di Jawa Tengah). Kesenian-kesenian yang mengangkat ritus kesuburan (persentuhan lelaki-wanita) diciptakan seperti Tayub, Gandung dan Lengger. Gending-gending gamelan yang berkisah tentang seksualitas seperti Cucur Bawuk dan Rembun dibunyikan.
Hadir pula tempat-tempat sakral yang ditujukan untuk berhubungan seks. Keraton memiliki ruang-ruang “persetubuhan” yang wingit antara raja dan ratu pantai selatan seperti Panggung Sanggabuwana di Surakarta. Bahkan raja juga memiliki kuasa, hak dan tempat khusus –baca Umbul Pasiraman Taman Sari Yogyakarta- untuk berhubungan seks dengan siapapun wanita yang ditunjuknya. Lihat pula misalnya sejarah penari bedhaya di keraton. Raja berhak memilih salah satu penari Bedhaya untuk menemaninya “tidur”. Penari tersebut dianggap memiliki kekuatan mistis, sebagai titisan dari Kanjeng Ratu Pantai Selatan. Persetubuhan dilangsungkan atas nama pamrih kultural dan kepentingan religius. Raja di Jawa kemudian memiliki banyak anak karena memiliki banyak wanita pendamping. Seksualitas tumbuh subur. Lelaki dianggap jantan dan berkuasa kala mampu berhubungan dengan banyak wanita. Raja dan penguasa di Jawa mengajarkan tradisi itu.
Otto Sukatno dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002) menjelaskan, prilaku penguasa Jawa yang demikian memberi umpan balik bagi rakyat untuk meniru dan melakukan hal serupa. Bedanya, masyarakat akar rumput melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Semakin lama, lahirlah tempat dan komunitas yang memperdagangkan tubuh dan raga wanita. Kegiatan prostitusi tersebut adakalanya berlindung di balik nama tradisi ritus kesuburan Jawa. Simak kemudian bagaimana lokalisasi yang terjadi di gunung Kemukus Jawa Tengah. Seksualitas dijalankan atas nama tradisi, demi mengharap pamrih pesugihan. Konon untuk mendapatkan kekayaan, seseorang harus melakukan pesta seks dengan wanita (bukan istri) selama tujuh kali berturut-turut dengan pasangan yang sama. Ritual ini agaknya masih berlangsung hingga sekarang.
Wanita di zaman kerajaan banyak digunakan sebagai persembahan atau seserahan bagi penguasa dan raja. Tradisi ini mengharuskan wanita dihargai dalam jumlah nominal tertentu, kemudian berkembang menjadi bisnis prostitusi. Pada akhirnya setiap daerah berlomba untuk memiliki “bilik” lokaliasasi sendiri, Pasar Kembang di Yogyakarya, Kramat Gantung di Jakarta, Saritem di Bandung, kawasan RRI di Solo, dan Dolly di Surabaya. Terlebih bagi kota-kota perdagangan semacam Surabaya. Para saudagar yang singgah menyempatkan diri untuk “menikmati” wanita pribumi. Lewat catatan Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, Surabaya pada 1864, telah memiliki 18 rumah prostitusi dan pelakunya berjumlah 228 wanita (Tom Saptaatmaja, 2014). Surabaya menjadi tempat berlabuh bagi banyak kapal dari daerah lain untuk pelbagai kepentingan. Akibatnya ada semacam keharusan untuk menyediakan pelbagai layanan jasa tak terkecuali seksualitas.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut