Ritus Menulis
Semua orang dapat menulis, tapi tidak
setiap orang dapat menjadi seorang penulis. Kita semua menulis status di media
sosial namun tidak pernah menyebut diri kita sebagai “penulis”. Artinya,
penulis membutuhkan ruang dan kemampuan khusus. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005) menyebut penulis sebagai profesi atau pekerjaan. Namun kita tidak pernah
menemukan kata itu saat pengisian di kolom pekerjaan Kartu Tanda Penduduk
(KTP). Hal ini mengindikasikan bahwa penulis belum dianggap atau diakui sebagai
sebuah profesi. Kalah bersaing dengan “paranormal” yang justru ada di kolom
pekerjaan KTP itu. Akibatnya, definisi tentang penulis menjadi samar dan
abu-abu. Padahal banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari menulis. Menulis
tak semata berbagi infomasi, ide dan gagasan namun ada pamrih dan
pertanggungjawaban yang disemai di balik itu.
Media
Hadirnya media sosial semacam Fecebook
dan Twitter menjadikan manusia masa kini gemar menuliskan dan berkomentar
tentang apapun. Baik berupa pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, kisah
asmara hingga persoalan ekonomi, budaya, sosial, hukum dan politik. Tidak ada
editor yang mengedit setiap kata sehingga menjadi layak untuk di baca dan
dipublikasikan. Akibatnya, kata dapat bertebaran, tak peduli baik dan buruk.
Kita kemudian seolah dibentuk menjadi penulis dadakan. Layaknya wartawan,
merasa perlu untuk memberitakan setiap jengkal informasi. Satu orang dapat
menulis atau lebih tepatnya meng-update
status hingga berulangkali dalam satu hari. Menulis di media sosial seolah tak
mengisyaratkan beban, bebas dan terbuka. Realitas yang yang demikian memberi
satu dampak positif, tentang dunia tulis-menulis yang kembali bergairah. Namun
di sisi lain, keingingan untuk senantiasa menuliskan sesuatu menjadikan
informasi lebih padat, sesak, banyak yang tak terbaca. Kita terlihat
berlomba-lomba menjadi penulis tanpa terlebih dahulu diawali untuk menjadi
pembaca yang baik.
Menulis tak semata membekukan kata.
Namun juga membawa konsekuensi logis berupa pertanggungjawaban moral. Banyak
orang dipuja karena tulisan yang dilahirkannya. Namun banyak pula yang menuai
kritik, ancaman dan cacian. Bahkan tak jarang di antaranya harus bertaruh
nyawa. Derrida pernah berkata bahwa tulisan dapat membunuh penulisnya. Tulisan menjadi
teror, senjata yang mematikan. Era digital mengawali jumlah tulisan semakin membeludak,
berserakan di mana-mana. Semua ruang menjadi ajang beradu tulisan. Hal ini
mengharuskan pemerintah melakukan kontrol dan pengawasan lewat undang-undang informatisi
dan transaksi elektronik. Salah menulis dapat diperkarakan secara hukum. Tentu
hal ini berbeda dengan dekade lalu, di mana kuasa tulisan semata hanya dimiliki
oleh media massa semacam koran dan majalah. Keterbukaan dan kebebasan dalam
menulis di banyak ruang (media sosial dan blog) tersebut, mengubah aktifitas
serupa di media massa (koran-majalah) menjadi begitu sakral dan didamba.
Tidak semua orang dapat bebas memasukkan
tulisannya ke media massa. Ada kontrol (editorial), seleksi ketat dan aturan yang
jelas. Ratusan tulisan setiap harinya harus gugur untuk dapat termuat di media
massa. Tulisan dianggap tidak layak karena pelbagai alasan, dari persoalan
tema-topik yang basi hingga teknis susunan kalimat, gaya bahasa yang
berantakan. Banyak orang kemudian mudah menyerah. Merasa dirinya tak mampu
untuk menulis dan menuangkan gagasannya di koran, buletin atau majalah. Mereka
kemudian membunuh mimpi menjadi penulis. Sebaliknya, jika berhasil termuat,
ucapan selamat berdatangan. Tulisan itu dibaca berulang kali, dibagi lewat
jejaring sosial. Komentar dan tanggapan silih berganti. Menjadi ajang kebanggaan
–prestise- tersendiri. Dengan segara menyebut dirinya sebagai “penulis”. Bahkan
jika beberapa kali dimuat dengan tema yang spesifik, begitu percaya diri mengubah
difinisi itu menjadi “kolumnis”. Semua sah-sah saja memang, karena pembaptisan
seorang penulis –sama seperti seniman dan budayawan- tak dapat dijumpai dan
dilakukan layaknya meraih gelar kesarjanaan di pelbagai jenjang kampus
(arsitek, dokter, insinyur, dan lain sebagainya).
Ritus
Banyak orang menggantungkan hidupnya
dari aktifitas menulis. Menulis untuk memberi pencerahan. Bahkan tak jarang
untuk makan dan bertahan hidup. Menulis menjadi pekerjaan pokok sehari-hari.
Ide tak muncul secara tiba-tiba namun dicari dan diburu. Memburu ide dalam
menulis dapat dilakukan lewat pelbagai hal, salah satunya adalah membaca.
Mustahil seseorang dapat menulis dengan baik tanpa pernah menjadi pembaca yang
baik pula. Menulis-membaca adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Ironisnya,
kita seringkali banyak menulis tapi tak banyak membaca. Akibatnya tulisan yang
dilahirkan cenderung mengulang dan dangkal informasi atau miskin temuan baru.
Hal ini pula yang terjadi dalam dunia pendidikan kita semacam sekolah dan kampus.
Kaum terpelajar layaknya mahasiswa seringkali melakukan aktifitas menulis
dengan serius semata karena tuntutan tugas demi memburu nilai. Setelahnya
mereka menjadi mandul menuliskan ide. Bahkan perkembangan teknologi informasi seolah
membabtis prilaku penjiplakan –plagiasi- sebagai hal yang lumrah. Mahasiswa
bisa mengerjakan makalah semalam jadi hanya berbekal dua jam di warung internet
(warnet). Kampus menjadi catwalk,
tempat ajang pertarungan pelbagai merek handphone,
pamer baju, tas, sepatu dan make-up.
Mahasiswa lebih tertarik mendadani penampilan daripada pemikiran. Menulis untuk
menuangkan gagasan dan ide hanya menjadi ritual yang membosankan.
Menghambur-hamburkan tenaga dan pikiran. Bahkan calo-calo tulisan bertebaran.
Pembuatan makalah, skripsi, tesis hingga disertasi dapat diatur sesuai
ketersediaan biaya (wani piro). Kaum intelektual masa kini begitu
dimanjakan. Menulis sekenanya di media sosial dianggap lebih menantang, berisi
sebaran gosip sekaligus tempat menarsiskan diri. Banyak kolom-kolom di media
massa khusus mahasiswa digelar, namun tak banyak yang tertarik untuk terlibat.
Jikalau ada, peminatnya dapat dihitung dengan jari. Menulis mengalami
kebangkrutan eksistensi dalam jagat pendidikan kita.
Menulis tak semata menata kata, namun
juga usaha untuk menolak lupa dan “mempeti-eskan” sebuah peristiwa. Menulis
adalah proses kerja intelektual. Di wilayah itu, pertautan antara imajinasi,
gagasan dan kenyataan terjadi. Tulisan adakalanya lebih bermakna daripada
ucapan (lisan). Tulisan menjadi beku dan tahan lama daripada wicara. Tulisan
menjadi jejak sebuah diri. Seseorang dapat mati, namun tulisan yang
ditinggalkan akan kekal. Oleh karena itu, menulis berarti laku sakral, ritual di
mana ide diretas dan dituangkan. Menulis bertujuan merubah peradaban menjadi
lebih baik. Berbagi ide, solusi atau jalan keluar terhadap masalah sosial yang
sedang terjadi. Menjadi penulis berarti tak mengenal lelah untuk senantiasa belajar
dan membaca. Tulislah ide apapun tentang apapun dengan serius. Tidak ada
tulisan yang percuma lahir. Tulisan ada karena buah kegelisahan, berniat untuk
mencerahkan dan memberi pemahaman baru bagi publik.
Manfaatkan keterbukaan-perkembangan
teknologi dan informasi untuk melahirkan karya-karya tulis bermutu yang mampu
memberi sumbangsih berharga bagi kehidupan. Menulis tak harus menjadi “penulis”.
Siapapun dan profesi apapun dapat melakukan aktifitas menulis, tak ada sekat
dan batasan. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah kerja
keabadian (Rumah Kaca, 1988). Peninggalan yang paling berharga adalah tulisan. Jangan
biarkan ide dan gagasan menguap tak berbekas. Menulis berarti mewariskan kerja
kebudayaan. Peradaban manusia dapat diukur dari seberapa banyak ia telah
melahirkan karya tulis yang bermutu. Jadi, tuliskan ide anda dengan baik dan
bertanggungjawab.
Aris Setiawan
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar