Dangdut dan
Pemilu
Dangdut dan pemilu adalah dua unsur yang
tak dapat dipisahkan. Kampanye tanpa dangdut bagai sayur tanpa garam. Dangdut
menjadi pikat bagi masyarakat untuk berkumpul, berpesta dan tentu saja
berjoget. Musim kampanye di tahun pemilu kemudian menjadi musim panen uang bagi
kelompok dangdut di Nusantara. Panggung dan goyangan kemudian bergambar,
berstempel para caleg, nomor dan warna partai. Tak jarang di ruang itu,
ekspresi erotika dijual dan pertontonkan. Dangdut memberi nafas bagi kehidupan
politik. Sejarah politik negeri ini kemudian tak jauh dari narasi goyangan
sensual di atas panggung dangdut.
Pikat
Sesedih apapun musik dangdut, hampir
mustahil tak dapat digoyangi. Dengan demikian, dangdut adalah musik yang
mengisahkan goyang. Dangdut hingga detik ini masih identik dengan masyarakat akar
rumput. Kisah-kisah nukilan hidup masyarakat abangan itu dapat terlukiskan dengan gamblang lewat musik ini. Di kala
musik-musik lain hanya menempatkan publik sebagai penikmat dan penonton, maka
dangdut justru melibatkan publik sebagai subjek nyanyian, laksana aktor atau
pemeran utama. Jangan heran kemudian jika lagu-lagunya Rhoma Irama begitu
digemari. Bukan semata karena lagu ciptaan Raja Dangdut itu enak didengar, namun
kekuatan lirik yang turut berkisah kehidupan masyarakat kelas bawah. Lihatlah
dendang Begadang, Gelandangan, Judi,
Monas, Haram, Gali Lubang, Kiamat, Perjuangan dan Doa yang hingga saat ini
masih mengalun abadi di arena panggung dangdut nusantara. Musik dangdut
kemudian dianggap sebagai representasi kultural dari kebanyakan masyarakat
Indonesia. Philip Yampolsky lewat Smithsonian
Folkways (1991) menempatkan dangdut sebagai musik “kebangsaan” Indonesia.
Dangdut juga berusaha memanjakan mata
lelaki. Membuatnya melotot tajam menyaksikan pinggul bergoyang, pantat dan paha
putih berlenggak-lenggok di atas panggung. Bagi penonton, berjoget dangdut
menjadi ritus pelampiasan dari himpitan persoalan hidup. Hiburan yang melenakan
masyarakat dari pelbagai masalah ekonomi dan kesenjangan sosial. Perayaan
goyang dangdut hampir dapat kita amati di setiap panggung hiburan kala musim
kampanye pemilu. Ratusan mata lelaki tak berketip saat penyanyi melakukan
atraksi kayang sambil tetap konsisten melantunkan lagu. Sesekali menelan ludah
kala goyangan ngebor, patah-patah, itik, ngecor, gergaji dipertontonkan. Detak
perdebatan erotika tubuh dalam musik dangdut belum sepenuhnya padam. Inul hanyalah
sebuah masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin marak
tumbuh subur di musim pemilu.
Pertanyaannya kemudian, apa yang unik
dari panggung-panggung dangdut di musim pemilu? Di area panggung itulah
ekspresi “kenaturalan” mencoba untuk dipertontontan. Tanpa ada usaha dalam
memoles “muka dangdut” seperti yang sering kita lihat di layar televisi.
Dangdut di televisi cenderung permisif, santun dan kadang justru kelihatan banal
penuh kepura-puraan. Bahkan tak jarang, dangdut dalam layar kaca menjadi musik
yang termarjinalkan. Kalah bersaing dengan musik-musik pop. Ruang tampilnya pun
hanya dibatasi pada jam-jam yang tidak menguntungkan untuk dilihat mata. Atau sekedar
sebagai pelengkap dalam keseluruhan sajian acara musik pop, tergilas dan kalah.
Akibatnya banyak pengamat musik yang memprediksi dangdut segera akan menemui
titik nadir kematiannya. Benarkan demikian?
Anggapan tersebut salah besar. Arus
perkembangan musik dangdut berbeda dengan musik pop. Jika perkembangan musik
pop terpusat di Ibu Kota, maka dangdut lebih bersifat arus bawah. Artinya,
musik-musik pop membutuhkan Jakarta sebagai ruang pijak untuk produksi dan
publikasi lagunya, sementara dangdut membutuhkan kampung sebagai ruang hidup
dan sosialisasi. Produser-produser musik Ibu Kota berburu gaya “dangdut jalanan”
untuk diadopsi, dijadikan sebagai stuktur budaya musik kota. Kemudian lahirlah
hentakan-hentakan musikal dangdut yang selama ini banyak kita dengar lewat
acara komedi di pelbagai stasiun televisi swasta (Yuk Keep Smile, Dahsyat,
Fesbukesrs, Inbox). Hentakan-hentakan musikal itu sejatinya justru lahir dari rahim
panggung “dangdut kampung” -musik koplo di Jawa Timur misalnya-. Dengan
demikian, dangdut tak membutuhkan Jakarta sebagai pusat kebertahanan. Dangdut
justru akan senantiasa bertahan dari satu kampung ke kampung yang lain. Melebur
dan menjadi musik wajib dalam setiap prosesi dan pesta yang ada.
Banyak lagu “dangdut ala desa” yang
kemudian diaransemen ulang oleh produser musik Ibu Kota sehingga nampak baru
dan segar. Lihatlah Iwak Peyek, Keong
Racun, Nyanyian Pengamen, Cicilalang dan lain sebagainya. Pada titik inilah
lajur kehidupan musik dangdut berlawanan dengan musik pop. Karena menjadi musik
kerakyatan, dangdut adalah sarana yang ideal dalam mengemban misi menyemarakkan
kampanye pemilu. Tak mengherankan kemudian jika Tempo 20/5/2013 memberitakan
bahwa pentas dangdut menjadi sarana efektif untuk menggalang massa di musim politik.
Di balik itu, banyak para politikus dan birokrat telah jatuh hati pada
kemolekan penyanyi dangdut.
Panen
Moh. Muttaqin lewat tulisannya berjudul Dangdut and its Existence in the Society
(2006) menjelaskan dangdut menjadi ruang ideal dalam misi propaganda politik,
terutama lewat erotika. Wajar kemudian jika jadwal pementasan kelompok dangdut
di Jawa Timur dan Pantai Utara Jawa (Pantura) banyak yang telah penuh di awal
tahun 2014 menjelang pemilu. Musim panen sedang berlangsung. Erotika menjadi
pemandangan lumrah. Para politikus disemai dari hasil goyang pantat dan
pinggul. Walaupun kadang mereka lupa, setelah menjadi birokrat sibuk mengurusi
tentang undang-undang pronografi dalam musik dangdut. Tak sadar bahwa lewat
dangdut dan erotika mereka sejatinya dibentuk. Namun panggung dangdut juga
seringkali meminta korban. Berdesakan, tawuran dan kekerasan sudah menjadi
pemandangan yang biasa. Dangdut boleh dikata sebagai musik yang paling banyak
mendulang kerusuhan di negeri ini. Adu joget menjadi adu jotos.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya,
presiden yang dibesarkan lewat dangdut itu mencoba melarang kampanye dengan
medium dangdut (Media Indonesia, 16/01/2013). Menurutnya, saat ini kurang
efektif jika mengumpulkan masa lewat musik dangdut, karena selain rawan ricuh,
visi-misi tak sampai secara ideal karena masyarakat semata hanya mengharap hiburan
alias goyang. Bagi SBY, alangkah lebih baik jika kampanye dilakukan di dalam
gedung dan hanya mengundang masa dengan kapasitasnya yang terbatas. Seolah ada
ketakutan tersendiri kala dangdut berbunyi di panggung-panggung kampanye. Semakin
banyak politikus menggunakan dangdut, semakin mengangkat namanya untuk dikenal
masyarakat luas. Atau justru sebaliknya, masyarakat hanya datang demi dangdut,
bukan karena pamrih politik. Apa kata politisi lewat orasinya, itu tidak lagi
menjadi penting. Yang paling utama dan ditunggu adalah menikmati lagu dangdut
sambil ekstase goyang
Dangdut menjadi nukilan yang meyertai
hajad agung di negeri ini. Dangdut berjasa besar dalam struktur penekanan
politik Indonesia di abad XXI. Dangdut kembali diprediksi menjadi musik yang
paling bising di awal tahun 2014. Menyapa masyarakat untuk datang, menyaksikan
biduan-biduan yang cantik dan semok beratraksi tubuh. Nyanyian boleh sumbang,
suara politisi boleh muluk penuh janji, tapi goyang tidak mungkin akan hilang
dan terganti. Selamat datang tahun dangdut. Selamat begoyang.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar