Serat dan Pujangga Jawa (dimuat di Koran Suara Merdeka edisi 11 Mei 2014)

Serat dan Pujangga Jawa



Jawa sangat kaya dengan karya sastra. Di zaman Kerajaan Mataram dahulu kala telah mampu melahirkan sastrawan-sastrawan kondang seperti Yasadipura maupun Ranggawarsita. Mereka membuat “cerpen” dan “novel” dalam ujud tetembangan Jawa. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga kemampuan musikal (mijil, dandhanggula, sinom, kinanthi dan lain sebagainya). Oleh karena itu, tidak semua orang dapat dengan mudah memahami karya sastra Jawa. Adakalanya, gaya bahasa yang dilukiskan cenderung elitis, sulit untuk dicerna, penuh tafsir dan simbol. Terlebih, saat di mana bahasa Jawa semakin tak mampu menunjukkan ujudnya secara lebih terbuka di masa kini. Kalah dengan bahasa yang dianggap lebih modern dan gaul. Serat-serat di Jawapun mengalami kebangkrutan eksistensi, tak lagi menarik untuk dibaca dan ditembangkan. Melihat serat tak ubahnya benda antik, peninggalan nenek moyang yang kuno dan ketinggalan zaman.

Jejak
Hampir semua serat di Jawa berkisah tentang tuntunan hidup. Beberapa di antaranya Niti Sruti, Wira Wiyata, Catur Kandha, Centhini, Cabolek, Cipto Waskitho, Darmagandhul, Gatoloco, Arjuna Wiwaha, Rengganis, Rerepen, dan masih banyak lagi. Serat-serat itu menjadi kitab bagi sang pengisah seperti dalang dan penembang untuk didendangkan di hadapan publik (termasuk raja dan abdi dalem keraton). Setiap bait kemudian ditafsirkan, diinterpretasi ulang, dihayati dan dipetik maknanya bagi kehidupan. Tak jarang, lewat keindahan suara seorang penembang ulung, pendengar dapat menitihkan air mata karena tersentuh batin dan jiwanya.
Serat-serat itu konon tak dibuat semalam jadi. Namun membutuhkan laku khusus dan perenungan yang panjang. Tak jarang seorang pujangga harus tapa brata, menyepi, semedi dan puasa untuk mendapatkan ide dan ilham atas karya yang hendak dibuatnya. Setelah jadi, karya tersebut justru dipersembahkan dan diaklamasikan sebagai ciptaan seorang raja yang saat itu berkuasa. Wajar jika telisik sejarah kekuasaan di Jawa menyebutkan seorang raja mampu menciptakan puluhan serat yang monumental. Pujangga Jawa dalam konteks ini tak mengharap pamrih berupa nama besar. Bagi mereka, mempersembahkan karya untuk raja adalah wujud dari kuatnya pengabdian lahir dan batin, manembah kawula-gusti.
Pujangga Jawa bukan hanya orang terpilih yang pandai menulis dan mengarang, namun juga pandai menembang. Mereka membuat karya sastra tak ubahnya orkestra karya musik. Mempertimbangkan jumlah kata, suku kata, bait dan bunyi konsonan. Setiap serat terikat dengan hukum-hukum musikal tembang-suluk di Jawa. Serat-serat itupun mampu berpendar sebagai kidung pengantar tidur oleh para orang tua. Mengahantarkan anak keperaduan mimpi dengan tauladan kisah-kisah kehidupan yang berharga. Oleh karena itu, membaca serat berarti menelisik tentang kebudayan dan peradaban manusia di Jawa.
Parwati Wahjono (2004) dan Nurnaningsih (2010) mencoba membedah kandungan makna dalam serat Candrarini dan Centhini. Keduanya berkesimpulan bahwa ide, gagasan dan isi serat di Jawa telah melampaui peradaban di zamannya. Tema-tema yang dikisahkan adakalanya menjadi nampak kekinian di masa sekarang. Lihatlah misalnya kisah dalam serat Candrarini tentang poligami, Kalatidaha tentang zaman edan, ataupun narasi seksualitas dalam Centhini (prilaku menyimpang seperti hubungan sejenis). Artinya, pujangga Jawa memiliki kelebihan dalam melihat dan menafsir peristiwa yang akan terjadi di masa depan dengan gamblang. Mereka bukan dukun atau paranormal. Menulis tak ubahnya ibadah dan ritus sakral. Tempat bertemuanya antara kuasa intelektualitas dengan ziarah religius pada sang pencipta.
Terkait dengan hal ini, Ken Widyawati lewat tulisannya Nilai-nilai Luhur Pujangga Jawa menjelaskan bahwa serat di Jawa memiliki kuasa pesan moral yang kuat. Artinya, apa yang dikisahkan oleh sang pujangga adalah refleksi atau cerminan karakter dari si pujangga itu sendiri. Dengan demikian, pujangga berarti orang yang “qatam” seluk beluk kebudayaan Jawa (nilai, filosifis, prilaku, karakter). Ia adalah budayawan sejati, yang tak hanya sekadar berteori namun juga mampu memberi aplikasi berupa tauladan hidup. Oleh karenanya, serat-serat yang dihasilkan begitu monumental, laksana kitab yang memberi arah dan tuntunan bagi kehidupan manusia Jawa (Indonesia) menjadi lebih baik dan harmonis.
Namun kini serat-serat itu jarang dibaca, apalagi berharap untuk ditembangkan (slendro-pelog). Kemuncullannya semata hanya menjadi bahan untuk subjek penelitian kesarjanaan, sebagai syarat kelulusan mahasiswa di pelbagai kampus jurusan ilmu budaya dan bahasa. Setelahnya, ia kembali terkubur dalam ingatan sejarah. Manusia masa kini lebih khusyuk untuk menyimak kisah-kisah kehidupan instan yang didendangkan lewat televisi, handphone, tablet dan internet. Serat-serat di Jawa kemudian “terpeti-eskan”, beku dan tak mampu mencair menemani kehidupan masyarakat Jawa mutakhir. Semata menjadi mitos yang seolah tak pernah ada.  
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut