Serat dan
Pujangga Jawa
Jawa sangat kaya dengan karya sastra. Di
zaman Kerajaan Mataram dahulu kala telah mampu melahirkan sastrawan-sastrawan
kondang seperti Yasadipura maupun Ranggawarsita. Mereka membuat “cerpen” dan
“novel” dalam ujud tetembangan Jawa. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal
kemampuan bahasa, namun juga kemampuan musikal (mijil, dandhanggula, sinom, kinanthi dan lain sebagainya). Oleh
karena itu, tidak semua orang dapat dengan mudah memahami karya sastra Jawa.
Adakalanya, gaya bahasa yang dilukiskan cenderung elitis, sulit untuk dicerna,
penuh tafsir dan simbol. Terlebih, saat di mana bahasa Jawa semakin tak mampu
menunjukkan ujudnya secara lebih terbuka di masa kini. Kalah dengan bahasa yang
dianggap lebih modern dan gaul. Serat-serat di Jawapun mengalami kebangkrutan
eksistensi, tak lagi menarik untuk dibaca dan ditembangkan. Melihat serat tak
ubahnya benda antik, peninggalan nenek moyang yang kuno dan ketinggalan zaman.
Jejak
Hampir semua serat di Jawa berkisah
tentang tuntunan hidup. Beberapa di antaranya Niti Sruti, Wira Wiyata, Catur Kandha, Centhini, Cabolek, Cipto
Waskitho, Darmagandhul, Gatoloco, Arjuna Wiwaha, Rengganis, Rerepen, dan
masih banyak lagi. Serat-serat itu menjadi kitab bagi sang pengisah seperti
dalang dan penembang untuk didendangkan di hadapan publik (termasuk raja dan
abdi dalem keraton). Setiap bait kemudian ditafsirkan, diinterpretasi ulang,
dihayati dan dipetik maknanya bagi kehidupan. Tak jarang, lewat keindahan suara
seorang penembang ulung, pendengar dapat menitihkan air mata karena tersentuh
batin dan jiwanya.
Serat-serat itu konon tak dibuat semalam
jadi. Namun membutuhkan laku khusus dan perenungan yang panjang. Tak jarang
seorang pujangga harus tapa brata, menyepi, semedi dan puasa untuk
mendapatkan ide dan ilham atas karya yang hendak dibuatnya. Setelah jadi, karya
tersebut justru dipersembahkan dan diaklamasikan sebagai ciptaan seorang raja
yang saat itu berkuasa. Wajar jika telisik sejarah kekuasaan di Jawa menyebutkan
seorang raja mampu menciptakan puluhan serat yang monumental. Pujangga Jawa
dalam konteks ini tak mengharap pamrih berupa nama besar. Bagi mereka,
mempersembahkan karya untuk raja adalah wujud dari kuatnya pengabdian lahir dan
batin, manembah kawula-gusti.
Pujangga Jawa bukan hanya orang terpilih
yang pandai menulis dan mengarang, namun juga pandai menembang. Mereka membuat
karya sastra tak ubahnya orkestra karya musik. Mempertimbangkan jumlah kata,
suku kata, bait dan bunyi konsonan. Setiap serat terikat dengan hukum-hukum
musikal tembang-suluk di Jawa. Serat-serat itupun mampu berpendar sebagai kidung
pengantar tidur oleh para orang tua. Mengahantarkan anak keperaduan mimpi
dengan tauladan kisah-kisah kehidupan yang berharga. Oleh karena itu, membaca
serat berarti menelisik tentang kebudayan dan peradaban manusia di Jawa.
Parwati Wahjono (2004) dan Nurnaningsih
(2010) mencoba membedah kandungan makna dalam serat Candrarini dan Centhini.
Keduanya berkesimpulan bahwa ide, gagasan dan isi serat di Jawa telah melampaui
peradaban di zamannya. Tema-tema yang dikisahkan adakalanya menjadi nampak
kekinian di masa sekarang. Lihatlah misalnya kisah dalam serat Candrarini tentang poligami, Kalatidaha tentang zaman edan, ataupun
narasi seksualitas dalam Centhini
(prilaku menyimpang seperti hubungan sejenis). Artinya, pujangga Jawa memiliki
kelebihan dalam melihat dan menafsir peristiwa yang akan terjadi di masa depan
dengan gamblang. Mereka bukan dukun atau paranormal. Menulis tak ubahnya ibadah
dan ritus sakral. Tempat bertemuanya antara kuasa intelektualitas dengan ziarah
religius pada sang pencipta.
Terkait dengan hal ini, Ken Widyawati
lewat tulisannya Nilai-nilai Luhur
Pujangga Jawa menjelaskan bahwa serat di Jawa memiliki kuasa pesan moral
yang kuat. Artinya, apa yang dikisahkan oleh sang pujangga adalah refleksi atau
cerminan karakter dari si pujangga itu sendiri. Dengan demikian, pujangga
berarti orang yang “qatam” seluk beluk kebudayaan Jawa (nilai, filosifis,
prilaku, karakter). Ia adalah budayawan sejati, yang tak hanya sekadar berteori
namun juga mampu memberi aplikasi berupa tauladan hidup. Oleh karenanya,
serat-serat yang dihasilkan begitu monumental, laksana kitab yang memberi arah dan
tuntunan bagi kehidupan manusia Jawa (Indonesia) menjadi lebih baik dan
harmonis.
Namun kini serat-serat itu jarang dibaca,
apalagi berharap untuk ditembangkan (slendro-pelog). Kemuncullannya semata hanya
menjadi bahan untuk subjek penelitian kesarjanaan, sebagai syarat kelulusan mahasiswa
di pelbagai kampus jurusan ilmu budaya dan bahasa. Setelahnya, ia kembali
terkubur dalam ingatan sejarah. Manusia masa kini lebih khusyuk untuk menyimak
kisah-kisah kehidupan instan yang didendangkan lewat televisi, handphone,
tablet dan internet. Serat-serat di Jawa kemudian “terpeti-eskan”, beku dan tak
mampu mencair menemani kehidupan masyarakat Jawa mutakhir. Semata menjadi mitos
yang seolah tak pernah ada.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar