Ritus Menulis (dimiat di Koran Joglosemar 20 Mei 2014)

Ritus Menulis


Semua orang dapat menulis, tapi tidak setiap orang dapat menjadi seorang penulis. Kita semua menulis status di media sosial namun tidak pernah menyebut diri kita sebagai “penulis”. Artinya, penulis membutuhkan ruang dan kemampuan khusus. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) menyebut penulis sebagai profesi atau pekerjaan. Namun kita tidak pernah menemukan kata itu saat pengisian di kolom pekerjaan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini mengindikasikan bahwa penulis belum dianggap atau diakui sebagai sebuah profesi. Kalah bersaing dengan “paranormal” yang justru ada di kolom pekerjaan KTP itu. Akibatnya, definisi tentang penulis menjadi samar dan abu-abu. Padahal banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari menulis. Menulis tak semata berbagi infomasi, ide dan gagasan namun ada pamrih dan pertanggungjawaban yang disemai di balik itu.

Media
Hadirnya media sosial semacam Fecebook dan Twitter menjadikan manusia masa kini gemar menuliskan dan berkomentar tentang apapun. Baik berupa pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, kisah asmara hingga persoalan ekonomi, budaya, sosial, hukum dan politik. Tidak ada editor yang mengedit setiap kata sehingga menjadi layak untuk di baca dan dipublikasikan. Akibatnya, kata dapat bertebaran, tak peduli baik dan buruk. Kita kemudian seolah dibentuk menjadi penulis dadakan. Layaknya wartawan, merasa perlu untuk memberitakan setiap jengkal informasi. Satu orang dapat menulis atau lebih tepatnya meng-update status hingga berulangkali dalam satu hari. Menulis di media sosial seolah tak mengisyaratkan beban, bebas dan terbuka. Realitas yang yang demikian memberi satu dampak positif, tentang dunia tulis-menulis yang kembali bergairah. Namun di sisi lain, keingingan untuk senantiasa menuliskan sesuatu menjadikan informasi lebih padat, sesak, banyak yang tak terbaca. Kita terlihat berlomba-lomba menjadi penulis tanpa terlebih dahulu diawali untuk menjadi pembaca yang baik.
Menulis tak semata membekukan kata. Namun juga membawa konsekuensi logis berupa pertanggungjawaban moral. Banyak orang dipuja karena tulisan yang dilahirkannya. Namun banyak pula yang menuai kritik, ancaman dan cacian. Bahkan tak jarang di antaranya harus bertaruh nyawa. Derrida pernah berkata bahwa tulisan dapat membunuh penulisnya. Tulisan menjadi teror, senjata yang mematikan. Era digital mengawali jumlah tulisan semakin membeludak, berserakan di mana-mana. Semua ruang menjadi ajang beradu tulisan. Hal ini mengharuskan pemerintah melakukan kontrol dan pengawasan lewat undang-undang informatisi dan transaksi elektronik. Salah menulis dapat diperkarakan secara hukum. Tentu hal ini berbeda dengan dekade lalu, di mana kuasa tulisan semata hanya dimiliki oleh media massa semacam koran dan majalah. Keterbukaan dan kebebasan dalam menulis di banyak ruang (media sosial dan blog) tersebut, mengubah aktifitas serupa di media massa (koran-majalah) menjadi begitu sakral dan didamba.
Tidak semua orang dapat bebas memasukkan tulisannya ke media massa. Ada kontrol (editorial), seleksi ketat dan aturan yang jelas. Ratusan tulisan setiap harinya harus gugur untuk dapat termuat di media massa. Tulisan dianggap tidak layak karena pelbagai alasan, dari persoalan tema-topik yang basi hingga teknis susunan kalimat, gaya bahasa yang berantakan. Banyak orang kemudian mudah menyerah. Merasa dirinya tak mampu untuk menulis dan menuangkan gagasannya di koran, buletin atau majalah. Mereka kemudian membunuh mimpi menjadi penulis. Sebaliknya, jika berhasil termuat, ucapan selamat berdatangan. Tulisan itu dibaca berulang kali, dibagi lewat jejaring sosial. Komentar dan tanggapan silih berganti. Menjadi ajang kebanggaan –prestise- tersendiri. Dengan segara menyebut dirinya sebagai “penulis”. Bahkan jika beberapa kali dimuat dengan tema yang spesifik, begitu percaya diri mengubah difinisi itu menjadi “kolumnis”. Semua sah-sah saja memang, karena pembaptisan seorang penulis –sama seperti seniman dan budayawan- tak dapat dijumpai dan dilakukan layaknya meraih gelar kesarjanaan di pelbagai jenjang kampus (arsitek, dokter, insinyur, dan lain sebagainya).

Ritus
Banyak orang menggantungkan hidupnya dari aktifitas menulis. Menulis untuk memberi pencerahan. Bahkan tak jarang untuk makan dan bertahan hidup. Menulis menjadi pekerjaan pokok sehari-hari. Ide tak muncul secara tiba-tiba namun dicari dan diburu. Memburu ide dalam menulis dapat dilakukan lewat pelbagai hal, salah satunya adalah membaca. Mustahil seseorang dapat menulis dengan baik tanpa pernah menjadi pembaca yang baik pula. Menulis-membaca adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Ironisnya, kita seringkali banyak menulis tapi tak banyak membaca. Akibatnya tulisan yang dilahirkan cenderung mengulang dan dangkal informasi atau miskin temuan baru. Hal ini pula yang terjadi dalam dunia pendidikan kita semacam sekolah dan kampus. Kaum terpelajar layaknya mahasiswa seringkali melakukan aktifitas menulis dengan serius semata karena tuntutan tugas demi memburu nilai. Setelahnya mereka menjadi mandul menuliskan ide. Bahkan perkembangan teknologi informasi seolah membabtis prilaku penjiplakan –plagiasi- sebagai hal yang lumrah. Mahasiswa bisa mengerjakan makalah semalam jadi hanya berbekal dua jam di warung internet (warnet). Kampus menjadi catwalk, tempat ajang pertarungan pelbagai merek handphone, pamer baju, tas, sepatu dan make-up. Mahasiswa lebih tertarik mendadani penampilan daripada pemikiran. Menulis untuk menuangkan gagasan dan ide hanya menjadi ritual yang membosankan. Menghambur-hamburkan tenaga dan pikiran. Bahkan calo-calo tulisan bertebaran. Pembuatan makalah, skripsi, tesis hingga disertasi dapat diatur sesuai ketersediaan biaya (wani piro). Kaum intelektual masa kini begitu dimanjakan. Menulis sekenanya di media sosial dianggap lebih menantang, berisi sebaran gosip sekaligus tempat menarsiskan diri. Banyak kolom-kolom di media massa khusus mahasiswa digelar, namun tak banyak yang tertarik untuk terlibat. Jikalau ada, peminatnya dapat dihitung dengan jari. Menulis mengalami kebangkrutan eksistensi dalam jagat pendidikan kita.
Menulis tak semata menata kata, namun juga usaha untuk menolak lupa dan “mempeti-eskan” sebuah peristiwa. Menulis adalah proses kerja intelektual. Di wilayah itu, pertautan antara imajinasi, gagasan dan kenyataan terjadi. Tulisan adakalanya lebih bermakna daripada ucapan (lisan). Tulisan menjadi beku dan tahan lama daripada wicara. Tulisan menjadi jejak sebuah diri. Seseorang dapat mati, namun tulisan yang ditinggalkan akan kekal. Oleh karena itu, menulis berarti laku sakral, ritual di mana ide diretas dan dituangkan. Menulis bertujuan merubah peradaban menjadi lebih baik. Berbagi ide, solusi atau jalan keluar terhadap masalah sosial yang sedang terjadi. Menjadi penulis berarti tak mengenal lelah untuk senantiasa belajar dan membaca. Tulislah ide apapun tentang apapun dengan serius. Tidak ada tulisan yang percuma lahir. Tulisan ada karena buah kegelisahan, berniat untuk mencerahkan dan memberi pemahaman baru bagi publik.
Manfaatkan keterbukaan-perkembangan teknologi dan informasi untuk melahirkan karya-karya tulis bermutu yang mampu memberi sumbangsih berharga bagi kehidupan. Menulis tak harus menjadi “penulis”. Siapapun dan profesi apapun dapat melakukan aktifitas menulis, tak ada sekat dan batasan. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah kerja keabadian (Rumah Kaca, 1988). Peninggalan yang paling berharga adalah tulisan. Jangan biarkan ide dan gagasan menguap tak berbekas. Menulis berarti mewariskan kerja kebudayaan. Peradaban manusia dapat diukur dari seberapa banyak ia telah melahirkan karya tulis yang bermutu. Jadi, tuliskan ide anda dengan baik dan bertanggungjawab.
Aris Setiawan

Penulis

Tidak ada komentar:

Pengikut