Seni Pertunjukan Tradisi di Mata Capres (dimuat di Koran Solopos edisi 13 Juli 2014)

Seni Pertunjukan Tradisi di Mata Capres



Agak kaget saat mendengar pernyataan Jokowi dalam debat Calon Presiden (Capres) pada 15 Juni 2014 lalu. Ia secara gamblang menyinggung tentang dunia seni pertunjukan tradisi Indonesia yang menurutnya mampu bersinergi dengan industri kreatif. Pernyataan tersebut langsung mendapat persetujuan dari Prabowo tanpa penolakan. Kedua capres setidaknya memiliki pandangan yang sama. Maklum, bukan satu hal yang aneh bahwa selama ini seni pertunjukan tradisi di Indonesia kurang dapat menunjukkan ujudnya secara terbuka. Kalah bersaing dengan tontonan yang lebih glamour lewat layar kaca. Namun demikian, capres kita memandang seni pertunjukan Indonesia memiliki kekuatan yang dapat mempresentasikan karakter dan jatidiri bangsa. Tak berlebihan kiranya jika seni pertunjukan menjadi lahan empuk yang dapat digarap, diolah dan dikembangkan, tak hanya sekadar melakukan konservasi. Hingga saat ini, tak banyak (mungkin juga tak ada) presiden dan pemimpin negeri yang secara khusus memberi perhatian pada dunia seni pertunjukan khususnya tradisi. Seni pertunjukan tradisi dianggap sebagai “lahan kering” yang tak memberi keuntungan bahkan membebani keuangan negara dengan dalih pembiayaan untuk pelestarian. Pernyataan Jokowi malam itu mencoba mendekonstruksi anggapan bahwa pejabat selama ini hanya menganaktirikan dunia seni pertunjukan tradisi Indonesia.

Mental
Menghadiri pentas seni pertunjukan, pejabat jarang datang tepat waktu. Seringkali gelaran seni harus molor dari waktu yang ditentukan hanya karena menunggu pejabat terkait untuk membuka dan memberi sambutan. Saat datang, pejabat ditemani rombongan termasuk pengawal, suasana gaduh dan semua penonton berdiri. Ia duduk di depan alias bangku utama yang nyaman dan empuk dengan suguhan makan dan minuman. Setelah membuka acara, ditandai pukulan gong dan sambutan singkat berisi puja-puji, dengan terburu-buru ia pergi meninggalkan gelaran seni. Pamit dengan dalih ada tugas penting lain dan mendesak yang harus segera diselesaikan. Pentaspun baru bisa dimulai. Perilaku semacam itu sudah menjadi habitus (kebiasaan melekat) yang disematkan pada pejabat kita. Bahkan tak jarang, perilaku tersebut seringkali sengaja dilakukan agar pejabat kita terlihat seolah bekerja dan sibuk. Oleh karena itu, mereka sengaja datang telat dan pulang cepat. Semakin telat dianggap semakin baik karena terlihat super sibuk dan masih mampu menyempatkan diri untuk datang. Bisa jadi, setelah membuka acara, mereka pergi ke rumah atau tempat karaoke, bersantai ria dan berfoya-foya. Sementara bagi panita pelaksana gelaran seni, merasa terhormat jika pejabat berkenan hadir membuka. Walau hanya beberapa menit dan setelahnya tak nampak lagi. Yang penting datang dan terlihat ujudnya, bersalaman, berfoto bareng sebagai kelengkapan laporan pertanggungjawaban pada sponsor atau pemberi dana.
Dari waktu ke waktu, dunia seni pertunjukan tradisi kita menjadi ironi yang mengenaskan dalam tatanan birokrasi pemerintahan. Dunia seni sebagai bagian dari kebudayaan masih menjadi satu dengan kementerian pendidikan. Bahkan sebelumnya berafiliasi dengan kementerian pariwisata. Akibatnya, kesenian dipoles sedemikian rupa untuk laku dijual. Menjadi sapi perah, tak lebih dari barang dagangan. Kreativitas seniman hanya diukur dengan untung-rugi pasar secara materi. Belum ada tawaran alternatif yang membuka horizon pemikiran tentang daya tahan dan ruang hidup seni pertunjukan tradisi kita. Lontaran pernyataan Jokowi malam itu setidaknya mencoba menggarisbawahi bahwa unsur kreatif menjadi hal utama dalam mengembangkan dunia seni pertunjukan –tradisi- kita. Tradisi yang selama ini dianggap sebagai “peti es” kesenian harus mulai dirobohkan. Tradisi adalah semata pijakan dan sumber ide untuk melahirkan karya kreatif yang lebih baru dan menggairahkan. Kita dapat belajar dari gelaran seni pertunjukan di Solo yang selama kepemimpinan Jokowi mampu memberi kesan berarti di hati masyarakatnya. Solopun berubah menjadi kota seni pertunjukan dengan mengambil tradisi Jawa sebagai sumbernya (Solo the Spirit of Java)
Kantung-kantung kebudayaan yang selama ini digadang-gadang mampu menjaga ritme hidup seni pertunjukan tradisi Indonesia juga kembang-kempis. Mereka, dengan dana terbatas seolah hanya menjadi ruang pamer seni pertunjukan tradisi dengan penonton yang dapat dihitung dengan jari. Minim publikasi. Semata hanya melakukan rutinitas demi melengkapi laporan pertanggungjawaban pada atasan. Terlebih ada semacam keharusan bahwa setiap institusi pemerintahan tak ubahnya pabrik yang harus mampu menghasilkan pundi-pundi keuntungan. Oleh karena itu, gedung-gedung kesenian berplat merah seringkali menjadi ajang bisnis, disewakan untuk pelbagai kepentingan, dari hajatan nikah hingga pesta ulang tahun. Bahkan di beberapa kasus, pentas seni pertunjukan harus batal atau ditunda tanggal mainnya karena di hari yang sama gedung (pendopo) pementasan sedang dipakai pesta nikahan. Waktu tampil pentas seni harus menyesuaikan diri. Masyarakat juga tak pernah mengatahui alur aliran dana (untuk apa dan bagaimana prosedurnya) yang didapat dari hasil “jualan” tempat pertunjukan tersebut.
Ada anekdot, menjadi pimpinan atau pejabat di lingkungan dinas kebudayaan semacam Taman Budaya dan sejenisnya adalah bernasib apes. Banyak pejabat di wilayah itu adalah orang-orang hasil mutasi karena mendekati masa pensiun. Akibatnya pejabat terkait tak memiliki visi-misi budaya yang kongkret dan jelas. Menjabat karena menunggu giliran dari pimpinan, bukan didasarkan atas kompetensi dan kinerja. Banyak di antaranya yang tak faham menempatkan dan memperlakukan kesenian tradisi dengan baik sebagaimana mestinya. Mereka tidak dididik dan dibesarkan dari pendidikan berbasis budaya dan kesenian. Melihat kesenian hanya menjadi ajang untuk jualan dan sebisa mungkin membawa keuntungan. Di titik inilah, seni pertunjukan tradisi kurang mendapat porsi tampil secara reguler. Karena dianggap monoton, membosankan dan yang lebih penting lagi tak membawa dampak keuntungan. Yang tampil adalah kesenian populer, yang banyak mengundang massa dan dilirik sponsor (stake holders). Seni pertunjukan tradisi semakin terpuruk dan bersiap pamit mati.

Kejelasan Visi
Tak berlebihan kiranya jika kita banyak berharap pada presiden mendatang dapat memberi perubahan besar bagi dunia seni pertunjukan tradisi kita. Dengan terlontarnya pernyataan untuk membenahi dunia seni pertunjukan tradisi kita dari Capres Jokowi dan diamini oleh Capres Prabowo, masyarakat tinggal menunggu pembuktiannya jika salah satu di antara mereka terpilih. Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud mendukung dan melakukan keberpihakan pada salahsatu capres. Namun mencoba memberi penekanan, bagiamana dunia seni pertunjukan –tradisi- yang selama ini terlupakan justru menjadi poin penting dalam strategi politik dan ekonomi pada debat calon presiden kita malam itu. Kitapun kemudian patut juga berprasangka, musim kampanye sebagai musim mengumbar janji-janji politis yang akan sirna dan hilang setelah mereka terpilih. Apapun dapat menjadi ajang dan bahan dalam berkampanye, tak terkecuali dunia seni pertunjukan tradisi kita. Jika demikian, apes betul nasib dunia seni tradisi di Indonesia.
 Presiden memang diharapkan melek kesenian, agar jiwanya terasah dan budi pekertinya luhur. Calon presiden jangan hanya menempatkan seni pertunjukan tradisi Indonesia sebagai ajang kampanye politis. Dihadirkan dan ditanggap mahal hanya karena ingin meraih simpati publik. Pentas kesenian tradisi penuh dengan warna partai, nomor dan gambar capres. Setelahnya, sepi dan sayup-sayup tak terdengar nasib hidup seni terkait. Kitapun patut berharap tak muluk, agar Presiden di masa yang akan datang tak telat saat membuka dan menyaksikan gelaran seni. Tak juga pamit cepat-cepat. Namun menikmati pertunjukan dari awal sampai selesai. Amiiin.
Aris Setiawan

Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Musik Berpolitik (dimuat di Koran Joglosemar edisi 11 Juli 2014)

 Musik Berpolitik



Saat musim kampanye capres-cawapres kemarin, segala hal dapat digunakan sebagai medium corong politis tak terkecuali musik. Banyak musisi yang menjadi juru kampanye masing-masing pasangan. Hal yang paling hangat dibicarakan adalah tingkah Ahmad Dhani lewat lagunya Prabowo-Hatta: We Will Rock You. Lagu tersebut banyak menuai kontroversi. Selain, memakai baju mirip dengan seragam Nazi, Dhani juga merubah lagu We Will Rock You tanpa seijin penciptanya, alias ilegal. Hal ini dapat ditelusuri lewat versi online Majalah Time yang menyebutkan pihak Queen yang diwakili oleh sang gitaris, Brian May, menyatakan tak pernah memberi kewenangan dan ijin atas penggunaan lagu tersebut. Apa yang dilakukan Ahmad Dhani bertentangan dengan keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berperang melawan pembajakan dan penjiplakan musik. Ironisnya, niat luhur tersebut selama ini justru banyak digembar-gemborkan oleh para musisi dan pencipta lagu seperti Dhani.

Posisi
Posisi musik kemudian tak lagi netral, telah banyak berafiliasi dengan politik muthakir. Lagu dan nada berisi puja-puji dan sanjungan bagi calon presiden. Di kubu Prabowo terdapat Ahmad Dhani dan Rhoma Irama, sementara di kubu Jokowi terdapat grup Slank, Glen Fredly, Ello, Jogja Hip-hop Foundation. Musik turut berpolitik, berhadap masyarakat tertarik dan rela memberikan suaranya karena pengaruh bunyi bernada. Di satu sisi, musik-musik tersebut diciptakan secara khusus untuk capres pilihan. Salam Dua Jari misalnya diciptakan oleh kelompok Slank khusus untuk pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla. Ada aspek kebaruan dan kreativitas yang menyegarkan. Namun di sisi lain, tak jarang pula ide musikal yang ditampilkan kurang kreatif. Layaknya lagu We Will Rock You yang digubah sekenanya oleh Ahmad Dhani, musik-musik kampanye banyak yang tidak secara khusus diciptakan, namun mendompleng ketenaran musik atau lagu lain dengan mengubah liriknya. Beberapa tahun lalu, saat kampanye pemilihan gubernur Jakarta, para pendukung Jokowi-Ahok menggunakan salah satu lagu One Dorection tanpa izin dan pemberitahuan. Musik-musik rakyat juga tak lepas dari sasaran tembak. Lagu Apuse misalnya, oleh para pendukung atau tim sukses, diubah liriknya menjadi puja-puji bagi Prabowo-Hatta Rajassa.
Tak ubahnya kita menonton sinetron Indonesia hasil saduran dari film Korea. Yang berbeda hanya rupa dan bahasa, sementara jalannya cerita persis sama. Lagu-lagu kampanye hanya pamer lirik namun miskin ornamen musikal. Terlebih, sisi kreatif yang minim masih ditambah dengan kurang layaknya penampilan musisinya. Dengan memakai baju ala Nazi, yang dalam jejak sejaranya membantai sesama manusia karena berbeda ras dan agama, seolah Dhani hendak berbicara bahwa capres pilihannya layak ditakuti? Tentu tak berlebihan kiranya jika kita menduga demikian. Karena musik kampanye dengan segala ujud dan rupa adalah representasi dari apa yang didukung dan disuarakannya. Apalagi secara profesional Dhani mengakui telah dikontrak resmi sebagai juru kampanye. Kritikan atas lagu tersebut muncul tak hanya dari masyarakat luas, namun juga sesama seniman dan publik figur.
Musik bukan semata karya seni berisi untaian nada, namun juga susunan kata. Kata dan kalimat atau yang biasa disebut lirik (teks musikal) sejatinya diciptakan secara khusus untuk menghuni “ruang” nada tertentu. Karena itu, adakalanya jika lirik diubah atau diganti maka kemungkinan besar akan mengubah pula capaian estetika musikalnya. Dengan menggunakan lirik baru pada musik yang telah ada, maka kata dan kalimat sejatinya telah diperkosa. Kata-kata baru yang dipilih dituntut untuk mampu sesuai dengan aspek musikal, tak boleh kurang ataupun berlebih. Artinya, kata (lirik) dipaksakan untuk menyesuaikan nada. Otomatis, musik-musik jenis demikian biasanya tak mampu bertahan lama. Masyarakat hanya disuguhi oleh pameran lirik tanpa ada kebaruan dalam nada dan harmoni. Masih beruntung jika musik hasil otak-atik lirik tersebut dapat diterima publik dengan baik. Banyak musik saduran yang tidak lebih bagus dari musik aslinya. Musisi yang mengambil jalan demikian bisa jadi miskin kreativitas atau pemalas.
Dengan mengganti lirik pada musik tertentu, seniman atau musisi tak memiliki idelaisme dalam bermusik. Tak ada pertanggungjawaban moral berupa contoh pendidikan prilaku positif bagi masyarakat. Terlebih di musim kampanye pilpres, musik seolah menjadi “tepat sampah”. Apapun dapat dilagukan sebagai musik. Perang lewat musikpun terjadi. Antar kedua kubu saling ejek lewat musik. Siapa yang lebih keras dalam bernyanyi dianggap lebih baik dan menang. Debat capres dan cawaprespun dihiasi dengan sajian musik untuk yel-yel di kedua kubu. Bahkan stasiun televisi membuat musik khusus untuk pemilihan presiden. Musik menjadikan pemilihan capres-cawapres menjadi lebih semarak (kalau bukannya bising dan berisik). Kita kemudian seolah melupakan bahwa musik-musik yang diubah liriknya tersebut adalah hasil “karya seni”, yang dicipta secara serius dari hasil pergulatan kreatif panjang, sehingga mampu diterima masyarakat luas. Dengan mengubah lirik seenaknya, berarti tidak menghargai si pencipta,  karya cipta dan kreativitas.

Rindu
Musik dalam jejak sejarahnya juga pernah menjadi alat kontrol dan kritik yang efektif bagi pemerintah dan penguasa. Suara seorang seniman musik kadang lebih mampu didengar dari ribuan massa yang berdemo di jalanan. Musik memiliki kuasa untuk memengaruhi psikologis. Wajar kemudian jika di banyak negara, musisi atau seniman musik harus ditangkap dan dicekal karena teks-teks liriknya yang dianggap berbahaya. Kitapun seolah merindukan musik-musik era Iwan Fals, yang lahir dari suara masyarakat akar rumput. Mengisahkan kepedihan dan ketertindasan hidup. Musik sebagai medan perjuangan. Tak semata hendak meraih untung-rugi pasar. Musik di zaman itu kini mulai sayup-sayup tak terbaca. Musik masa kini adalah pertaruhan pasar dan bisnis, bukan idealisme. Melihat begitu banyaknya musik kampanye yang dibuat oleh masing-masing kubu capres-cawapres, kiranya menjadi penting pula untuk dihadirkan musik penyeimbang berisi kritik.
Panggung-panggung kampanye dan pesta hasil pemilihan presiden kemarin berisi sajian musik. Para musisi sedang panen. Musik menjadi alat yang efektif dalam menarik masa. Capres-cawapres butuh musik untuk mencitrakan dirinya. Musik menjadi medium penting dalam kampanye. Namun kita patut bertanya, sumbangan apa yang telah ditorehkan capres-cawapres tersebut terhadap perkembangan musik kita? Dengan memilih presiden yang melegalkan penjiplakan musik, secara tak langsung kita turut membunuh perkembangan musik tanah air di masa mendatang. Penggunaan musik dalam panggung kampanye adalah contoh ideal dalam menentukan arah dan keberpihakan dalam memilih.
Kita berharap presiden terpilih mendatang melek musik. Bukan semata membuat musik untuk pencitraan diri yang wajib dinyanyikan saat perayaan hari besar semacam tujuhbelasan. Namun menjadikan musik sebagai ruang kontemplatif, yang mampu membawa pesan positif bagi kehidupan yang lebih baik. Zaman telah berbalik, di era Orde Baru musik mengisahkan perlawanan terhadap penguasa, di masa kini musik mengisahkan puja-puji seorang penguasa. Para musisi mulai tergoda untuk berpolitik musik dengan menjual (menggadaikan) idealisme berujud nada dan harmoni. Musik kemudian juga berisi cacian dan umpatan untuk saling menjatuhkan antar satu dengan yang lain. Laksana pertarungan tinju, masyarakat menjadi penonton yang riuh bertepuk tangan. Kreativitas menjadi tidak penting lagi, yang paling utama adalah memproduksi musik kampanye sebanyak-banyaknya. Semakin banyak berarti semakin baik. Mampu menjadi teror yang berlalu-lalang setiap saat lewat layar kaca televisi dan internet.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Daya Tarik TV Lokal (dimuat di Koran Tempo edisi 5 Juli 2014)

Daya Tarik TV Lokal


Hampir semua televisi swasta nasional sedang melakukan keberpihakan terhadap Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Wapres). Akibatnya, berita dan informasi yang dimunculkan kadang tak berimbang, berat sebelah dan terkesan saling menjatuhkan kubu lawan. Kabar terbaru, massa dari Partai Demokasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendatangi kantor berita TV One (2 Juni 2014) karena menganggap pemberitaan yang disajikan diskriminatif, menuduh tanpa bukti dan cenderung berlindung di balik undang-undang kebebasan pers. Semua program acara di TV nasional pendukung capres-cawapres dikemas semenarik mungkin untuk mengangkat popularitas calon yang dipuja. Otomatis, setiap saat pemberitaan hanya dimonopoli oleh satu informasi yang sama. Berharap masyarakat terpengaruh dan menaruh simpati. Namun justru sajian tayangan tersebut membuat penat, jenuh, monoton dan membosankan. Di saat seperti itu, kita masih memliki alternatif pilihan lain dengan mengubah chanel ke TV lokal.
Tahukah kita bahwa program-program yang disajikan oleh TV lokal kini cenderung menghibur dan mencerdaskan. Kebanyakan berita disajikan secara proporsional. Kitapun masih dapat menikmati sajian informasi yang sifatnya lokal, seputar daerah di mana televisi tersebut berada. Keberadaan TV lokal menjadi oase yang menyegarkan di balik hiruk-pikuk informasi pemilihan calon presiden yang tak berimbang. Masyarakatpun mulai menaruh simpati terhadap keberadaan TV lokal. Hal ini terlihat dari jumlah TV lokal yang semakin bertambah setiap saat. Rinowati lewat tulisannya Eksistensi Televisi Lokal menjelaskan, tahun 2004 jumlah TV lokal di Indonesia berada pada kisaran 50 stasiun. Saat ini TV lokal telah menembus lebih dari 200 stasiun. Jumlah ini masih terus berkembang seiring pembukaan loket perizinan di pelbagai daerah.
Beberapa TV lokal yang memiliki keunikan progam sajian di antarnya seperti JTV Surabaya yang menggarap siaran berita berbahasa Jawatimuran dan Madura. Hal itu dimaksudkan untuk meraih simpati publik yang memiliki latar belakang budaya bahasa sama. Bali TV dan Yogya TV berisi program-program kebudayaan (kesenian) lokal. Faforit TV (Padang) menggarap adat istiadat sebagai sajian khasnya. Demikian pula dengan TV Manado dan TOP TV (Papua) mengambil siaran utama dengan tajuk kelucuan-kelucuan (humor) khas daerah. Sementara TA TV (Solo) dengan rutin masih melangsungkan siaran kesenian-kesenian tradisi seperti klenengan gamelan, wayang kulit dan ketoprak. Semua keunikan TV lokal tersebut tentu saja tak dapat dijumpai pada TV nasional. Iklan yang masuk juga bersifat lokal seperti iklan penjual bakso dan jamu, air isi ulang, kontrakan dan kos-kosan mahasiswa. Bahkan di beberapa TV lokal seperti Grabak TV di desa Grabak, Magelang Jawa Tengah, pembiayaan dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat.
TV lokal kian dinikmati karena mampu memberi suguhan yang berbeda dari TV nasional. Saat ini, hampir semua acara TV nasional seragam, dari berita politik, film, hiburan hingga gosip artis. Miskin kreativitas, semata hanya memburu untung rugi pasar berupa iklan dan rating. Tak hendak berpihak pada publik dengan menyajikan tayangan yang sehat dan mendidik. Pada konteks inilah posisi TV lokal menjadi penting kembali untuk dilihat dan sekaligus juga direnungkan. Sarah Anabarja (2011), mengungkapkan bahwa televisi merupakan media yang paling potensial untuk memengaruhi dan membentuk prilaku seseorang. TV mampu merebut 94% saluran masuknya pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia lewat mata dan telinga. TV mampu membuat orang umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar walaupun hanya sekali ditayangkan. Wajar kemudian jika banyak anarkisme, kekerasan, pelecehan seksual terjadi karena efek dari tontonan yang selama ini mereka lihat dan dengar di televisi. Karena itu, sudah saatnya kita menonton tayangan yang bermutu, dengan memindah chanel di TV Lokal.
Aris Setiawan

Penulis

Nyadran dan Kohesi Sosial (dimuat di Koran Tempo 27 Juni 2014)

Nyadran dan Kohesi Sosial



Poerwardarminto (1937) mengartikan nyadran sebagai ritual menziarahi makam laluhur yang waktunya telah ditentukan. Nyadran biasanya dilangsungkan secara kolektif menjelang bulan puasa atau ramadhan. Aktifitas ini tak semata ungkapan ekspresi religius masyarakat Jawa, namun juga kultural. Tradisi ini menjadi simbol yang mempertautkan masyarakat Jawa dengan leluhur atau nenek moyangnya. Di wilayah itu, orang Jawa menyadari bahwa dirinya memiliki garis keturunan, tidak lahir secara tiba-tiba. Karenanya, mereka dituntut untuk berbakti, menghargai jasa para leluhur dengan berkirim doa dan sesaji. Mengisahkan hubungan kekerabatan tidak putus walaupun ajal telah menjemput. Ritual nyadran biasanya diisi dengan aktifitas membersihkan makam, selamatan atau kenduri, membuat kue apem dan ketan. Di sisi lain, nyadran juga menjadi sarana implementasi terbentuknya kohesi sosial masyarakat Jawa. Sanak keluarga dari rantau pulang kampung untuk melakukan nyadran, sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan komunikasi.

Komunikasi sosial
Masyarakat kampung berbondong-bondong pergi menziarahi makam dan melakukan kenduri. Kenduri biasanya dilangsungkan di balai desa, atau gedung pertemuan desa. Di ruang itu, pelbagai komunikasi sosial dilangsungkan dengan bertukar makanan. Segala masalah kampung diulas dan berusaha ditemukan solusinya. Masyarakat saling bertegur sapa. Menyadarkan bahwa hidup tidak mempribadi namun saling membutuhkan. Nyadran adalah ujud pengorbanan masyarakat Jawa dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi. Dengan mendoakan arwah para leluhur merupakan ujud negosiasi pada tuhannya, agar diberi kemudahan dan kesuksesan hidup. Arwah keluarga dianggap lebih dekat pada tuhan, sehingga dirasa mampu menyampaikan segala pesan dan doa dengan lebih gamblang. Bahkan aktifitas menziarahi makam juga dilakukan oleh banyak pemimpin negeri ini. Soekarno dan Soeharto dianggap sebagai presiden yang tekun menziarahi makam-makam Jawa yang dianggap keramat. Hal itu juga masih ditiru hingga sekarang, lihatlah calon presiden kita yang juga melakukan aktifitas serupa. Prabowo nyekar di makam Soeharto dan Soekarno, begitupun Jokowi yang ke makam Gus Dur dan ayahnya.
Bagi orang Jawa, makam bukan dianggap sebagai tempat peristirahatan terakhir, namun terminal yang menghubungkan manusia dengan dunia lain, fana dan gaib. Oleh karena itu, “terminal” tersebut haruslah dirawat dan dibersihkan. Semakin indah makam atau kuburan, menunjukkan bahwa mereka merawat masa lalu dengan mengenang leluhur, dan menghargai masa depan melalui doa dan pengharapan. Nyadaran datang lewat akulturasi yang harmonis antara Islam dan Jawa. Ritual itu berada di ruang abu-abu, bukan hitam apalagi putih. Nyadran bukan sepenuhnya Islam, tidak pula seutuhnya Jawa. Ia berada di tengah-tengah, perpaduan antara keduanya. Nyadran adalah cara orang Jawa dalam memahami esensi Islam. Layaknya mendengarkan gamelan Sekaten di masjid Agung dan menonton pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci. Nyadran mampu mengisahkan jejak kultural masyarakat Jawa dengan indah. Di mana rasa gotong royong, guyub rukun, kekerabatan, kasih sayang masih dapat dijumpai dengan lentur.
Dengan kata lain, nyadran menghasilkan tata hubungan yang vertikal dan horizontal. Meningkatkan hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Lewat aktifitas nyadran, manusia Jawa saling berkumpul bersama tanpa adanya sekat atau kelas-kelas sosial. Tak lagi dibedakan status golongan, partai dan pilihan politik. Semua setara dan tidak ada yang lebih baik-buruk dan tinggi-rendah. Ritual nyadran menarasikan bagaimana kebudayaan Jawa dibangun atas persamaan, tidak berdasar perbedaan. Setelah ritus itu dilangsungkan, kehidupan dilangsungkan dengan semangat dan cita-cita baru. Berharap di masa kini dan yang akan datang menjadi lebih baik. Nyadran kemudian tak lebih dari usaha orang Jawa dalam memotifasi diri. Mereka bukannya menggantungkan segala doa lewat makam, namun diimbangi usaha dengan membangun jaringan lewat pertemuan sosial di ritual ini. Oleh karena itu, pelbagai kesepakatan, kerjasama, solusi masalah, saling membantu dilahirkan kala pertemuan sosial dilangsungkan. Nyadran mengakomodasi segala kemungkinan tersebut. Di bulan ini, menjelang Ramadhan, nyadran seolah berusaha mengingatkan kita tentang arti penting saling mengasihi dan menyayangi sesama demi kerukunan hidup. Di mana hal tersebut semakin sulit dijumpai dan menjadi peristiwa yang langka.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
   



Angka Bicara Politik (dimuat di Koran Jakarta 21 Juni 2014)

Angka Bicara Politik


Apa yang menarik dari hasil pengundian nomor urut pencoblosan dua calon presiden Indonesia dan wakilnya beberapa waktu lalu? Masing-masing saling membanggakan nomor urut yang didapatnya. Nomor itu kemudian tak berhenti sebagai angka semata. Namun menjelma beraneka ragam rupa interpretasi dan tafsir kultural, historis, religius, politik dan sosial. Prabowo dan Hatta Rajasa begitu bangga memamerkan nomor urut satu yang didapatnya. Dianggap sebagai yang terdepan, angka sang pemenang, tunggal dan tak terkalahkan. Angka satu identik dengan juara pertama. Angka yang diburu dan diperebutkan di pelbagai ajang lomba. Sementara Jokowi dan Jusuf Kalla mendapat nomor urut dua, lebih dapat memaknai angka itu dari unsur kosmis. Angka dua diidentikkan dengan dua unsur  (pasangan, ying-yang) yang ada di dunia untuk saling melengkapi, seperti siang-malam, panas-dingin, hitam-putih, pria-wanita, tua-muda dan lain sebagainya. Semua calon presiden dan wakilnya bangga mendapatkan nomor urut yang diperoleh. Bisa jadi, jauh hari sebelumnya, pelbagai ramalan dan tafsir nomor dan angka telah qatam dikaji oleh mereka. Hal ini kemudian mengingatkan kita tentang jejak kultural bangsa Indonesia yang juga dibangun dan diwarnai dari deretan angka atau nomor. Angka dirasa mampu membawa kebahagiaan, namun juga tak jarang mengisahkan kematian.

Kisah Angka
Di Jawa, untuk melangsungkan pernikahan, calon pengantin wajib memilih hari baik yang didasarkan atas hitung-hitungan angka kelahiran mereka (pasaran). Bisa jadi pula pernikahan batal dilangsungkan karena pertemuan angka sepasang calon pengantin dianggap jelek dan membawa kesialan. Biasanya mitos angka 25 adalah yang paling buruk, biang malapetaka. Namun bagi orang Jawa, selalu punya siasat untuk mengatasi hal itu dengan pelpagai laku sakral dan pensucian diri (ruwatan sukerta). Ruwatan dilakukan oleh orang-orang yang faham makna dan arti filosofis nomor. Dukun bahkan dalang wayang kulit adalah salah satunya. Bahkan konon, hari dan nasib buruk yang didasarkan atas hitung-hitungan nomor sengaja dibuat oleh seorang dalang ruwat. Agar si dalang laris (payu) dan senantiasa dibutuhkan. Karena hal ini pula dalang-dalang ruwat dinggap orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan berlebih. Di Jawa, mitos angka telah bertahan lama, mengakar dan menjadi rahasia umum. Angka mencoba dihubung-hubungkan dengan fenomena kehidupan dan alam. Di Yunani, lahir pula ramalan-ramalan bintang berdasar tanggal dan tahun lahir (zodiak). Di ramalan itu menyebutkan bahwa setiap orang memiliki angka dan digit-digit nomor yang membawa konsekuensi pertanggungjawaban moral, karakter diri, prilaku yang tipikal dan sikap khas. Tentu saja tidak semua masyarakat percaya akan hal itu, namun tak sedikit pula yang menganggapnya benar.
Jika dijabarkan, angka-angka itu menjadi hidup dan mampu berbicara lugas tentang nasib dan kodrat manusia. Tafsir angka layaknya primbon tak sekadar menjadi mitos, namun dipercaya dan diyakini akan kebenarannya. Muncullah para dukun-peramal yang menjinakkan pelbagai “hitung-hitungan” angka yang mungkin juga dengan gaya otak-atik gathuk. Hidup manusia kemudian seolah ditentukan oleh deretan angaka-angka dan nomor-nomor. Bahkan untuk mendapatkan tanggal lahir dan perhitungan hari yang dianggap baik, seorang ibu hamil rela melahirkan bayinya lebih cepat (caesarean) dari yang seharusnya. Semua demi mengejar imajinasi tentang angka. Hotel-hotel berbintang menghilangkan beberapa angka atau nomor kamar karena takut merugi dan apes. Bahkan di Yogya, konon ada nomor kamar khusus yang dipersembahkan pada Ratu Pantai Selatan. Pelat nomor kendaraan dan telepon seluler juga dipesan secara khusus agar deretan angka yang ditampilkan memiliki arti dan makna positif, serta dapat membawa peruntungan hidup. Nomor dalam kostum sepakbola dianggap sakral. Tak jarang hanya diperuntukkan bagi satu pemain yang menjadi legenda.
Dalam terminologi budaya Konghucu, nomor-nomor itu dianggap mampu membawa “hoki”. Sementara jika kesialan selalu datang melanda bisa jadi nomor dan angka adalah penyebabnya. Kisah lain menyebutkan jika para pemburu togel rela menyepi di kuburan dan tempat wingit demi mendapatkan nomor. Makhluk gaib yang transenden dianggap memiliki kekuatan untuk memprediksi arus perjudian berdasarkan angka. Demi angka, logika telah terkalahkan oleh fenomena. Bahkan peristiwa alam dan lingkungan sekitar menjadi simbol dari angka dan nomor tertentu. Saat banjir menerjang atau seorang terjatuh dari sepeda motor, pemburu togel melabelinya dengan nomor untuk menjadi taruhan. Bisa jadi nomor urut calon presiden dan wakilnya telah mengalami nasib serupa. Karenanya, nomor dan angka bagi manusia tidak datang secara kebetulan, namun dianggap telah tergariskan oleh tuhan.
Peradaban manusia masa kini berisi angka, mengarap angka, dan merubah angka. Di otak, hanya berisi timbunan angka-angka. Hitung-hitungan untung rugi disimbolkan dengan angka. Angka menerjemahkan apa yang abstrak. Uang menjadi bermakna ketika dihiasi dengan angka. Tak sekadar menunjukkan jumlah, namun juga makna dan arti. Bisa jadi jumlahnya hanya satu tapi maknanya bervariasi. Dengan hanya selembar kertas kita dapat membeli mobil, atau bahkan hanya mampu membeli permen anak-anak. Jumlah angka di kertas itu sangat menentukan. Di dunia musik, nada-nada disimbolkan dengan angka. Membaca angka kemudian bernada. Semakin tinggi angkanya semakin tinggi nada suaranya. Angka diperlukan dalam pelbagai hal kehidupan manusia. Dengan angka, hidup menjadi lebih mudah atau juga sebaliknya.

Angka Presiden
Hal terbaru, Prabowo dan Jokowi kini dimaknai secara baru lewat nomor. Di jalan, iklan televisi, berita koran bertebaran nomor-nomor yang mempresentasikan sosok calon presiden kita. Kita dihantui setiap saat dengan nomor. Teror nomor selama pemilihan presiden sengaja dibuat untuk memperngaruhi persepsi masyarakat. mampu terpikat dan teringat selalu dengan nomor dan orang penting di balik itu. Satu adalah Prabowo, dua adalah Jokowi. Di jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, komentar dan tafsir tentang nomor itu ramai diperbincangkan dan diulas. Masing-masing kubu memberi penafsiran nomor urut itu dalam pelbagai konteks. Bahkan tak jarang menjurus pada hal yang transenden atau nir nalar. Hal ini bertujuan agar publik tak lagi ragu mencoblos nomor itu. Kita kemudian lupa melihat calon presiden berdasarkan atas kemampuan, pengalaman dan pemikirannya. Semata karena angka yang didapatnya. Indonesia mutakhir penuh sesak dengan tafsir nomor dan angka. Nomor itu mengisahkan ambisi politik. Masyarakat dipertontonkan perdebatan nomor, antara sisi intelektualitas dan transenden berbaur menjadi satu, tak jelas dan abu-abu. Masyarakat kembali diajak menelusuri jejak-jejak angka secara kultural namun pekat beraroma politis. Sekali lagi, menghiasi pikiran mereka dengan digit-digit. Jika percaya, pilih saja presiden berdasarkan atas nomor undian yang didapatnya. Silahkan ditafsir, direnungkan, dihitung, kemudian dijabarkan sisi positif dan negatifnya. Jangan lihat presidennya, lihatlah nomor undiannya saja. Siapa tau nasib Indonesia menjadi lebih baik di pemerintahan mendatang karena efek nomor dan angka. Atau sebaliknya, nomor dan angka itu tak lebih dari simbol yang tak memiliki makna berlebih. Semata hanya membantu kita untuk berhitung, menata urutan tampil, mempermudah proses pemilu. Tak lebih dari itu.
Berapa nomor yang hendak angka pilih? Satu atau dua? Atau seperti lagunya Gamma Band, Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka/Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta/Dua atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu/Karena diriku bingung harus pilih dia atau dirimu. Nah looh..

Aris Setiawan (Esais)

Dolly (dimuat di Koran Joglosemar 18 Juni 2014)

Dolly



Dolly, tempat prostitusi di Surabaya yang akan ditutup (tenggat 18 Juni 2014). Konon lokalisasi tersebut terbesar se-Asia Tenggara. Mengalahkan Phat Pong di Thailand dan Geylang di Singapura. Dolly seolah menjadi “institusi resmi” bisnis esek-esek. Kehadiran dan eksistensinya diakui secara aklamasi, walau tak jarang dicaci dan dihujat oleh pihak-pihak tertentu atas nama moralitas. Seksualitas adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia, begitulah kata Michael Foucault (1926-1984). Seksualitas tabu untuk diumbar namun tiada usai diperbincangkan. Kitab Kamasutra di India, awalnya dihujat dan diharamkan, namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Dolly hanya menjadi contoh bagaimana seksualitas dirayakan secara terbuka, di saat hal serupa di wilayah dan daerah lain masih abu-abu, tersembunyi, ilegal dan remang-remang. Melihat Dolly sebagai sebuah lokalisasi berarti juga menelisik tentang sejarah seksualitas dalam konteks kebudayaan di Indonesia. Saat di mana prostitusi telah mengakar sejak zaman kerajaan di Nusantara.

Telisik
Pada masa kerajaan di Jawa, seks disiarkan lewat serat yang berisi suluk dan tembang. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga musikalitas. Tak ubahnya mendendangkan musikalisasi puisi. Lihatlah serat Centhini, Nitimani, Gatholoco dan Dhamogandul. Di banyak serat tersebut kisah-kisah seksualitas diuraikan secara indah penuh citra estetik. Di ruang publik, pembicaraan tentang seksualitas direpresi dengan ketat. Namun ia justru dapat terjelaskan lewat tetembangan (Macapat, Dandhanggula, Asmaradhana, dan lain sebagainya). Antara estetika dengan erotika berbaur menjadi satu. Serat-serat tersebut segera menjadi primadona. Dilagukan tapi juga dihayati makna dan artinya. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai seks sudah ada pada tahun 1814 semasa pemerintahan Paku Buwana IV sebagai Raja Surakarta yang ditandai dengan hadirnya serat Centhini. Bahkan konon, Centhini merupakan serat paling vulgar memberitakan seksualitas. Tersusun menjadi 722 jenis tembang.
Kisah-kisah prostitusi dalam serat Centhini begitu realis, seolah menunjukkan jejak pengalaman pribadi dari si pengarang. Artinya, serat itu dituliskan setelah pengarang mengalami pelbagai kejadian seksualitas secara nyata. Ada yang mengindikasikan bahwa serat tersebut dibuat oleh raja sendiri, orang yang memiliki “kuasa” untuk melakukan hubungan seksualitas dengan banyak orang. Tak hanya wanita, sesama lelaki, bahkan prilaku menyimpang hubungan intim antara manusia dan hewan disiarkan dengan jelas lewat serat tersebut. Seksualitas kemudian dianggap sebagai sebuah ritus sakral, tak semata sebagai gejolak nafsu. Lahirlah tradisi yang mengambil seksualitas sebagai sumber. Patung linga-yoni (kelamin lelaki dan perempuan) bertebaran secara terbuka lewat relief candi (lihat candi Sukuh di Jawa Tengah). Kesenian-kesenian yang mengangkat ritus kesuburan (persentuhan lelaki-wanita) diciptakan seperti Tayub, Gandrung dan Lengger. Gending-gending gamelan yang berkisah tentang seksualitas seperti Cucur Bayuk dan Rembun dibunyikan.
Hadir pula tempat-tempat sakral yang ditujukan untuk berhubungan seks. Keraton memiliki ruang-ruang “persetubuhan” yang wingit antara raja dan ratu pantai selatan. Bahkan raja juga memiliki kuasa, hak dan tempat khusus –baca Umbul Pasiraman Taman Sari- berhubungan seks dengan siapapun wanita yang ditunjuknya. Lihat pula misalnya sejarah penari bedhaya di keraton. Otto Sukatno dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002) menjelaskan, prilaku penguasa yang demikian memberi umpan bagi rakyat di bawah pemerintahannya untuk meniru dan melakukan hal serupa. Bedanya, masyarakat akar rumput melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Semakin lama, lahirlah tempat dan komunitas yang memperdagangkan tubuh dan raga wanita. Kegiatan prostitusi tersebut adakalanya berlindung di balik nama tradisi ritus kesuburan Jawa. Simak kemudian bagaimana lokalisasi yang terjadi di gunung Kemukus Jawa Tengah. Seksualitas dijalankan atas nama tradisi, demi mengharap pamrih pesugihan. Konon untuk mendapatkan kekayaan, seseorang harus melakukan pesta seks dengan wanita (bukan istri) selama tujuh kali berturut-turut dengan pasangan yang sama. Ritual ini agaknya masih berlangsung hingga sekarang.

Dolly
Wanita di zaman kerajaan banyak digunakan sebagai persembahan atau seserahan bagi penguasa dan raja. Tradisi ini mengharuskan wanita dihargai dalam jumlah nominal tertentu dan berkembang menjadi bisnis prostitusi. Pada akhirnya setiap daerah berlomba untuk memiliki “bilik” lokaliasasi sendiri, Pasar Kembang di Yogyakarya, Kramat Gantung di Jakarta, Saritem di Bandung, dan Dolly di Surabaya. Terlebih bagi kota-kota perdagangan semacam Surabaya. Para saudagar yang singgah menyempatkan diri untuk “menikmati” wanita pribumi. Lewat catatan Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, Surabaya pada 1864, telah memiliki 18 rumah prostitusi dan pelakunya berjumlah 228 wanita. Surabaya menjadi tempat berlabuh bagi banyak kapal dari daerah lain untuk pelbagai kepentingan. Akibatnya ada semacam keharusan untuk menyediakan pelbagai layanan jasa tak terkecuali seksualitas.
Sejarah terciptanya Dolly sebagai tempat prostitusi cukup sulit untuk dilacak dengan jelas. Namun tradisi lisan menyebutkan bahwa nama Dolly sendiri didapat dari perempuan keturunan Belanda yang dikenal dengan nama Dolly van der mart. Lokalisasi Dolly laksana aquarium. Memajang wanita dengan pelbagai bentuk raga dan rupa. Transaksi seksualitas dapat diberlangsungkan secara terbuka tanpa tabu dan ragu. Tak hanya bisnis prostitusi, pelbagai mata pencaharian saling terkait antar satu dengan yang lain. Dari tukang becak, ojek, warung makan dan minuman, pemilik penginapan, pemain musik, penjual rokok dan kondom, tukang parkir dan jasa keamanan menggantungkan hidupnya di tempat itu. Oleh karenanya, membicarakan Dolly tak cukup hanya melihatnya dengan kacamata kuda sebagai sebuah tempat prostitusi. Namun jaringan sistem ekonomi makro. Keberadaannya selama ini tak lekas ditutup karena pertimbangan efek berantai atau domino. Ia seolah didiamkan, dianggap tak ada, namun dapat dirasakan kehadiran dan dampaknya.
Jika meminjam pandangan Michael Foucault lewat bukunya The History of Sexuality (1976), prostitusi sejak zaman kerajaan, semakin direpresi, ditekan dan dihilangkan, justru semakin mampu berpendar menjadi ujudnya yang lain. Begitu seterusnya. Seksualitas, semakin ia dikontrol dengan pelbagai aturan religius, dogma agama dan undang-undang, justru ia semakin bertahan, eksis dan berkembang. Lihatlah banyaknya skandal seks yang tersebar lewat video porno, anak-anak sekolahan tanpa malu berhubungan intim layaknya suami istri, bahkan kasus-kasus sodomi terhadap anak akhir-akhir ini telah menjadi pemberitaan yang tiada habis. Dengan demikian, tak cukup dengan hanya menutup Dolly, memblokir situs pornografi, namun juga dibutuhkan gebrakan untuk merubah cara berfikir holistik tentang seksualitas.
Telisik sejarah seksualitas di negeri ini memberi pemaham mendasar bahwa Dolly terbentuk tidak semata karena faktor ekonomi, namun juga budaya. Seksualitas telah mengakar dan mampu mengisahkan peradaban. Dolly menjadi monumen di mana seksualitas dirayakan namun di sisi lain juga mencoba untuk dirumahkan. Kitapun patut bertanya dan mengetahui tentang nasib Dolly dan para penghuninya ke depan. Jika Dolly hendak ditutup, hal serupa juga seharusnya dilakukan di kota lain. Namun demikian, hilangkah bisnis seksualitas? Atau, sekali lagi, mereka ditutup, tapi dengan segera mampu menjadi ujudnya yang baru, bertebaran namun lebih profesional. Nah looh...!
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Anak dalam Kisah Budaya (dimuat di Koran Joglosemar 4 Juni 2014)

Anak dalam Kisah Kebudayaan



Pemerintah mendengung-dengungkan generasi emas pemimpin Indonesia tahun 2045, tepat seratus tahun negara ini merdeka. Namun dalam perjalanan mempersiapkan generasi unggul tersebut, justru dinodai dengan tragedi yang memilukan bagi dunia anak-anak kita masa kini. Kasus pelecehan seksual dan kekerasan anak menjadi hal yang tiada habis diberitakan. Bahkan di dunia pendidikan, tak sedikit guru yang seharusnya menjadi ujung tombak pembentukan karakter (ilmu) kemudian turut menjadi pelaku atau aktor jahat di balik itu. Seharian penuh anak-anak berada di bangku sekolah. Setelah selesai, kursus privat diberlangsungkan hingga malam. Semua dilakukan demi memburu nilai dan prestasi. Anak-anak tak memiliki waktu untuk bersisoalisasi dengan sesama. Rasa individualpun timbul. Dunia anak-anak yang idealnya penuh dengan canda, tawa, bermain besama, bersahabat harus hilang. Yang ada kemudian kisah persaingan antar satu anak dengan yang lain, keharusan untuk saling mengalahkan. Perkelahian karena sesuatu hal yang sepelepun marak terjadi. Bahkan tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Kisah anak Indonesia dewasa ini seolah menjadi satir dan ironi bagi dunia pendidikan dan kebudayaan kita.

Kisah
Di masa lalu, dunia anak-anak mampu dikisahkan begitu indah. Pelbagai episentrum tradisi seperti permainan tradisional, dongeng, tembang pengantar tidur, lagu-lagu dolanan diperkenalkan untuk membentuk karakter kepribadian anak. Antar satu dengan yang lain dibiasakan dan diajarkan untuk bersahabat, bekerjasama menghadapi masalah dan saling membatu. Budaya kekerasan jarang sekali muncul. Sekolah bukanlah satu-satunya hal terpenting bagi kehidupan anak. Sekolah hanya menjadi ruang bersosialisasi yang lebih luas, bukan ajang untuk bertaruh dan bersaing. Supartinah lewat tulisannya Contribution of Nusantara Children Classic Literature for Culture-Visioned Primary Education (2013), menjelaskan bahwa kebudayaan –tradisi- kita telah mewariskan bentuk pendidikan karakter dan budi pekerti luhur bagi anak. Pendidikan karakter itu berbasis kekuatan lokal, dengan menggali unsur-unsur tradisi di daerahnya masing-masing. Akibatnya, anak-anak selain belajar bersosialisasi juga memahami perangkat kebudayaan yang dimilikinya seperti bahasa, prilaku, sikap dan kesenian. Di Jawa misalnya, kita mengenal pelbagai permainan dan tembang dolanan seperti cublak-cublak suweng, gajah-gajah, jamuran, kidang talun, kupu kuwi, lir-ilir, menthok-menthok, padhang bulan, pitik tukung, jothang alang-alang. Tetembangan itu sarat tuntunan dan pesan moral, dimainkan secara bergerombol, bersama-sama. Kekompakan dan kebersamaan manjadi hal terpenting.
Namun kini, permainan dan tembang dolanan itu telah tergantikan dengan kuasa teknologi semacam playstation dan game-online. Anak-anak lebih menyibukkan waktu luangnya untuk bermain secara virtual, berlama-lama sendirian untuk manekur di kamar. Permainan yang berbau kekerasan membawa dampak psikologis bagi anak, dipraktikan pada kehidupan nyata. Tak mengherankan kemudian jika anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Peratama (SMP) seringkali terlibat tawuran. Iklim persaingan di sekolah dilengkapi dengan iklim kekerasan di ruang permainan menyebabkan vandalisme anak-anak merebak. Terlebih setiap hari mereka disuguhi dengan tontonan berbau asmara dan cinta-cintaan lewat media elektronik. Kisah-kisah yang demikian kemudian ditiru. Tak jarang anak-anak bunuh diri karena persoalan asmara. Video asusila menyebar. Atau banyaknya yang hamil di usia yang masih belia. Di televisi pula, mereka diperkenalkan dengan pelbagai jenis prilaku manusia, dari yang jahat, baik bahkan yang menyimpang. Mereka mengenal kisah laki-laki yang kebanci-bancian. Menyukai sesama jenis. Kasus-kasus fedofil kemudian tumbuh subur di dunia anak. Mereka menjadi korban. Tekanan yang dihadapai di lingkungan pendidikan dan pergaulan keseharian seolah mengamini pelbagai prilaku yang demikian.  
Dahulu kala, saat malam datang, anak-anak dihantarkan oleh ibunya ke peraduan tidur dengan dongeng-dongeng menggoda. Malin Kundang, Kancil Nyolong Timun, Luthung Kasarung, Bandung Bandawasa dan lain sebagainya. Ibu melukiskan kisah itu dengan pelbagai ekspresi dan mimik wajah. Kisah itu terbawa hingga mimpi. Memberi tauladan pesan bagi anak untuk berbuat bijak terhadap sesama. Pendidikan budi pekerti diberlangsungkan di atas tempat tidur, kamar imajiner bagi anak untuk berimajinasi dengan bebas. Dongeng adalah jembatan yang mengantarkan anak belajar tentang arti kedewasaan. Namun kini waktu bertemunya ibu dan anak boleh dikata sebagai peristiwa yang langka. Ibu-ibu masa kini disibukkan dengan urusan emansipasi, menempatkan kedudukannya sebagai figur yang berpengaruh secara sosial. Ibu idaman adalah seorang dokter, arsitek, pengusaha, politikus, pejabat. Ibu bukan lagi “orang tua” bagi anaknya. Ibu hanya simbol status. Dengan segala kelebihan materi yang dimilikinya, para ibu berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah prestisius, mahal dan berkelas mega-internasional, setiap jengkal ruangan penuh dengan pengawasan ketat. Namun sekolah yang demikian tak ubahnya penjara, mengurung anak, tak mampu bersentuhan dengan alam dan lingkungan sosial. Bahkan kejadian pelecehan seksual terhadap anak kerap terjadi di sekolah-sekolah berjenis demikian. Ironis!

Budaya
Kembalikan anak pada dunianya. Dunia yang dipenuhi oleh keceriaan. Sekolah yang membentuk iklim persaingan untuk saling mengalahkan mengikis kisah-kisah anak dalam narasi kebudayaan. Pendidikan kemudian diberlangsungkan dengan ukuran-ukuran angka atau nilai-nilai. Anak yang baik berarti sukses secara prestasi akademik. Sementara di lain pihak, anak-anak dengan nilai rendah merasa bodoh dan tak berguna. Mereka bekerja lebih keras, belajar hingga larut malam, sibuk mengikuti kelas tambahan. Hari-harinya dihabiskan demi mengejar angka atau nilai. Dendang tembang dolanan, dongeng, lagu pengantar tidur dan permainan tradisional semakin bangkrut eksistensi. Anak-anak terlalu sibuk, apalagi untuk mengurusi hal-hal yang dianggapnya tak membawa efek berarti bagi prestasi dan nilai akademik. Para orang tua gagal dalam memberi tauladan berharga terkait pembentukan karakter dan budi pekerti. Otak anak semata berisi rumus-rumus pelajaran. Mereka menjadi sensitif terhadap sesama, mudah tersinggug dan marah.
Karsono lewat tulisannya Lagu Anak-anak Tradisi Nusantara: Mutiara Kebijaksanaan yang Terlupa (2011) menganggap bahwa lagu-lagu dolanan anak penting untuk kembali dihadirkan sebagai dektoksinasi pengaruh negatif yang berkembang dewasa ini. Sudah selayaknya anak-anak menemukan dunianya, bermain dan bersosialisasi. Bermain tidak memiliki target, mereka dapat berhenti kapanpun mereka mau. Yang paling penting adalah perjumpaan dengan sesama, saling mengenal dan membangun kisah pertemanan. Kekayaan tradisi menjadi kisah berharga dalam membentuk mental anak. Namun pengaruh zaman dan teknologi yang semakin berkembang mengakibatkan dunia anak dilipat. Perjumpaan dengan sesama dilakukan lewat perangkat canggih semacam handphone atau gadget. Dunia anak kemudian juga menjadi ajang pamer, dari merek handphone, sepatu hingga tas. Adanya kelas-kelas khusus berlabel internasional semakin menambah rentang jarak antara yang kaya dan miskin. Kita dibuat takjub kala terjadi pelecehan seksual di lingkungan sekolah mahal dan elit, namun menganggap biasa perjuangan anak-anak di daerah tertinggal. Di mana mereka bertaruh nyawa, menyebrang kali, mendaki bukit hanya untuk bersekolah. Kitapun memandang biasa kala gedung-gedung sekolah di pelosok daerah Indonesia telah lapuk dan reot. Kisah-kisah manis dunia anak dalam narasi kebudayaanpun semakin sayup tak terdengar. Dunia anak tak lagi berisi tawa, namun tangis dan luka. Mereka selalu menjadi korban, baik oleh kebijakan maupun tuntutan zaman.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo 

Monumen Kegagalan (dimuat di Koran Tempo 31 Mei 2014)

Monumen Kegagalan


Indonesia memiliki ribuan monumen untuk menghormati segala jasa perjuangan para pahlawan, mengandung misi sejarah, politik, sosial, geografis, budaya, dan ekonomi. Monumen senantiasa berisi tentang peringatan atas keberhasilan dan kemuliaan. Kita jarang menjumpai monumen yang memperingati kegagalan, kekalahan, dan kebodohan. Padahal ada kalanya kekalahan dan kegagalan justru lebih banyak dijumpai daripada kemenangan dan keberhasilan.
Kita berusaha mengangkat apa-apa yang baik, tanpa pernah mengingat yang buruk. Kita dimanjakan dengan keberhasilan semu, dengan hadirnya banyak monumen. Peristiwa korupsi, kekerasan seksual terhadap anak, dan kemiskinan bukankah telah menjadi peristiwa besar di negeri ini yang patut untuk kita monumenkan? Mengenang keburukan bukan berarti hendak mengulang dan mengagungkannya. Tapi, sebaliknya, sebagai medan kontemplasi sekaligus koreksi untuk tak jatuh di lubang serupa.
Monumen tak ubahnya simbol yang mempresentasikan kuatnya masa lalu. Menjelajahi monumen berarti menelisik peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri ini. Monumen mengekalkan kuasa seorang penguasa. Sukarno dan Soeharto adalah bapak monumen Indonesia, banyak membangun, dan membekukan sebuah kisah. Patung-patung para pahlawan bertebaran, peristiwa sakral diabadikan lewat monumen. Masyarakat diharapkan melek sejarah dengan melihat dan menziarahi monumen.
Namun banyak monumen yang telah beralih fungsi menjadi tempat pelancongan dan bisnis pariwisata. Masyarakat abai dalam membaca sejarah. Monumen adalah tempat menyenangkan untuk berfoto ria dan memadu kasih para pemuda-pemudi. Monumen kehilangan kesakralannya. Sejak awal kita sudah dibiasakan melihat monumen sebagai simbol atas keberhasilan dan kesuksesan. Akibatnya, kita jarang menitikkan air mata kala pergi ke monumen. Semua berisi tawa dan canda. Monumen tak ubahnya tempat hiburan yang menyenangkan.
Indonesia dewasa ini perlu segera membuat monumen kegagalan. Kita bisa saja membuat monumen tentang perilaku korupsi, keserakahan, atau kekerasan seksual terhadap anak, kemiskinan, dan buruknya kualitas pendidikan. Monumen itu dibuat dengan dalih penyadaran. Monumen korupsi, misalnya, dapat diisi dengan patung-patung koruptor yang tertawa licik seolah mengejek sambil membawa sekoper uang. Masyarakat menziarahi monumen korupsi dengan perasaan marah dan luka, menimbulkan rasa benci. Mereka bisa saja melempari patung itu dengan telur busuk atau merusaknya. Kita juga tak pernah melihat monumen kekalahan kita oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Semua monumen berkisah tentang kemenangan atas kaum penjajah itu. Masyarakat dari awal dimanjakan dengan pelbagai narasi kemenangan dan keberhasilan. Akibatnya, kita jarang mampu menerima kegagalan serta kekalahan dengan hati lapang dan ikhlas.
Perilaku licik dalam perebutan kekuasaan, kekerasan, dan anarkistis lahir karena kita tak terbiasa kalah dan gagal. Kita semua seolah dibentuk untuk menjadi manusia sempurna tanpa cacat. Monumen mengekalkan pelbagai kisah itu. Kehadiran monumen sekaligus juga menjadi tolok ukur sebuah peradaban dan kebudayaan dibentuk. Sudah saatnya kita membuat Monumen Kegagalan di segala bidang kehidupan sebagai penyeimbang, agar kita sadar bahwa hidup tak semanis apa yang dibayangkan.


Aris Setiawan
Etnomusikolog

Ketika Penonton Menjadi Pemusik (dimuat di Koran Jawa Pos 25 Mei 2014)

Ketika Penonton Menjadi Pemusik




Judul buku                : Apa Itu Musik? Kajian tentang Sunyi dan Bunyi Berdasarkan 4'33"
                                          karya John Cage
Penulis                        : Karina Andjani
Penerbit                      : Marjin Kiri
Cetakan                       : April 2014
Tebal                            : xii + 150 halaman
ISBN                             : 978-979-1260-30-5

Umumnya, kita mengisahkan musik dengan bunyi atau suara. Musik adalah kumpulan dari bunyi, disusun atau dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk alur melodi dan harmoni yang indah. Namun demikian, anggapan musik sebagai sebuah komposisi bunyi kemudian harus gugur kala John Cage mementaskan karya monumentalnya yang berjudul 4’33’’ di tahun 1952. Karya itu juga disebut silence piece atau kosong, berisi nada diam (tak bersuara) dari awal hingga akhir pertunjukan. Sontak hal ini membuat penonton yang datang marah dan gerah. Bagaimana mungkin mereka menyaksikan –mendengarkan- pertunjukan musik tanpa musik. Karya yang berdurasi empat menit tiga puluh tiga detik itu serasa sejam, membosankan dan tak menghibur. Setelah pertunjukan usai, media tiada habis mengulasnya. Di satu sisi, banyak yang menganggap silence sebagai karya aneh yang tak bermutu, bahkan dianggap bukan musik. Tapi di sisi lain, karya itu dianggap sebagai tonggak musik avant garde (garda depan) bagi musik kontemporer yang monumental. Membedah dan menganalisis silence tak dapat dilakukan dengan menggunakan teori musik Barat pada umumnya, karena karya itu memang tak berbunyi, apalagi bernada. Kesunyian dalam karya Chage membuat penonton yang tadinya berfokus pada sisi estetis yaitu merasakan dan mendengarkan, terdorong untuk berfokus pada sisi kognitif untuk dapat memahami gagasan atau ide di balik karya itu. Dengan demikian, satu pertanyaan besar dapat dimunculkan, mana yang lebih penting di dalam musik, ide atau bunyi musik itu sendiri?

Menyibak
Pada pertunjukan perdananya, di Living Theatre, New York 29 Agustus 1952, seorang pianis unggul bernama David Tudor didaulat menjadi musisi yang mempresentasikan 4’33’’ karya Chage. Tudor sama sekali tak menyetuh tuts piano di hadapannya. Ekspresi yang dimunculkan dari mimik wajahnya cenderung serius, seolah hendak memainkan karya musik besar yang kompleks dan rigit. Tiba-tiba ia berdiri dan memberi hormat pada penonton, pertunjukanpun telah selesai. Karina Andjani lewat buku ini berusaha menyibak makna di balik karya Chage itu. Dalam karya musik, suara senantiasa mengintervensi diam, bunyi mengintervensi kesunyian (hal. 31). Karya musik melulu menghadirkan sesaknya rangkaian nada, sehingga ruang untuk diam (setidaknya berhenti sejenak) cukup sedikit. Sejarah musik Barat menjelaskan bahwa nada adalah aspek terpenting. Tacet atau tanda diam dalam partitur musik semata dianggap sebagai jembatan atau penghubung ke rangkaian nada-nada berikutnya. Walaupun diam menjadi satu kesatuan dalam karya musik, namun jarang sekali orang menyebut diam sebagai bagian dari karya musik.
Padahal tanpa (tanda) diam, karya musik yang berisi bunyi itu tak akan dapat terbentuk. Artinya, diam sesungguhnya aspek terpenting dalam musik (hal.142). Dinamika ditentukan oleh seberapa banyaknya penggunaan tanda diam atau istirahat. Namun ketika di balik, saat karya musik itu hanya berisi tanda diam, orang banyak menyebutnya bukan musik, kosong dan tak berujud. Karya 4’33” mengaburkan batasan antara yang musik dan tak musik. Saat pertunjukan berlangsung, sebenarnya bukan tidak ada suara sama sekali. Suara-suara justru muncul dari penonton yang bergumam, berbisik resah bahkan marah karena tak mendapatkan bunyi musik yang diharapkan. Suara-suara yang dimunculkan dari penonton justru dianggap sebagai satu rangkaian dalam pertunjukan musik silence. Hal ini sekaligus juga membiaskan antara kedudukan pemusik dan penonton, dapat saling bertukar peran, bahkan terminologi di antara keduanya dapat menjadi chaos. Penonton justru adalah pemusik itu sendiri. Karya 4’33” membuka dan menerima pelbagai asupan suara (hal.97). Oleh karenanya, karya yang tak bersuara itu justru menjadi karya yang penuh dengan suara.
Karya Chage sebenarnya memperlakukan aspek visual –tontonan- sebagai rujukan utama, bukan auditif (pendengaran). Penonton dapat saja berpendapat bahwa karya yang ditampilkan buruk atau indah. Namun bagaimana dengan orang tunanetra? Tanpa pemberitahuan, ia mungkin tidak akan pernah mengetahui bahwa sedang terjadi pertunjukan musik karena segalanya terdengar sebagaimana biasanya. Otomatis, untuk mendudukkan karya 4’33” sebagai musik, Chage memperlakukan citra visual dengan memposisikan piano sebagai instrumen utama (walau tanpa dibunyikan). Karena ia menyadari, tak dapat mempresentasikan karya silence dengan panggung yang sepenuhnya kosong melompong. Walaupun hasil bunyi keduanya sama, yakni tak berbunyi. Piano secara visual sebagai tanda atau simbol yang mengukuhkan silence sebagai sebuah karya musik.

Kontemporer
Karya Chage mengokohkan zaman Avant Garde dalam musik. Hal yang paling ditonjolkan adalah kejutan, inovatif dan eksperimental (hal.9). Karya semacam ini pada awalnya kurang begitu disukai, karena penuh dengan teka-teki dan multi tafsir. Tak jarang orang melihat dan mendengarnya dengan mengerutkan dahi atau menggeleng-gelengkan kepala kebingungan. Kita bisa saja memaknai karya 4’33” sebagai sebuah musik dengan berusaha mencari sisi-sisi musikal yang dapat dipahami. Namun dalam realitas sehari-hari, kita tidak pernah menganggap kesunyian sebagai sebuah musik dengan mencari-cari aspek musikalnya. Sama halnya di tahun 1917, Marcel Duchamp menaruh urinal (tempat kencing laki-laki) dari porselen dalam sebuah pameran seni rupa. Penonton melihatnya sebagai sebuah karya seni dengan mencari sisi estetisnya. Namun mereka tak pernah memperlakukan hal serupa terhadap tempat kencing di rumah masing-masing. Di titik inilah, posisi karya seni dan tak seni menjadi abu-abu, paradoks.
Chage lewat karyanya, dihujat namun kemudian dipuja. Ia membawa pengaruh besar dalam musik kontemporer. Musik yang tak semata mementingkan isi atau bentuk, namun konsep dan gagasan. Karya silence adalah karya tentang gugusan “ide” yang melebihi karya musik itu sendiri. Konsep diam sejatinya juga diacu dalam musik karawitan di Jawa. Lihatlah pukulan gong di akhir gending yang memiliki jeda diam. Walau tak bersuara, namun dalam benak musisi karawitan Jawa, diam itu nampak begitu musikal. Akibatnya, jika pukulan gong terlalu cepat maka akan berkurang nilai estetisnya, begitupun sebaliknya. Tak ada batasan seberapa lama harus melakukan “diam”, karena yang mengatur adalah olah “rasa” bukan logika. Karenanya, diam adalah puncak estetika musikal tertinggi dalam musik.
Karina Andjani menyadarkan kita tentang hal ini lewat lajur-lajur pemikiran John Cage, seorang musikus tak bermusik. Buku ini menjadi referensi berharga bagi komponis dan pengamat musik. Namun sayang gaya bahasa yang digunakan banyak berkutat pada persolan teknis, sehingga cukup membingungkan jika dibaca oleh orang yang tak memiliki bekal musik. Terlihat pula penulis banyak memindah ulasan dan pendapat dari referensi yang dibacanya, sehingga terkesan sebagai etalase tempelan dari pelbagai buku.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Jejak Lokalisasi di Jawa (dimuat di Koran Suara Merdeka 25 Mei 2014)

Jejak Lokalisasi di Jawa



Wacana penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya membawa kita menapaki jejak sejarah seksualitas di tanah Jawa. Seksualitas adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia, begitulah kata Michael Foucault (1926-1984). Karenanya ia telah ada sejak manusia pertama kali diciptakan. Jawa telah mengubah seksualitas tak semata sebagai sebuah persetubuhan, namun ritus dan pamrih religius. Ia direpresi dengan ketat, namun jejaknya masih dapat kita telisik dengan jelas. Seksualitas dianggap sebagai sebuah kebutuhan kultural, sehingga lahirlah tempat-tempat khusus untuk merayakannya.
Pada masa kerajaan di Jawa, seks disiarkan lewat serat yang berisi suluk dan tembang. Membacanya tak cukup dengan hanya berbekal kemampuan bahasa, namun juga musikalitas. Tak ubahnya mendendangkan musikalisasi puisi. Lihatlah serat Centhini, Nitimani, Gatholoco dan Dhamogandul. Di banyak serat tersebut kisah-kisah seksualitas diuraikan secara indah penuh citra estetik. Di ruang publik, pembicaraan tentang seksualitas dikontrol dengan pelbagai aturan norma susila. Namun ia justru dapat tergambarkan jelas lewat tetembangan Jawa (Macapat, Dandhanggula, Asmaradhana, dan lain sebagainya). Antara estetika dengan erotika berbaur menjadi satu. Serat-serat tersebut segera menjadi primadona. Dilagukan tapi juga dihayati makna dan artinya. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai seks sudah ada pada tahun 1814 semasa pemerintahan Paku Buwana IV sebagai Raja Surakarta yang ditandai dengan hadirnya serat Centhini. Bahkan konon, Centhini merupakan serat paling vulgar memberitakan seksualitas. Tersusun menjadi 722 jenis tembang.
Kisah-kisah prostitusi dalam serat Centhini begitu realis, seolah menunjukkan jejak pengalaman pribadi dari si pengarang. Bahkan ada yang mengindikasikan serat tersebut dibuat oleh raja sendiri (Paku Buwana IV), orang yang memiliki “kuasa” untuk melakukan hubungan seksualitas dengan banyak orang. Tak hanya wanita, sesama lelaki, bahkan prilaku menyimpang hubungan intim antara manusia dan hewan disiarkan dengan jelas lewat serat tersebut. Seksualitas kemudian dianggap sebagai sebuah ritus sakral, tak semata sebagai gejolak nafsu. Lahirlah tradisi yang mengambil seksualitas sebagai sumber. Patung linga-yoni (kelamin lelaki dan perempuan) bertebaran secara terbuka lewat relief candi (lihat candi Sukuh di Jawa Tengah). Kesenian-kesenian yang mengangkat ritus kesuburan (persentuhan lelaki-wanita) diciptakan seperti Tayub, Gandung dan Lengger. Gending-gending gamelan yang berkisah tentang seksualitas seperti Cucur Bawuk dan Rembun dibunyikan.
Hadir pula tempat-tempat sakral yang ditujukan untuk berhubungan seks. Keraton memiliki ruang-ruang “persetubuhan” yang wingit antara raja dan ratu pantai selatan seperti Panggung Sanggabuwana di Surakarta. Bahkan raja juga memiliki kuasa, hak dan tempat khusus –baca Umbul Pasiraman Taman Sari Yogyakarta- untuk berhubungan seks dengan siapapun wanita yang ditunjuknya. Lihat pula misalnya sejarah penari bedhaya di keraton. Raja berhak memilih salah satu penari Bedhaya untuk menemaninya “tidur”. Penari tersebut dianggap memiliki kekuatan mistis, sebagai titisan dari Kanjeng Ratu Pantai Selatan. Persetubuhan dilangsungkan atas nama pamrih kultural dan kepentingan religius. Raja di Jawa kemudian memiliki banyak anak karena memiliki banyak wanita pendamping. Seksualitas tumbuh subur. Lelaki dianggap jantan dan berkuasa kala mampu berhubungan dengan banyak wanita. Raja dan penguasa di Jawa mengajarkan tradisi itu.
Otto Sukatno dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002) menjelaskan, prilaku penguasa Jawa yang demikian memberi umpan balik bagi rakyat untuk meniru dan melakukan hal serupa. Bedanya, masyarakat akar rumput melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Semakin lama, lahirlah tempat dan komunitas yang memperdagangkan tubuh dan raga wanita. Kegiatan prostitusi tersebut adakalanya berlindung di balik nama tradisi ritus kesuburan Jawa. Simak kemudian bagaimana lokalisasi yang terjadi di gunung Kemukus Jawa Tengah. Seksualitas dijalankan atas nama tradisi, demi mengharap pamrih pesugihan. Konon untuk mendapatkan kekayaan, seseorang harus melakukan pesta seks dengan wanita (bukan istri) selama tujuh kali berturut-turut dengan pasangan yang sama. Ritual ini agaknya masih berlangsung hingga sekarang.
Wanita di zaman kerajaan banyak digunakan sebagai persembahan atau seserahan bagi penguasa dan raja. Tradisi ini mengharuskan wanita dihargai dalam jumlah nominal tertentu, kemudian berkembang menjadi bisnis prostitusi. Pada akhirnya setiap daerah berlomba untuk memiliki “bilik” lokaliasasi sendiri, Pasar Kembang di Yogyakarya, Kramat Gantung di Jakarta, Saritem di Bandung, kawasan RRI di Solo, dan Dolly di Surabaya. Terlebih bagi kota-kota perdagangan semacam Surabaya. Para saudagar yang singgah menyempatkan diri untuk “menikmati” wanita pribumi. Lewat catatan Terence H. Hull dan Gavin W. Jones, Surabaya pada 1864, telah memiliki 18 rumah prostitusi dan pelakunya berjumlah 228 wanita (Tom Saptaatmaja, 2014). Surabaya menjadi tempat berlabuh bagi banyak kapal dari daerah lain untuk pelbagai kepentingan. Akibatnya ada semacam keharusan untuk menyediakan pelbagai layanan jasa tak terkecuali seksualitas.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Pengikut