Seni Pertunjukan
Tradisi di Mata Capres
Agak kaget saat mendengar pernyataan
Jokowi dalam debat Calon Presiden (Capres) pada 15 Juni 2014 lalu. Ia secara
gamblang menyinggung tentang dunia seni pertunjukan tradisi Indonesia yang
menurutnya mampu bersinergi dengan industri kreatif. Pernyataan tersebut
langsung mendapat persetujuan dari Prabowo tanpa penolakan. Kedua capres setidaknya
memiliki pandangan yang sama. Maklum, bukan satu hal yang aneh bahwa selama ini
seni pertunjukan tradisi di Indonesia kurang dapat menunjukkan ujudnya secara
terbuka. Kalah bersaing dengan tontonan yang lebih glamour lewat layar kaca.
Namun demikian, capres kita memandang seni pertunjukan Indonesia memiliki kekuatan
yang dapat mempresentasikan karakter dan jatidiri bangsa. Tak berlebihan
kiranya jika seni pertunjukan menjadi lahan empuk yang dapat digarap, diolah
dan dikembangkan, tak hanya sekadar melakukan konservasi. Hingga saat ini, tak
banyak (mungkin juga tak ada) presiden dan pemimpin negeri yang secara khusus
memberi perhatian pada dunia seni pertunjukan khususnya tradisi. Seni
pertunjukan tradisi dianggap sebagai “lahan kering” yang tak memberi keuntungan
bahkan membebani keuangan negara dengan dalih pembiayaan untuk pelestarian.
Pernyataan Jokowi malam itu mencoba mendekonstruksi anggapan bahwa pejabat selama
ini hanya menganaktirikan dunia seni pertunjukan tradisi Indonesia.
Mental
Menghadiri pentas seni pertunjukan,
pejabat jarang datang tepat waktu. Seringkali gelaran seni harus molor dari
waktu yang ditentukan hanya karena menunggu pejabat terkait untuk membuka dan
memberi sambutan. Saat datang, pejabat ditemani rombongan termasuk pengawal, suasana
gaduh dan semua penonton berdiri. Ia duduk di depan alias bangku utama yang
nyaman dan empuk dengan suguhan makan dan minuman. Setelah membuka acara,
ditandai pukulan gong dan sambutan singkat berisi puja-puji, dengan terburu-buru
ia pergi meninggalkan gelaran seni. Pamit dengan dalih ada tugas penting lain
dan mendesak yang harus segera diselesaikan. Pentaspun baru bisa dimulai.
Perilaku semacam itu sudah menjadi habitus (kebiasaan melekat) yang disematkan
pada pejabat kita. Bahkan tak jarang, perilaku tersebut seringkali sengaja dilakukan
agar pejabat kita terlihat seolah bekerja dan sibuk. Oleh karena itu, mereka
sengaja datang telat dan pulang cepat. Semakin telat dianggap semakin baik
karena terlihat super sibuk dan masih mampu menyempatkan diri untuk datang. Bisa
jadi, setelah membuka acara, mereka pergi ke rumah atau tempat karaoke,
bersantai ria dan berfoya-foya. Sementara bagi panita pelaksana gelaran seni,
merasa terhormat jika pejabat berkenan hadir membuka. Walau hanya beberapa
menit dan setelahnya tak nampak lagi. Yang penting datang dan terlihat ujudnya,
bersalaman, berfoto bareng sebagai kelengkapan laporan pertanggungjawaban pada
sponsor atau pemberi dana.
Dari waktu ke waktu, dunia seni pertunjukan
tradisi kita menjadi ironi yang mengenaskan dalam tatanan birokrasi
pemerintahan. Dunia seni sebagai bagian dari kebudayaan masih menjadi satu
dengan kementerian pendidikan. Bahkan sebelumnya berafiliasi dengan kementerian
pariwisata. Akibatnya, kesenian dipoles sedemikian rupa untuk laku dijual.
Menjadi sapi perah, tak lebih dari barang dagangan. Kreativitas seniman hanya diukur
dengan untung-rugi pasar secara materi. Belum ada tawaran alternatif yang
membuka horizon pemikiran tentang daya tahan dan ruang hidup seni pertunjukan
tradisi kita. Lontaran pernyataan Jokowi malam itu setidaknya mencoba menggarisbawahi
bahwa unsur kreatif menjadi hal utama dalam mengembangkan dunia seni
pertunjukan –tradisi- kita. Tradisi yang selama ini dianggap sebagai “peti es”
kesenian harus mulai dirobohkan. Tradisi adalah semata pijakan dan sumber ide
untuk melahirkan karya kreatif yang lebih baru dan menggairahkan. Kita dapat
belajar dari gelaran seni pertunjukan di Solo yang selama kepemimpinan Jokowi
mampu memberi kesan berarti di hati masyarakatnya. Solopun berubah menjadi kota
seni pertunjukan dengan mengambil tradisi Jawa sebagai sumbernya (Solo the Spirit of Java)
Kantung-kantung kebudayaan yang selama
ini digadang-gadang mampu menjaga ritme hidup seni pertunjukan tradisi
Indonesia juga kembang-kempis. Mereka, dengan dana terbatas seolah hanya
menjadi ruang pamer seni pertunjukan tradisi dengan penonton yang dapat
dihitung dengan jari. Minim publikasi. Semata hanya melakukan rutinitas demi
melengkapi laporan pertanggungjawaban pada atasan. Terlebih ada semacam keharusan
bahwa setiap institusi pemerintahan tak ubahnya pabrik yang harus mampu
menghasilkan pundi-pundi keuntungan. Oleh karena itu, gedung-gedung kesenian
berplat merah seringkali menjadi ajang bisnis, disewakan untuk pelbagai
kepentingan, dari hajatan nikah hingga pesta ulang tahun. Bahkan di beberapa
kasus, pentas seni pertunjukan harus batal atau ditunda tanggal mainnya karena
di hari yang sama gedung (pendopo) pementasan sedang dipakai pesta nikahan. Waktu
tampil pentas seni harus menyesuaikan diri. Masyarakat juga tak pernah
mengatahui alur aliran dana (untuk apa dan bagaimana prosedurnya) yang didapat
dari hasil “jualan” tempat pertunjukan tersebut.
Ada anekdot, menjadi pimpinan atau
pejabat di lingkungan dinas kebudayaan semacam Taman Budaya dan sejenisnya adalah
bernasib apes. Banyak pejabat di wilayah itu adalah orang-orang hasil mutasi
karena mendekati masa pensiun. Akibatnya pejabat terkait tak memiliki visi-misi
budaya yang kongkret dan jelas. Menjabat karena menunggu giliran dari pimpinan,
bukan didasarkan atas kompetensi dan kinerja. Banyak di antaranya yang tak
faham menempatkan dan memperlakukan kesenian tradisi dengan baik sebagaimana
mestinya. Mereka tidak dididik dan dibesarkan dari pendidikan berbasis budaya
dan kesenian. Melihat kesenian hanya menjadi ajang untuk jualan dan sebisa
mungkin membawa keuntungan. Di titik inilah, seni pertunjukan tradisi kurang mendapat
porsi tampil secara reguler. Karena dianggap monoton, membosankan dan yang
lebih penting lagi tak membawa dampak keuntungan. Yang tampil adalah kesenian
populer, yang banyak mengundang massa dan dilirik sponsor (stake holders). Seni pertunjukan tradisi semakin terpuruk dan
bersiap pamit mati.
Kejelasan Visi
Tak berlebihan kiranya jika kita banyak
berharap pada presiden mendatang dapat memberi perubahan besar bagi dunia seni
pertunjukan tradisi kita. Dengan terlontarnya pernyataan untuk membenahi dunia
seni pertunjukan tradisi kita dari Capres Jokowi dan diamini oleh Capres
Prabowo, masyarakat tinggal menunggu pembuktiannya jika salah satu di antara
mereka terpilih. Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud mendukung dan
melakukan keberpihakan pada salahsatu capres. Namun mencoba memberi penekanan,
bagiamana dunia seni pertunjukan –tradisi- yang selama ini terlupakan justru
menjadi poin penting dalam strategi politik dan ekonomi pada debat calon
presiden kita malam itu. Kitapun kemudian patut juga berprasangka, musim
kampanye sebagai musim mengumbar janji-janji politis yang akan sirna dan hilang
setelah mereka terpilih. Apapun dapat menjadi ajang dan bahan dalam
berkampanye, tak terkecuali dunia seni pertunjukan tradisi kita. Jika demikian,
apes betul nasib dunia seni tradisi di Indonesia.
Presiden memang diharapkan melek kesenian,
agar jiwanya terasah dan budi pekertinya luhur. Calon presiden jangan hanya
menempatkan seni pertunjukan tradisi Indonesia sebagai ajang kampanye politis.
Dihadirkan dan ditanggap mahal hanya karena ingin meraih simpati publik. Pentas
kesenian tradisi penuh dengan warna partai, nomor dan gambar capres.
Setelahnya, sepi dan sayup-sayup tak terdengar nasib hidup seni terkait.
Kitapun patut berharap tak muluk, agar Presiden di masa yang akan datang tak
telat saat membuka dan menyaksikan gelaran seni. Tak juga pamit cepat-cepat.
Namun menikmati pertunjukan dari awal sampai selesai. Amiiin.
Aris Setiawan
Pengajar di
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta