Jejak Lokalisasi
di Jawa
Wacana penutupan lokalisasi Dolly di
Surabaya membawa kita menapaki jejak sejarah seksualitas di tanah Jawa.
Seksualitas adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia,
begitulah kata Michael Foucault (1926-1984). Karenanya ia telah ada sejak manusia pertama kali
diciptakan. Jawa telah mengubah seksualitas tak semata sebagai sebuah
persetubuhan, namun ritus dan pamrih religius. Ia direpresi dengan ketat, namun
jejaknya masih dapat kita telisik dengan jelas. Seksualitas dianggap sebagai
sebuah kebutuhan kultural, sehingga lahirlah tempat-tempat khusus untuk
merayakannya.
Pada masa kerajaan di Jawa, seks
disiarkan lewat serat yang berisi suluk dan tembang. Membacanya tak cukup
dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga musikalitas. Tak ubahnya
mendendangkan musikalisasi puisi. Lihatlah serat Centhini, Nitimani, Gatholoco dan Dhamogandul. Di banyak serat tersebut kisah-kisah seksualitas
diuraikan secara indah penuh citra estetik. Di ruang publik, pembicaraan
tentang seksualitas dikontrol dengan pelbagai aturan norma susila. Namun ia
justru dapat tergambarkan jelas lewat tetembangan Jawa (Macapat, Dandhanggula, Asmaradhana, dan lain sebagainya).
Antara estetika dengan erotika berbaur menjadi satu. Serat-serat tersebut segera
menjadi primadona. Dilagukan tapi juga dihayati makna dan artinya. Hal ini
menunjukkan bahwa informasi mengenai seks sudah ada pada tahun 1814 semasa
pemerintahan Paku Buwana IV sebagai Raja Surakarta yang ditandai dengan
hadirnya serat Centhini. Bahkan
konon, Centhini merupakan serat
paling vulgar memberitakan seksualitas. Tersusun menjadi 722 jenis tembang.
Kisah-kisah prostitusi dalam serat
Centhini begitu realis, seolah menunjukkan jejak pengalaman pribadi dari si
pengarang. Bahkan ada yang mengindikasikan serat tersebut dibuat oleh raja
sendiri (Paku Buwana IV), orang yang memiliki “kuasa” untuk melakukan hubungan
seksualitas dengan banyak orang. Tak hanya wanita, sesama lelaki, bahkan
prilaku menyimpang hubungan intim antara manusia dan hewan disiarkan dengan
jelas lewat serat tersebut. Seksualitas kemudian dianggap sebagai sebuah ritus
sakral, tak semata sebagai gejolak nafsu. Lahirlah tradisi yang mengambil
seksualitas sebagai sumber. Patung linga-yoni (kelamin lelaki dan perempuan)
bertebaran secara terbuka lewat relief candi (lihat candi Sukuh di Jawa
Tengah). Kesenian-kesenian yang mengangkat ritus kesuburan (persentuhan
lelaki-wanita) diciptakan seperti Tayub,
Gandung dan Lengger.
Gending-gending gamelan yang berkisah tentang seksualitas seperti Cucur Bawuk dan Rembun dibunyikan.
Hadir pula tempat-tempat sakral yang
ditujukan untuk berhubungan seks. Keraton memiliki ruang-ruang “persetubuhan”
yang wingit antara raja dan ratu pantai selatan seperti Panggung Sanggabuwana di Surakarta. Bahkan raja juga memiliki
kuasa, hak dan tempat khusus –baca Umbul
Pasiraman Taman Sari Yogyakarta- untuk berhubungan seks dengan siapapun
wanita yang ditunjuknya. Lihat pula misalnya sejarah penari bedhaya di keraton. Raja berhak memilih
salah satu penari Bedhaya untuk
menemaninya “tidur”. Penari tersebut dianggap memiliki kekuatan mistis, sebagai
titisan dari Kanjeng Ratu Pantai Selatan. Persetubuhan dilangsungkan atas nama pamrih
kultural dan kepentingan religius. Raja di Jawa kemudian memiliki banyak anak
karena memiliki banyak wanita pendamping. Seksualitas tumbuh subur. Lelaki
dianggap jantan dan berkuasa kala mampu berhubungan dengan banyak wanita. Raja
dan penguasa di Jawa mengajarkan tradisi itu.
Otto Sukatno dalam Seks Para Pangeran: Tradisi
dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002) menjelaskan, prilaku penguasa Jawa yang
demikian memberi umpan balik bagi rakyat untuk meniru dan melakukan hal serupa.
Bedanya, masyarakat akar rumput melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Semakin
lama, lahirlah tempat dan komunitas yang memperdagangkan tubuh dan raga wanita.
Kegiatan prostitusi tersebut adakalanya berlindung di balik nama tradisi ritus
kesuburan Jawa. Simak kemudian bagaimana lokalisasi yang terjadi di gunung
Kemukus Jawa Tengah. Seksualitas dijalankan atas nama tradisi, demi mengharap
pamrih pesugihan. Konon untuk mendapatkan kekayaan, seseorang harus melakukan
pesta seks dengan wanita (bukan istri) selama tujuh kali berturut-turut dengan pasangan
yang sama. Ritual ini agaknya masih berlangsung hingga sekarang.
Wanita di zaman kerajaan banyak
digunakan sebagai persembahan atau seserahan bagi penguasa dan raja. Tradisi
ini mengharuskan wanita dihargai dalam jumlah nominal tertentu, kemudian berkembang
menjadi bisnis prostitusi. Pada akhirnya setiap daerah berlomba untuk memiliki
“bilik” lokaliasasi sendiri, Pasar Kembang di Yogyakarya, Kramat Gantung di Jakarta, Saritem di Bandung, kawasan RRI
di Solo, dan Dolly di Surabaya. Terlebih bagi kota-kota perdagangan
semacam Surabaya. Para saudagar yang singgah menyempatkan diri untuk
“menikmati” wanita pribumi. Lewat catatan Terence
H. Hull dan Gavin W. Jones, Surabaya pada 1864, telah memiliki 18 rumah
prostitusi dan pelakunya berjumlah 228 wanita (Tom Saptaatmaja, 2014). Surabaya
menjadi tempat berlabuh bagi banyak kapal dari daerah lain untuk pelbagai
kepentingan. Akibatnya ada semacam keharusan untuk menyediakan pelbagai layanan
jasa tak terkecuali seksualitas.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar