Digitalisasi Gamelan (dimuat di Jawapos edisi 28 Juli 2013)

Digitalisasi Gamelan



Gamelan telah bermetamorfosis.Tak semata menjadi alat musik yang mampu dilihat dan diraba secara fisik (tangible). Gamelan telah bersekutu dengan teknologi. Menemukan bentuknya yang baru menjadi lebih ringkas dan efisien. Ya, beberapa kalangan akademisi telah membuat perangkat gamelan elektronik yang baisa disebut dengan “E-Gamelan”. Salah satu kampus yang begitu berambisi menghadirkan gamelan dalam wujudnya yang baru itu adalah Uni­versitas Dian Nuswantoro (Udinus) Se­marang. Karya e-gamelan dari teman-teman Udinus tersebut telah memenangi Lomba Muhibah Se­ni Ditjen Dikti 2010, serta pernah dimain­kan di Chung Yuan Christian University Taiwan, Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Pekan Indonesia di Orchard Road Si­ngapura. Bahkan berita terbaru, e-gamelan akan dimainkan pada Hari Kebangkitan Tek­nologi Nasional (Harteknas) tanggal 29 Agustus 2013 di Jakarta, di hadapan Presiden SBY. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana e-gamelan yang intagible itu mampu menggantikan kehadiran gamelan secara fisik? Lalu, bagaimana kita harus menyikapinya?

Unikum
Sebelumnya perlu diketahui bahwa gamelan berbeda dengan alat musik lain, terutama alat musik barat. Gamelan sebagai bagian dari musik tradisi nusantara, memiliki keluwesan dalam pemilihan nada-nadanya. Dengan demikian, sangat dimungkinkan antara satu gamelan dengan gamelan yang lain memiliki perbedaan dalam ambitus (tinggi-rendah) nada yang dimiliki, walaupun dalam laras yang sama (selendro, pelog). Gamelan selendro di Surabaya misalnya cenderung memiliki nada yang lebih tinggi di banding dengan gamelan selendro di Solo. Bahkan di Solo sendiri banyak terjadi perbedaan interval antar satu gamelan dengan gamelan yang lain. Sementara di musik barat, nada-nada yang ada telah terbakukan (absolut). Otomatis, nada do di manapun itu pasti memiliki ukuran yang sama. Akibatnya, apabila mendengar nada yang tak sesuai alias berbeda, dengan segera akan disebut falsch atausumbang.
Gamelan memiliki apa yang disebut dengan embat yakni kesan suara yang dmunculkan dalam larasnya. Sri Hastanto lewat tulisannya yang berjudul Konsep Embat dalam Karawitan Jawa (2010) menjelaskan bahwa setiap gamelan memiliki pembawaan warna bunyi yang berbeda, bisa larasati (maskulin) dan sundari (feninin). Gamelan selendro Keraton Kasunan Solo misalnya memiliki kesan larasati dibanding gamelan di Pura Mangkunegaran yang sundari, atau sebaliknya. Kesan ini mampu ditangkap dengan mudah oleh orang-orang yang memiliki bekal tinggi dalam memainkan gamelan, terutama para empu. Di sisi lain, banyak yang tidak mengetahui persoalan ini.
Memainkan gamelan memiliki keunikan tersendiri. Masyarakat karawitan Jawa biasa menyebutnya dengan mad sinamadan yakni tidak saling menonjol, mampu mengerti, mengontrol, memahami, menghargai kualitas bunyi antara satu instrumen dengan yang lain, setara. Pemain instrumen bonang misalnya, walupaun posisi duduknya paling depan, namun tak boleh memiliki volume paling keras dari yang lain, begitupun sebaliknya. Pemain gender, harus mendengarkan permainan rebab, karena akan memberi kode (ater-ater) untuk memasuki ormamentasi musikal lain yang lebih kompleks, begitupun sebaliknya. Tak mengherankan kemudian jika banyak warga asing yang menangis ketika nabuh gamelan. Mereka yang sebelumnya cenderung individual kemudian harus luruh dalam ruang kebersamaan, menghargai dan memahami satu sama lain.
Bermain gamelan mengandalkan kedalaman rasa, bukan sebatas logika. Karenanya dalam sejarah tradisi gamelan tak begitu mengenal partitur (pembacaan notasi) selayaknya musik barat. Ratusan gending (karya musikal) gamelan dapat dihafal di luar kepala. Konsentrasi pemain sepenuhnya hanya pada pencapaian kualitas rasa musikal tertinggi. Tidaklagi disibukkan dengan urusan membaca yang berakibat tak mampu merasakan keberadaan permainan instrumen yang lain. Dengan kata lain, seorang empu penggender wayang mampu menghasilkan permainan yang memukau walaupun sambil terkantuk-kantuk, dibanding dengan sarjana karawitan yang sangat sibuk berkonsentrasi membaca notasi.

Kritik
Masih banyak lagi ‘harta’ yang belum terkuak dalam permainan gamelan. Persoalannya, mampukah teknologi mengakomodasi semua harta tersebut. Oleh kerena itu, membicarakan gamelan, tak selesai dengan hanya memindah nada dan laras semata. Bahkan, perdebatan sengit pernah terjadi kala gamelan dianggap sebagai musik yang mampu mempresentasikan semangat nasionalisme. Ki Hajar Dewantara di tahun 50-an memandang lagu Indonesia Raya tak selayaknya dibawakan dalam dominasi nada-nada diatonis musik barat, namun gamelan. Ia mengimbau pada para empu gamelan mentransformasikan nada-nada diatonis Indonesia Raya menjadi pentatonis dalam gamelan.
Di satu sisi, pada rentang tahun yang sama, sikap dalam memainkan gamelan dianggap terlalu kolot. Revolusi besar-besaran terjadi, pemain gamelan tak lagi memakai baju kejawen (beskap dan blangkon) namun memakai jas berdasi, sepatu kulit dan disediakan music stand atau tempat menaruh partitur layaknya dalam musik klasik. Sementara di sisi lain, ada usaha untuk membakukan nada-nada gamelan dalam ukuran interval serta pitch yang sama di setiap tempat. Endingnya, semua usaha itu gagal. Gamelan tak mampu dicabut dari akar kulturnya. Hingga kini, setiap wilayah memiliki gamelan dengan gaya khas, unik, dan merupakan kekuatan yang tak dimiliki wilayah lain.  Gamelan mampu mempresentasikan wajah kebudayaan.
Dengan munculnya e-gamelan merupakan salah satu usaha dalam menduniakan gamelan yang patut untuk kita berikan apresiasi tinggi. Namun di sisi lain bukannya tak menyisahkan persoalan. Ada beberapa hal yang pantas untuk dicermati. Pertama, ramainya e-gamelan membuat masyarakat dan kaum muda menganggap gamelan yang didengarkan dan dimainkannya lewat perangkat elektronik itu sebagai satu kebenaran tunggal. Karena ukuran nada, pitch telah menjadi sama, baku, seragam dan terukur. Di luar itu dianggap falsch dan sumbang. Sementara dalam gamelan ada yang disebut dengan nada minir, yakni nada yang berada di antara dua nada pokok, antara nada ji (1) dan ro (2) misalnya. Kata “antara” tidak dengan pasti menyebut setengah, namun bisa seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertujuh dan seterusnya.
Kedua, tidak semua perangkat gamelan mampu di e-gamelankan. Gender misalnya, yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Cara memainkannya dengan dua tangan, terdapat konsep penjarian (pithetan) agar suara yang keluar tak saling tumpang tindih. Bagaimana pula dengan rebab? Alat gesek yang dalam permainanya seringkali berada dalam kisaran nada-nada minir. Belum lagi persoalan rasa dan lain sebagainya. Kiranya, hal tersebut harus menjadi catatan tersendiri terkait perkembangan e-gamelan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, baik di kalangan masyarakat, pengrawit, pelaku teknologi dan budayawan.
Namun, sekali lagi harus jujur diakui, bagaimanapun juga e-gamelan adalah terobosan baru yang memudahkan generasi masa kini untuk lebih dekat dengan dunia gamelan. Kemunculan e-gamelan juga harus disikapi dengan bijak agar tak menjadi penemuan baru yang seolah mampu meniadakan kehadiran gamelan secara fisik. Kemunculan e-gamelan mendapat penghargaan sebagai sebuah prestasi tersendiri. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan para pembuat gamelan di banyak besalen yang selama ini menghasilkan gamelan dengan kualitas tinggi? Yang mampu membawa harum kebudayaan Indonesia di mata dunia. Bukankah mereka selama ini masih hidup di bawah cukup. Sementara setiap hari harus bertaruh nyawa, bertarung dengan panasnya api demi menyajikan gamelan yang mungkin saat ini anda lihat, main dan dengarkan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Musim(an) Lagu Religi (dimuat di Koran Solopos 20 Juli 2013)

Musim(an) Lagu Religi



Ramadan tak semata bulan suci bagi umat Islam. Namun juga sebagai bulan penuh peruntungan bagi pelaku bisnis musik di Indonesia. Lagu-lagu religius berlomba-lomba diciptakan. Band-band yang awalnya khusyuk menggarap tema cinta dan asmara, kemudian turut larut dalam mengolah nada berirama dakwah. Bulan puasa menjadi orientasi utama kenapa lagu-lagu Islami tercipta. Selain diharapkan mampu meningkatkan kadar ibadah dan keimanan, di sisi lain juga berambisi dalam meraih laba sebanyak-banyaknya. Sejarah ramadan senantiasa diikuti dengan perubahan pelbagai dimensi kehidupan, dari penampilan, laku ekonomi hingga citra estetika musikal.

Nilai
Luthfi Khuffana lewat tulisannya yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam dalam Syair-syair Lagu Religi Karya Opick (2011) menjelaskan bahwa musik Islami memiliki peran besar dalam membangun karakter serta meningkatkan kekhusyukan ibadah bagi pendengarnya. Hakikat musik pada dasarnya merupakan bunyi yang tersetruktur sehingga mampu menimbulkan gejolak emosional dan keindahan. Musik merupakan sarana paling efisien dalam mempengaruhi kadar kejiwaan seseorang. Karenanya, mendengarkan musik kadang membuat kita meneteskan air mata, sedih, tertawa dan bahagia. Adegan romantis dalam sebuah film misalnya tak akan mampu luruh dan membekas di hati penonton jika tak diimbangi dengan kesesuaian musik. Musik berisikan lirik puitis yang musikal.
Begitupun musik religi saat ini yang lahir di momen dan ruang yang pas, bulan Ramadan. Musik religi sebagai sebuah bunyi tentu tak hanya dimaknai sempit berupa nada yang telah diatur sedemikian rupa. Pada dasarnya, sejarah dan jejak tradisi Islam telah cukup pekat bersentuhan dengan dunia musik. Azan, tadarus Al Quran, shalawatan, tahlilan, pengajian adalah ritus yang tak semata berkisah tentang doa, namun juga melodi dan irama. Walaupun banyak di antaranya yang tak memiliki kekuatan hukum nada layaknya sol-mi-sasi dalam musik barat atau pelog-selendro di Jawa, namun darinya telah mampu melahirkan kesan bunyi yang dirasa indah. Sama layaknya jika kita mendengar kicauan merdu burung-burung di alam.  
Darmo Budi Suseno lewat tulisannya yang berjudul Lantunan Shalawat dan Nahsyid untuk Kesehatan dan Melejitkan IQ-EQ (2005) memandang bahwa pembacaan shalawat adalah bagian penting dari musik. Lebih jauh,mendendangkan shalawat dengan struktur melodi yang bebas (sesuai tafsir personal) mampu menjadikan seseorang bertambah pandai. Tambah Darmo, menyanyikan shalawat membuat hati merasa bahagia, mampu melepaskan beban persoalan karena doa senantiasa terpanjatkan lewat makna senandung teks yang tertuang di dalamnya. Walaupun kadang sejatinya seseorang itu tak sedang berdoa, namun semata bersenandung. Dengan demikian, ziarah doa tak harus dengan menadahkan kedua tangan dengan ucapan kalimat yang sayup-sayup tak terdengar. Berdoa bisa juga lewat musik. Karena membaca ayat doa berarti mengerti akan hukum melodi, dengan memberi tekanan aksentuasi musikal tinggi rendah nada pada ruang kalimat atau kata tertentu. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan yang selama ini berkembang bahwa musik itu haram hukumnya bagi umat Islam, karena sejatinya ayat-ayat dalam kitab suci Al-Quran sangatlah musikal.
Di bulan yang suci, pembacaan senandung ayat-ayat suci Al-Quran dan musik religius menjadi menu santapan sehari-hari. Ramadan tak semata merubah nada dan teks dalam musik, namun juga penampilan. Para penyanyi tak lagi dijumpai memakai celana ketat atau rok pendek dengan rambut berwarna-warni. Semua berhijab, berpakaian dan berkata santun. Walaupun tak jarang kesan itu begitu dipaksakan hanya demi pamrih materi dan ajang bisnis. Hal itu wajar dijumpai, dan masyarakat seolahmengamini gejala yang demikian. Musik Religi di bulan ini menjadi ajang pesanan instan siap saji.  
Di sisi lain, musik-musik itu menyampaikan makna tentang kesantunan, kesabaran dan keindahan dalam hidup. Penyampaian pesan itu lewat musik dipandang lebih mudah dan efisien. Bukan satu hal asing jika nasihat yang dikisahkan lewat Al-Quran dan Hadis hanya terhenti di ruang-ruang orasi para ustad, kiai, ulama tanpa mampu merasuk lebih dalam ke hati nuranipara umat. Dengan musik, pesan yang tersampaikan menjadi lebih gamblang dan mengena karena dibantu dengan penggunaan nada dan kesan ritmis yang mampu membuai pendengarnya. Lirik lagu TomboAti  dari Opick misalnya, hingga kini masih didengar dan dihafal oleh umat Islam di Indonesia. Padahal teks liriknya berbahasa Jawa, bersumber dari ajaran para wali Islam di Jawa. Nada mengekalkan kalimat berpetuah. Sebelumnya, lagu itu seringkali hanya dinyanyikan di banyakmasjid atau musholla di Jawa, namun kini mampu menjadi milik masyarakat Islam Indonesia seutuhnya.

Pengingkaran
Al-Quran dan Hadis banyak memberi berjuta ide bagi manusia untuk mengolahnya kembali menjadi ajang kreatif berujud seni, tak terkecuali musik. Sayangnya, teks-teks kalimat dalam Al-Ruran dan Hadis kadang hanya dicomot bukan hanya untuk kepentingan dakwah. Kuasa ekonomi menyebabkan manusia kreatif masa kini melegalkan segala cara agar mampu bertahan hidup dalam perebutan sesuap nasi. Lahirlah kemudian teks-teks suci itu dalam balutan nada-nada musikal yang merdu. Membicarakan dakwah lewat musikdi abad XXI berarti membicarakan pula bisnis yang berujung untung dan rugi. Pemandangan seperti itu dapat dengan mudah kita jumpai di bulan ramadan. Setelahnya, saat bulan itu usai, musik-musik Indonesia akan kembali ke habitat awalnya. Jilbab dilepaskan, rok mini dipakai kembali, rambut berwarna-warni, berjoget dengan seksinya membuat mata penonton tak berkedip melihatnya.
Ramadan menjadi ajang pertaubatan sesaat bagi kultur musik Indonesia. Aunur Rofik Lil Firdaus lewat Oase Spiritual dalam Senandung (2006) mengungkapkan jika lantunan tembang-tembang religius di bulan ramadan menjadi oase yang menyegarkan di balik gersangnya penciptaan lagu Islami masa kini. Diluar Ramadan, teks dan lirik religi itu tertimbun dalam tumpukan musik populis. Tak banyak memang para musisi yang dengan tekun dan konsisten menziarahkan musiknya khusus bertemakan lagu religi. Di antaranya yang dapat dilihat hanya Opick, Hadad Alwi dan Emha Ainun Najib beserta gamelan Kiai Kanjengnya. Mendengarkan musik mereka bagi kebanyakan kaum muslim di Indonesia menjadi sarana detoksifikasi racun musikal yang selama ini mengendap di tubuh.
Ramadan bagaimanapun juga adalah bulan suci yang harusnya mampu diisi dengan amalan dan doa. Menggunakan musik sesuai dengan waktu dan ruangnya adalah hal yang baik, dan tentu akan lebih baik lagi jika kesadaran itu muncul tak hanya di momen Ramadahan, namun juga setelahnya. Tembang-tembang Islami kehadirannya senantiasa ditunggu, yang ironisnya begitu sayup-sayup tak terdengar di luar Ramadan. Oleh karena itu, bulan ini juga menjadi satire pedas bagi musisi musik Indonesia. Tak hanya musik religi sebenarnya, musik-musik kritik era Iwan Fals yang dulu gaungnya begitu membahana juga telah kalah dipersaingan zaman. Karenanya, jangan heran jika melihat musik pop di Indonesia menjadi sama dalam segi rasa dan pembawaannya. Jikalau tak mendayu-dayu dengan lirik yang cenderung cengeng dan sensual layaknya “cinta satu malam” dan “belah duren”, pasti jingkrak-jingkrakan menjadi boys dan girls band. Belajar dari Opick lewat lirik album musiknya yang berjudul Istighfar (2005), “nafsu jiwa yang membuncah, menutupi mata hati, seperti terlupa bahwa nafas kanterhenti”. Nal looh!!

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Semua Berhak Menjadi Guru (dimuat di Majalah Basis Nomor 07-08- tahun 62, Juli-Agustus 2013)

Semua Berhak Menjadi Guru


Terenyuh kala membaca tulisan Rumongso berjudul “Guru Bukan Profesi Sampah” di Kompas edisi 29 Mei 2013. Dalam pemaparannya, Rumongso yang dibesarkan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), kemudian lebih dikenal dengan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), menyayangkan kala Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Uji Materi UU Nomor 14Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terutama di pasal 9. Dengan ditolaknya ujimateri itu, otomatis semua lulusan perguruan tinggi (sarjana dan sederajad) diberi ruang yang sama untuk mengabdikan dirinya sebagai guru. Bagi Rumongso, guru adalah profesi spesifik yang seolah hanya bisa dididik dan dibesarkan lewat sekolah yang berbasis keguruan. Selebihnya di luar itu tidak. Persoalannya kemudian, sudahkah kampus-kampus keguruan mengakomodasi segala cabang bidang studi (mata pelajaran) yang ada di semua sekolah?

Tak Terakomodasi
Lain ceritanya jika IKIP atau Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) telah mampu menyediakan semua perangkat mata pelajaran di semua sekolah di Indonesia. Dengan demikian, segala mata pelajaran di sekolah-sekolah dapat ditangani langsung oleh lulusan sarjana pendidikan tanpa harus mencomot dari perguran tinggi non-keguruan. Namun, bagaimana jika hingga kini terdapat beberapa mata pelajaran yang tak menjadirujukan studi di LPTK? Seni misalnya. Apakah pengampu atau guru di mata pelajaran khusus itu (seni) masih harus dituntut dari lulusan kampus keguruan?
Kasus Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) berbasis kesenian setidaknya dapat digunakan sebagai rujukan untuk membenarkan putusan yang dibuat oleh MK. Banyak sekolah kesenian diIndonesia kini dihadapkan dengan masalah krusial. Tak memiliki kualifikasi guru atau pengajar sesuai dengan bidang keahlihan (seni). Di satu sisi, jumlah siswanya tiap tahun semakin membeludak banyak. Hal tersebut disebabkan oleh aturan yang awalnya mengharuskan seorang guru adalah produk lulusan dari perguruan tinggi yang berbasis LPTK. Padahal di LPTK tak menyediakan guru untuk spesifikasi pengajar di mata pelajaran karawitan, batik, teater dan pedalangan. Sementara di sisi lain, terdapat sarjana dari kampus-kampus seni yang program studinya sebidang dengan jurusan di sekolah-sekolah seni itu, semacam Institut Seni Indonesia (ISI), Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Institut Kesenian (IK), Akademi Seni (AS), Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Para sarjana seni itu tak lantas serta merta bisa menjadi guru seni di sekolah karena tak memiliki ijazah keguruan. Akibatnya, rasio jumlah guru dengan murid sangat timpang.
Seperti yang saya utarakan di Harian Joglosemar 13 Februari 2013 tentang ironi guru seni. Kiranya menjadi menarik untuk dihadirkan ulang konklusi tulisan saya dalam menganggapi pandangan Rumongso. Di SMKN 12 Surabaya misalnya. Sekolah seni itu saat ini hanya memiliki satu guru (produktif) untuk bidang keahlian Seni Pedalangan sementara jumlah siswanya mencapai hampir 40 orang. Di Jurusan Seni Karawitan, tujuh guru dengan jumlah siswa hampir 200 orang. Jurusan Teater hanya satu guru untuk siswa lebih dari 70 orang. Hal serupa juga terjadi di SMKN seni lainnya (Solo, Yogyakarta, Banyumas, Makassar, Denpasar, Bandung, Padang).  Celakanya, banyak guru yang tidak memiliki kompetensi utama bisa masuk sebagai pengajar dengan mudah hanya karena memiliki ijazah sebagai pendidik. Seni karawitan misalnya, dianggap sebagai seni musik, calon guru yang memiliki ijazah kependidikan musik dari LPTK dapat dengan mudah mendaftar. Padahal LPTK hanya menyediakan pendidikan musik Barat, bukan musik etnik seperti karawitan (gamelan). Pedalangan dianggap sebagai seni teater, sehingga lulusan dari jurusan teater di LPTK dapat mudah masuk. Padahal, isi dan rujukan ilmunya sangat berbeda, antara wayang dengan teater Barat. Jangan heran kemudian jika sarjana keguruan itu tak mampu menggerakkan wayang, apalagi menyesuaikan suara dengan nada gamelan, tentu saja falsh.
Rumongso mencoba menggugat. Menurutnya keputusan MK membuat lulusan LPTK terdesak, dirugikan dan kehilangan lapangan pekerjaan. Namun ia tak menyadari bahwa manusia Indonesai berhak bekerja dan berprofesi sebagai apapun tanpa adanya katub yang menghalangi, sejauh profesi itu tak melanggar undang-undang. Bukankah banyak sarjana pendidikan yang juga tak lantas menjadi guru? Banyak pula di antaranya menjadi arsitek, sastrawan, buka bengkel, musisi, dalang, petani, pengusaha. Kemudian, apakah kampus yang memiliki Jurusan Arsitektur, Seni, Sastra dan Teknik mempersoalkan karena para lulusan keguruan itu telah merebut ladang kerja bagi lulusannya? Saya kira tidak. Tolok ukurnya bukan ijazah, namun kemampuan. Penyelesaiannya adalah dengan menguji kapabelitas dan kapasitas intelektual di antara para sarjana calon guru berbeda kampus itu. Terlebih, sebelum menjadi pegawai tetap, apalagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), setiap calon guru harus diuji terlebih dahulu. Hasilnya tentu dapat dilihat dan dipertimbangkan. Sampai pada titik ini, ijazah tak lagi diperlakukan sebagai syarat mutlak. Namun sekali lagi, uji pengetahuan dan kompetensi yang lebih diutamakan. Sejauh mampu, apa salahnya diberi kesempatan.

Kilas
Putusan MK tersebut mengingatkan saya kala berdirinya kampus-kampus seni unggulan di Indonesia yang justru dipelopori oleh orang-orang tak berijazah seni. Namun dari merekalah mampu mengguratkan rona sejarah manis, dengan mencetak sarjana seni yang unggul dan mendunia. Lihatlah Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta yang dirintis oleh Affandi, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta dengan Martopangrawit dan Gendhon Humardani, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dengan Diyat Sariredjo. Mereka bukanlah sarjana, namun karena kemampuan dan kelebihan di bidangnya telah dihargai jauh di atas embel-embel sarjana (Widaryanto, 2009).
Lihatpula para sastrawan yang terkenal itu justru tidak lahir dari kampus sastra. Bahkan, hasil karyanya kemudian dibedah dan digunakan sebagai bahan kajian mata kuliah. Hal ini sekaligus mendekostruksi ketakutan jika sarjana kependidikan tak lagi mendapat tempat sebagai seorang guru. Justru sebaliknya, dengan adanya putusan MK itu, persaingan menjadi guru akan lebih kompotetif. Tak ada jalur khusus dan pesanan, semua setara. Putusan MK sekaligus menutup celah persoalan yang selama ini menghampiri di banyak SMKN di Indonesia. Dengan demikian, sarjana karawitan dapat mengajar di SMKN Jurusan Seni Karawitan, sarjana pedalangan dapat mengajar di sekolah jurusan pedalangan, sarjana batik dapat mengajar di sekolah batik, dan sarjana elektro dapat mengajar di sekolah jurusan elektronika.
Bayangkan jika putusan MK tersebut berbeda, sekolah-sekolah itu akan kekurangan guru profesional yang mampu mendidik sesuai dengan bidang keahliannya. Oleh karena itu, di satu sisi saya menyambut baik putusan MK, karena akan membangun semangat bersaing yang terukur. Namun di sisi lain patut dipertimbangkan pula, jika kran kebebasan menjadi guru telah dibuka, kemudian bagaimana nasib LPTK ke depan sebagai sebuah lembaga? Pemerintah seharusnya mampu mencari jalan keluar dan solusi ideal dengan tidak merugikan salah satu instansi pendidikan. Bisa saja terjadi sinergi dan kerja sama antara LPTK dengan perguruan tinggi lain, untuk menghantarkan para sarjana nonkependidikan menjadi guru, terutama guru untuk mata pelajaran yang tak terakomodasi di LPTK.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Dosen di Institut Seni Indonesia Surakarta

Visi Seni Pemimpin (dimuat di Koran Wawasan 13 Juli 2013)



Visi Seni Pemimpin




Indonesia sedang berpesta politik. Pemilihan Presiden dan clon legislatif sudah di depan mata. Sementara musim pemilihan gubernur banyak digelar di pelbagai daerah, menjadi ajang terbesar yang akan menentukan arah dan warna Provinsi di kancah nasional. Visi misi digulirkan. Kampaye tiada habis disuluh. Gambar para calon menghiasi setiap jalan, dari lorong kampung hingga keramaian kota. Namun demikian, pesta demokrasi itu mengguratkan satu catatan penting bagi publik, melihat sejauh mana visi yang diemban para calon pemimpin dalam menyemai pencitraan atas dirinya. Segala hal dapat digunakan sebagai titik ukur, dari hitung-hitungan materi, penampilan diri, kemampuan sosialisasi, komunikasi dan tak terkecuali visi budaya, terutama kesenian.

Seni Memimpin
Dari pelbagai episentrum isu bidikan kampanye, seolah hanya kesenian yang sama sekali belum tersentuh. Kebudayaan menjadi anak tiri dari timbunan wacana populis yang digaung-gaungkan oleh para calon pemegang kebijakan. Visi politik dan ekonomi menjadi isu krusial dalam setiap kampanye. Gema pemimpin yang besar adalah membebaskan dirinya dari kasus korupsi serta mampu memajukan pendapatan daerah. Tak ada satupun yang bersua lantang dalam mengemban amanat budaya, memajukan kesenian di daerahnya.
Cerita miris pernah menghantui denyut hidup kesenian Indonesia yang ironisnya digoreskan oleh para pemimpin tertinggi di daerah. Tentang denyut hidup Jaran Kepang yang dianggap sebagai kesenian terjelek di dunia, nasib kesenian rakyat yang selama ini terlantar tak tersentuh uluran, serta banyak kisah pelik yang lain. Sementara benang sejarah membuktikan, penguasa yang besar adalah pemimpin yang memiliki kecintaan tinggi terhadap kebudayaan dan seni. Masyarakat tentu masih ingat betul ketika Soekarno dengan tegas melarang budaya berbau “ngak-ngik-ngok” masuk ke tanah Indonesia. Budaya Barat dianggapnya sebagai virus yang mampu membunuh naluri estetika ketimuran. Bung Karno mencoba mengembalikan kuasa kebudayaan dan seni Nusantara sebagai kajian utama dalam visi politiknya. Nurani Soyomukti dalam bukunya berjudul Soekarno: Visi Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan Bung Karno dalam hal kebudayaan didasarkan pada upaya untuk membangun kebudayaan rakyat yang maju dan mandiri. Setiap kunjungan ke banyak daerah di Indonesia, Soekarno akan mencari benda seni yang unik dan menurutnya menarik. Tidak mengherankan jika di kantor dan rumahnya dihiasai dengan pelbagai karya seni bercita rasa tinggi.
Kala Orde Baru berkuasa, banjir kebudayaan Barat membasahi warna seni (populer) Indonesia. Sebaliknya, estetika berbau Tinghoa harus dikurung dalam arogansi kebijakan. Kesenian memiliki pengaruh besar, tumpuan yang mampu merubah tatanan hidup masyarakat. Walaupun kebudayaan Barat menghujani bumi Indonesia, Soeharto tak abai dengan kebudayaan pribumi. Ia adalah pecinta kebudayaan dan seni Jawa sejati. Darmoko (2009) menceritakan dengan detail bagaimana hubungan mesra antara Soeharto dengan kesenian wayang. Tepatnya tanggal 21 Januari 1955, sekumpulan dalang (Jawa,Sunda, Bali) ke Istana untuk menghadap Soeharto. Dari pertemuan itulah lahir lakon-lakon wayang yang melukiskan keagungan sang penguasa itu. Semar Mbangun Jiwa dan Semar Mbabar Jatidiri adalah di antaranya. Soeharto dilukiskan sebagai sang Semar. Dewa tertinggi yang menjelma sebagai manusia akar rumput. Berujud tambun mirip dengan Soeharto. Namun darinya yang ndeso itu menyimpan segala kesaktian yang mampu membuat gempar dunia dan merobohkan istana dewa di kahyangan. Tak ada satupun dewa yang mampu menandinginya. Kuasa Orde Baru adalah narasi sakral dalam epos wayang.
Begitupun dengan pemimpin Indonesia mutakhir, tak semata menjadi pejabat namun juga musisi dan pencipta lagu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendekonstruksi kebekuan pemimpin abad XXI terhadap dunia seni. SBY boleh dikata menjadi satu-satunya presiden di dunia ini yang memiliki hobi bernyanyi dan mencipta lagu. Beberapa album ditorehkan, dinyanyikan oleh musisi musik kenamaan Indonesia. Tema lagunya menggugah semangat. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir gamelan-gamelan baru dipesan untuk menghiasi wajah Istana Negara agar menjadi lebih artistik.
Terlepas dari persoalan salah dan benar, jejak sejarah para pemimpin Indonesia begitu menyadari arti penting kebudayaan terutama seni bagi pencitraan atas diri mereka. Seni adalah sebuah etos kerja dalam laku kepemimpinan. Kesenian mencerminkan kuasa keindahan, oleh karenanya, pemimpin yang cinta seni berarti mahfum akan estetika. Seni mengakomodasi gaya kepemimpinan penguasa. Soekarno, Soeharto dan SBY memiliki “seni memimpin” yang berbeda. Ada yang cenderung lantang dan keras, diam namun mematikan, serta yang hanya meraih citra semata. Hal terbaru dapat kita lihatl ewat Jokowi. Di awal masa kepemimpinannya, Gubernur Jakarta itu sudah memoles wajah Ibukota menjadi lebih beraroma Betawi. Mulai dari penggunaan pakaian tradisional hingga hiasan gedung dan rumah. Semua harus berciri “kebudayaan Benyamin”. Tiba-tiba saja di Jakarta ada pawai budaya.

Penuh Sangka
Pertanyaannya kemudian, visi seni seperti apa yang dapat kita lihat dari para calon pemimpin itu? Jawabannya sudah dapat kita tebak, kebanyakan belum –kalau tak boleh dibilang tidak ada-. Hal yang kurang begitu disadari, bahwa Indonesia masih menjadi basis kuat kesenian tradisi, baik musik, tetater, wayang hingga kesenirupaan. Terlebih legitimasi Keraton masih memberi warna kuat terhadap kesenian-kesenian yang ada. Belum lagi dengan kesenian rakyat di daerah pegunungan dan pesisir. Semua memiliki pendukung dan penggemar yang jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari. Bahkan hampir semua wilayah memiliki icon kesenian yang mencerminkan kekuatan daerahnya. Jawa Tengah dengan Gamelan dan Wayangnya,  Sumatera dengan Musik Melayunya, Jawa Timur dengan Tayubnya, Nusa Tengga Timur dengan Sasandonya, serta Bali dengan Ritus Tradisinya dan masih banyak lagi lainnya.
Pejabat seolah abai bahwa pelaku seni adalah bagian yang menentukan nasib hidup mereka. Pemimpin tak memiliki visi seni tentu akan berakibat fatal. Menyelesaikan segala masalah tanpa pendekatan budaya, lebih pada arogansi kekuasaan. Radhar Panca Dhahana dalam diskusi “Integritas Nasional dalam Bayang-Bayang Kerapuhan Budaya Bangsa” akhir2012 lalu memandang banyak konflik-konflik sosial di daerah yang berkepanjangan akibat dari tumpulnya visi budaya para pemimpin. Lihatlah konflik Lampung, Papua bahkan Syiah di Madura yang selalu diselesaikan dengan persoalan aset, ekonomi dan politik. Tak pernah diselesaikan dengan pendekatan budaya, lewatpranata sosial misalnya.
Oleh karena itu, pemilukada, pemilu calon legislatif, pemilihan presiden adalah momen yang tepat bagimasyarakat untuk menimbang dan melihat sejauh mana visi budaya dari para calon pemimpin. Perayaan demokrasi daerah di Indonesia mampu menyulut ambisi penuh ragu dalam mempertanyakan kapasitas kecintaan budaya para calon pemimpin. Mereka bisa saja berujar manis akan janji-janji politik yang puitis itu, namun kita tentu sangat qatam dengan pengingkaran. Visi budaya menjadi satu-satunya hal yang dapat kita lihat realisasinya dibanding dengan janji politik yang tak berujung. Harapan masyarakat tentu tak muluk-muluk, mendapatkan pemimpin barudengan visi budaya yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jangan sampai kita tertipu dengan bujuk rayu. Bagaimanapun kecintaan terhada pkebudayaan dan terutama kesenian adalah bukti bahwa seorang pemimpin mencintai rakyat dengan segala jenis habitus akar tradisinya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Bising dan Identitas Kultural (dimuat di Koran Joglosemar 12 Juli 2013)

Bising dan Identitas Kultural



Fenomena bunyi sebagai sebuah kegaduhan suara seringkali dianggap mengganggau dan oleh karena itu keberadaannya harus diatur. Demikianlah isu yang dalam beberapa waktu ini dihembuskan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla. Menurutnya, penggunaan pengeras suara untuk kepentingan tahrim (pembacaan sholawat) di masjid-masjid dianggap menganggu bagi kehidupan bermasyarakat. Maklum saja, satu desa bisa memiliki empat masjid, dan di waktu yang bersamaan semua masjid itu melantunkan puji-pujian sholawat, pengajian, tadarus sehingga suara yang dikeluarkan tak jelas, saling tumpang tindih. Terlebih kala Puasa Ramadhan sedang berlangsung. Bagaimana apabila hal itu dilihat dalam konteks kebudayaan?

Merayakan Bising
Aton Rustandi Mulyana (2013), Etnomusikolog asal Sunda, menuliskan fenomena rame (bising) tak semata sebagai sebuah bunyi noise, merusak telinga. Namun lewat dikebisingan itulah kita bisa memberi makna atas identitas kultural masyarakat di Indonesia. Sebagai gambaran, berikut akan dipaparkan beberapa contoh yang relevan.
Kala musim kampaye tiba, lazim kitajumpai segerombolan orang memakai kaos partai dan dengan arogan menggeber keras sepeda motor yang dinaikinya. Dalam radius yang cukup jauh, suara knalpot sepeda motor itu terdengar berisik dan gaduh. Dengan segera hal itu membuat pengendara lain menyingkir ke tepi jalan. Lewat knalpot yang telah dimodifikasi sedemikian rupa itu, bunyi yang dihasilkan menjadi teror jalanan. Mereka ingin bersuara bahwa akulah sang penguasa jalanan. Mereka menunjukkan eksistensinya lewat bunyi. Masyarakat sekitar bisa saja menutup telinga rapat-rapat, walaupaun sejatinya kebisingan tersebut telah dirayakan dan dinikmati oleh para pelakunya.
Di sisi lain, saat musim nikah tiba, si punya gawe memasang banyak pengeras suara. Bahkan dibuat berlapis-lapis serta menghadapdua sisi jalan, kanan dan kiri. Tak main-main, batas volume yang tersedia dimaksimalkan. Mendengarkankannya membuat jantung berdegub kencang, kaca-kaca rumah bergetar. Semakin jauh rambatan bunyi dari pengeras suara itu maka dianggap semakin baik. Pada konteks inilah masyarakat memandang bahwa semakin keras dan gaduh bunyi yang ditimbulkan, seolah mampu mempresentasikan semakin besar pula hajad yang sedang dilangsungkan, tak peduli seberapa banyak tamu yang datang. Mereka mencoba menggali eksistensi lewat bunyi.
Fenomena bising yang ‘dinimkati’ dapat kita lihat dalam pertunjukan-pertunjukan tradisi di Nusantara. Sape Sono di Madura, Sekaten di Jogja-Solo, dan Ya Qowiyu di Klaten. Bising telah mampu menyatu dan luruh dengan ritus pertunjukan. Bayangkan bagaimana jika Sekaten tak gaduh oleh tumpang tindih berbagai suara alias sepi, yang ada hanya bunyi gamelan saja. Aneh bukan? Atau datanglah ke pasar, keramaian dikonstruksi untuk dinikmati dan justru tak berpotensi menganggu jalannya aktivitas jual-beli. Kita bisa mengetahui posisi para penjual daging lewat asahan pisaunya, penjual mainan anak-anak dengan bunyi mainannya, dan parutan kelapa dengan bunyi dieselnya. Sekali lagi, mereka ingin menunjukkan legitimasi keberadaannya dengan bunyi.
Lalu bagaimana dengan tradisi sholawatan, baca Al-Quran dan pengajian di masjid-masjid kala bulan Ramadhan? Sebenarnya tradisi itu tak hanya berlangsung di tempat ibadah semacam masjid semata, bahkan di rumah-rumah yang sedang memiliki hajad. Jalanan ditutup, pengeras suara wajib dihadirkan. Peristiwa semacam ini adalah pemandangan yang biasa. Bising yang membudaya. Noise yang dirayakan. Gaduh yang dinikmati. Anderson Sutton (1996) memandang fenomena bunyi itu dalam terminologi soundscape atau “bunyi lingkungan” yang menyertai keseharian masyarakat Indonesia. Lihatlah kala takbir dikumandangkan saat malam Idul Fitri, semua masjid dengan serentak melantunkannya. Jalanan disesaki dengan bunyi takbir keliling. Tak ada satupun yang menutup telinga, karena lewat bunyi mereka sejatinya sedang berpesta. Dengan demikian usaha mengatur volume kehadiran bunyi itu bukankah sama saja dengan merubah wajah kebudayaan kita?

Tak Sama
Pada tahun 2005, masjid-masjid di Kairo Mesir dianggap menganggu kenyamanan saat kumandang azan tiba. Masyarakat yang terganggu menilai bahwa setiap masjid seolah berlomba keras-kerasan suara azan. Akibatnya, masyarakat non-muslim gencar melayangkan protes yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh Menteri Agama Mesir kala itu, Mahmud Hamdi Zaqzouq. Regulasi yang mengatur volume pengeras suara untuk ribuan masjid kemudian digodog. Namun hal itu bukannya tanpa perlawanan. Masyarakat muslim mendudukkan azan sebagai sebuah panggilan untuk sholat. Memanggil umat Islam di manapun dan sejauh apapun. Otomatis, volume yang dikeluarkan haruslah sekeras-kerasnya, agar didengar oleh umat yang terjauh sekalipun.
Dalam kacamata estetika musik barat, suara yang dikeluarkan oleh pengeras suara dalam peristiwa azan, sholawatan, pengajian, tadarus Al-Quran, secara bersamaan dikategorikan sebagai bunyi masking, atau suara tumpang tindih (Stephen E. Widen, 2006). Berada di atas ambang batas suara normal, noise. Kehadirannya dianggap memiliki benih untuk merusak kerja otak, dan meningkatkan kadar emosi diri. Tak mengherankan jika seseorang mudah marah karena suara bising knalpot dan klakson di jalan raya. Ketidakteraturan bunyi menyebabkan otak sulit menangkap, mengidentifikasi dan mencerna. Akibatnya, stress dan pusing. Lalu, apakah hal itu juga terjadi dalam perayaan bising di masjid?
Hingga saat ini, belum dijumpai laporan keberatan dari masyarakat atas bising di masjid. Merujuk dari pendapat Shin Nakagawa (1999) yang menjelaskan bahwa kehadiran bunyi-bunyian di masjid itu tidaklah dianggap sebagai sebuah teror. Namun layaknya melihat pertunjukan Sekaten, Ngarot, dan berbelanja di pasar. Keramain yang ditimbulkan telah menjadi satu kesatuan dalam ritus keagamaan maupun kebudayaan di Indonesia. Bisa jadi, yang merasa terganggu mungkin bukanlah orang asli pribumi. Oleh karenanya pengambilan kebijakan terkait penggunaan pengeras suara harus didasarkan dari banyak faktor, tak terkecuali aspek kebudayaan.
Apa yang diutarakan oleh Jusuf Kalla juga mengingatkan kita pada pernyataan Wakil Presiden Boediono saat membuka acara Muktamar VI DMI di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada 27 April 2012 lalu. Boediono menghimbau agar suara azan dapat diatur keras lirihnya. Senada dengan peristiwa yang sama di Mesir, pernyataan tersebut banyak menuai kecaman. Dengan demikian semua pihak harusnya dapat duduk bersama. Tentunya yang dilibatkan tak semata hanya para pengambil kebijakan, masyarakat, ustad, dan penghuni masjid. Namun juga para peneliti bunyi dan budayawan. Dengan demikian keputusan akhir yang diambil tidaklah merugikan salah satu pihak.
Bagaimanapun juga persoalan azan, sholawat, pengajian, tadarus dengan pengeras suara tak semata menjadi urusan agama, namun juga kesehatan, kenyamanan lingkungan, estetika musik, dan detak kultural. Memandang fenomena pengeras suara di masjid tak cukup dengan hanya meletakkan dualisme dalam terminologi “menganggu dan tidak”. Tapi lebih kompleks lagi. Pada akhirnya, ada sisi positif yang dapat kita petik, usul yang disampaikan oleh Jusuf Kalla dan Boediono setidaknya mengingatkan kita bahwa saat ini beribu suara azan, pengajian, sholawatan dengan karakteristiknya yang berbeda-beda telah berdengung di Nusantara, namun satu kajian (penelitian) dan perhatian terkait olehnya justru belum tentu lahir. 

Aris Setiawan
Etnomusikolog,Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Gamelan Tak Sekedar Bunyi (dimuat di Joglosemar edisi 3 Juli 2013)

Gamelan Tak Sekedar Bunyi



Arsenal, klub sepakbola asal Inggris itu akan datang ke Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. Sebagai ajang promosi atas kedatangannya, muncullah video unik di mana para pemain sepakbola itu membunyikan gamelan laras selendro. Gamelan tak semata alat musik, namun mampu mencerminkan jati diri bangsa. Alat musik itu kini telah mendunia, menjadi alat musik terbesar kedua setelah musik klasik Eropa. Gamelan dapat dengan mudah dijumpai di banyak kedutaan besar Indonesia di belahan dunia, dibandingkan dengan alat musik etnik atau icon Indonesia lainnya. Bermain gamelan tak sekedar penuh logika, namun juga olah rasa.

Tak Sekedar Bunyi
Belajar gamelan berarti mengenal jejak kultur masyarakat Jawa. Tak semata alat musik yang dihadirkan untuk dibunyikan, namun terikat kencang oleh seperangkat aturan dan kaidah dalam memainkannya. Sumarsam lewat tulisannya Gamelan Cultural Interaction and Musical Development in Central Java (1995) memandang karawitan sebagai ajang dalam melatih kehalusan budi. Memainkan gamelan berarti melatih diri untuk tidak mempribadi, namun mendengar dan menghargai sesama di sekelilingnya. Tak ada denting suara yang lebih menonjol dibanding suara lainnya. Semua harus setara dan seimbang. Pemain demung tak boleh terlalu keras dibanding yang lain, begitu juga sebaliknya. Semua harus saling mendengarkan, karena kode perpindahan orkestrasi musikal yang lebih kompleks tak ditentukan lewat partitur atau kode dari konduktor layaknya musik barat. Namun melalui kode-kode atau interaksi musikal dari instrumen tertentu, kendang dan rebab contohnya.
Oleh karena itu, pemain gamelan yang tak mendengarkan pesan musikal dari instrumen lain, tidak akan mampu mengimbangi dalam olah pencapaian rasa yang ingin diinginkan. Rahayu Supanggah (2002) menjelaskan dengan detail bahwa gamelan atau karawitan memiliki kelebihan dibanding musik lain di dunia. Memainkkannya membutuhkan kepekaan rasa, tak sekedar logika. Sementara jika ditelisik lebih jauh, jejak sejarah kerajaan-kerajaan besar di Jawa tak bisa lepas dari hadirnya gamelan. Alat musik perkusif itu menjadi medium yang membesarkan nama raja. Penciptaan gending-gending senantiasa dipersembahkan pada raja dan diatasnamakan pula sebagai karya raja. Karenanya, hingga detik ini, tidak diketahui dengan pasti siapa pencipta sesungguhnya gending-gending gamelan itu. Raja seolah menjadi musisi paling handal yang mampu menciptakan ribuan karya gending karawitan. Hal ini tertuang di Serat Wedo Pradonggo.
Gamelan juga menjadi alat legitimasi dalam penyebaran agama. Sunan Kali Jaga menjadikan gamelan Sekaten sebagai ajang dalam syiar agama Islam di Jawa. Gamelan Sekaten bentuknya sangat besar, unik, di luar kewajaran. Ditabuh bertalu-talu, terdengar sampai jauh dan mengundang minat masyarakat untuk mendekat. Otomatis, membicarakan gamelan berarti melihat Jawa dan nusantara. Gamelan telah bermetamorfosis menjadi alat musik yang lebih dinamis. Siapapun dapat memainkannya tanpa ada sekat dan jarak. Duniapun telah mengakui. Joss Wibisono (2011) menceritakan bahwa para komponis dunia dianggap ketinggalan zaman jika tak memasukkan unsur-unsur gamelan dalam karyanya. Gamelan telah berhasil mengangkat nama dan jatidiri bangsa di mata dunia.  
Namun sayang, kebanyakan generasi Indonesia abad XXI cenderung memandang rendah gamelan. Alat musik itu dianggap kolot, kuno dan terbelakang. Kalah bersaing dengan boys dan girs band. Ironis memang, di saat dunia sedang gencar-gencarnya meletakkan pemahaman gamelan sebagai alat musik terkini, publik Indonesia sebagai pemilik asal justru sedang membuat jarak dengannya. Singapura contohnya dalam beberapa tahun terakhir telah menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran wajib di berbagai sekolah dasar pada hampir sebagian wilayahnya. Sebelumnya, hal serupa pun terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang. Di negara-negara maju tersebut, gamelan telah menjadi mata kuliah wajib pada universitas-universitas unggulan.  
Di Amerika, gamelan Jawa nangkring di universitas-universitas unggulan, seperti Universitas California di Berkeley (gamelan Kyai Udan Mas), San Jose University (gamelan Sekar Kembar), Lewis and Clark College (Kyai Guntur Sari), Michigan, Wiscounsin, Northern Illinois, Oberlin, Wesleyan, dan ratusan universitas terkemuka lainnya. Sementara di Jepang, gamelan sudah menjadi media ajar di berbagai universitas, seperti Tokyo University of Fine Art and Music dengan grup gamelannya yang bernama Kyai Lambang Sari, di Kuntachi College of Music (Gamelan Sekar Jepun), Dharma Budaya Osaka University, Hyogo University, Tokyo Osaka-Tohogakuen (semuanya college of music). Sementara ratusan bahkan ribuan lainnya tersebar di Benua Eropa. Di sisi lain, sekolah-sekolah di Indonesia justru malu mendatangkan gamelan sebagai menu utama pembelajarannya. Mereka lebih khusuk menghadirkan instrumen musik populis dengan cita-cita sama, mampu melahirkan ribuan kelompok band. Sementara gamelan menjadi ajang olok-olok yang katanya kampungan dan telah ketinggalan zaman, aliasa gak gaul.
Namun demikian usaha dalam memperkenalkan gamelan pada generasi muda masa kini di Indonesia bukannya tak ada. Di beberapa tempat, kantung-kantung kebudayaan misalnya, masih dengan tekun menyelenggarakan lomba karawitan dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Hal terbaru yang dapat kita lihat adalah Lomba Karawitan Nasional pada 19-21 Juni 2013 lalu di Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Di luar dugaan, peserta yang mengikuti jumlahnya membeludak. Tak hanya dari karisidenan Solo, beberapa daerah lainpun turut meramaikan, seperti Semarang, Jakarta, Jogjakarta dan wilayah Jawa Timur. Maklum saja, total hadiah yang disediakan panitia tergolong besar, 40 Juta. Acara tersebut setidaknya dapat menjadi tolok ukur dalam melihat detak hidup karawitan bagi semua lapisan masyarakat yang selama ini semakin tersisihkan.

Rujukan
Pemilihan RRI Surakarta sebagai tempat perlombaan mengingatkan kita akan fungsi lembaga itu sebagai penopang denyut hidup seni karawitan. Di era 60-80an, mampu pentas gamelan di RRI menjadi kebanggaan tersendiri bagi komunitas karawitan di Solo dan sekitarnya. Seseorang dan kelompok karawitan akan dianggap mumpuni dan berkualitas jika pernah pentas di RRI. Tak hanya karawitan, bahkan seni pedalanganpun demikian. Seorang dalang dianggap berkelas jika mampu menampilkan pertunjukannya di RRI. Anom Suroto dalang kondang masa kini, dalam laku sejarahnya harus mencoba hingga tiga kali untuk bisa pentas di lembaga penyiaran itu. RRI menjadi rujukukan, eksistansi sekaligus legitimasi.
Perhatian RRI juga cukup nampak dalam memberi penghargaan bagi tokoh-tokoh pelestari karawitan yang bertajuk “RRI Wira Budaya Award”. Mereka yang menerima penghargaan itu adalah para empu, maestro yang menziarahkan hidup matinya untuk kelangsungan hidup karawitan. Maklum saja, di masa kini, sosok maestro atau empu gamelan boleh dikata jarang. Keberadaannya semakin sedikit karena tongkat estafet dalam menjaga denyut gamelan tak mampu terlanjutkan ke generasi sesudahnya. Tak muluk-muluk kiranya jika di masa yang akan datang, dengan berbagai lomba dan acara yang digelar diharapkan mampu melahirkan tokoh-tokoh karawitan baru yang lebih muda dan fenomenal. Kemunculan video pemain arsenal yang sedang bermain gamelan memang cukup membanggakan, walaupun sejatinya juga telah menjadi kritik yang pedas. Di video itu seolah ingin bersuara lantang bahwa kebudayaan musik Indonesia begitu indah dan mempesona. Kitapun melihatnya sambil tertawa lucu tanpa pernah berkontemplasi untuk kembali merenungkan arti kecintaan kita pada musik tradisi, gamelan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut