Presiden, Raja dan Keraton (dimuat di Koran Joglosemar 26 Februari 2014)



Presiden, Raja dan Keraton



Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Keraton Kasunanan patut mendapat apresiasi. Walau pekat beraroma politis menjelang pemilu. Namun peristiwa tersebut seolah mengingatkan kita tentang kisah pertemuan antara penguasa “alit” dalam bingkai kerajaan di Jawa –Solo- dengan penguasa “ageng” dalam bingkai negara dan republik –Indonesia-. Soekarno dan Soeharto tentu sangat mafhum kala dirinya tak dapat dilepaskan dalam pengaruh Jawa dan Keraton sebagai sumber kosmis-religius kehidupan. Namun demikian, jejak itu tak lantas dapat ditemui pada Presiden-Presiden setelahnya.
Hubungan antara negara dan kerajaan tak serta merta menempatkan keduanya dapat lentur membaur. Penyerahan kerajaan (keraton) menjadi bagian dari negara republik bukannya tanpa asa dan pengorbanan. Kisah itu mengharuskan keraton merelakan sebagian besar legitimasi kekuasaanya, terutama secara politis. Keraton dan kerajaan menjadi bagunan masa lampau yang dilindungi keberadaannya oleh undang-undang. Raja masih ada, namun sebatas simbol kultural. Setiap tahun mendapat kucuran dana yang kadang tak mencukupi untuk perawatan bangunan dan kegiatan ritual-ritual budaya. Karenanya, konflik tak berujung di Keraton Kasunanan Surakarta sangat disayangkan. Apa sebenarnya yang diperebutkan antar pihak yang bertikai? Bukankah hal itu semakin menambah kebangkrutan eksistensi keraton di mata masyarakat. Presiden kemudian diharapkan mampu menjadi jembatan “negosiasi” yang memberi solusi ideal tanpa pamrih tersembunyi.

Tempat Berteduh
Masyarakat Solo telah jemu dengan konflik yang selama ini terjadi. Karenanya, kehadiran Presiden yang mencoba memediasi konflik tersebut juga ditanggapi dingin oleh sebagian besar masyarakat. Terlebih turun tangan Presiden juga banyak dihubungkan dengan ambisi mengeruk kepentingan dalam mendulang suara di momen pemilu tahun ini. Tentu saja pelbagai sinisme tersebut tak dapat dihindarkan. Namun, kita masih menjumpai secercah harapan, bahwa sejatinya pemerintah pusat masih menunjukkan perhatian seriusnya bagi keraton. Lebih dari itu, keraton adalah “tempat berteduh” yang memberi kekuatan ingantible bagi kehidupan penguasa. Pelbagai sesaji dan benda pusaka dianggap memiliki petuah yang mampu menentramkan jiwa. Bahkan konon Soekarno dan Soeharto membutuhkan benda-benda keramat keraton untuk mengukuhkan supremasi kekuasaanya. Merekapun tak segan untuk “lari” ke keraton guna mendapat ketentraman jiwa kala situasi politik sedang kacau. Keraton dengan demikian bukan semata tempat dan bangunan atau benda mati, namun menjadi “ruang terapis” yang memberi kesejukan jiwa penguasa negeri.
Penguasa masa kini mengingat keraton kala mendekati puncak akhir kekuasaannya. Hiruk pikuk kehidupan pilitik dan hukum yang tiada tuntas membutuhkan keraton sebagai tempat berteduh. Ritual-ritual kratonis yang dilangsungkan memberi kesan kuat bahwa keberadaan keraton tak semata menyangkut hajat hidup manusia yang ada di dalamnya, tapi juga hubungan vertikal dengan sang pencipta. Era kerajaan menarasikan bahwa raja adalah manusia yang ditempa secara sempurna dan paripurna. Ia dianggap memiliki ilmu linuwih yang tak dimiliki manusia pada umumnya. Hal yang kemudian begitu jelas membedakan kala Indonesia “berkerajaan” dengan “berepublik”. Di era republik yang menjunjung tinggi demokrasi sebagai pilar utama, raja dalam konteks ini Presiden kehilangan ruang legitimasi yang menghubungkan dirinya dengan sang pencipta. Presiden hanya sebatas manusia biasa yang memiliki kekuatan mengatur roda pemerintahan, namun tak memiliki kuasa memberi dalil ketuhanan dan kuktural layaknya titah raja. Di ruang yang “irasional” itulah seorang raja masih unggul jika dibandingkan dengan Presiden.
Presiden tak memiliki ritual sakral yang dihelat untuk mengukuhkan supremasi kekuasaannya. Ia berurusan dengan waktu yang mengharuskan dirinya kembali menjadi manusia biasa. Sementara menjadi raja akan selamanya hingga akhir hayat menjemput. Kesetiaan para sentana dan abdi dalem kerajaan tulus tanpa mengharap pamrih. Mereka mengabdi pada raja menandakan jalan ibadah pada tuhannya. Sementara mengabdi pada Presiden berarti memuja pamrih berupa materi dan jabatan. Keduanya seolah sama namun sejatinya berbeda. Presiden kaya akan kuasa namun miskin legitimasi kultural, berbanding terbalik dengan raja. Pada konteks inilah pertemuan SBY dengan Raja Kasunanan selain bisa dikategorikan pekat unsur politis, namun juga wujud kerinduan untuk menjadikan keraton sebagai “ruang teduh” bagi keduanya. Kisah itu menjadi ironis kala melihat penghuni keraton lain yang menaruh curiga dan apriori terhadap pertemuan kedua “raja” itu. Kita pun cemas Jika sekelas Presiden tak sanggup meredam dan mendamaikan konflik keraton, lalu siapa lagi yang mampu? Kehadiran Presiden di tengah-tengah konflik menunjukkan jika masalah yang terjadi telah akut dan parah.

Bijak
Raja tanpa kuasa politis bertemu Presiden tanpa kuasa kultural menjadi nukilan dalam pembabakan sejarah –kebudayaan- di Indonesia. Keduanya dapat saja saling mengadu dan berkeluh tentang keadaan. Berbagi pandangan dan bertukar pengalaman. Sangat mungkin konflik yang terjadi tak lantas menjadi satu-satunya tujuan dari pertemuan tersebut. Tapi juga usaha dalam membuat keraton kembali ke habitus akar tradisinya. Muara kosmis, tempat di mana manusia Jawa menemukan oase spiritual dalam menjalani kegamangan hidup di balik situasi ekonomi, hukum dan politik yang semakin tak menentu. Manusia di abad XXI telah jauh meninggalkan tradisi, berlagak menjadi manusia modern yang parlente, namun semakin lama merasa kehilangan pegangan hidup berupa jati diri kebudayaan. Mereka kemudian merindukan keraton, raja dan kisah-kisah kulturalnya. Menjadi acuan dalam kehidupan. Karenanya, masalah keraton dan kehadiran Presiden harus ditanggapi secara bijak.
Presiden butuh sentuhan kultural. Ia memilih hadir di tengah konflik Keraton Kasunanan dibanding mengurus masalah ekonomi, hukum dan politik negeri ini menunjukkan dirinya rindu budaya Jawa yang damai. Bahkan mungkin ia membutuhkan pegangan kala menjelang pensiun dari tugasnya. Kisah-kisah kerajaan dalam mitologi Mahabarata dan Ramayana menjelaskan bahwa raja akan menenangkan diri, berserah diri, dan bertapa kala ia paripurna dari tugasnya. Ia membutuhkan tempat bernaung dan berteduh untuk mendukung keiinginannya tersebut. Bagi SBY, keraton mungkin menjadi tempat paling ideal untuk menziarahkan hidup menjadi lebih “agak” berbudaya. Budaya keraton menunjukkan sebuah peradaban yang dibangun dari hasil seleksi karakter manusia Jawa. Karenanya ia disebut yang “adi luhung”, “santun” dan “mempesona”. Jangan biarkan hal tersebut hilang begitu saja karena konflik yang mendera.
Masyarakat kota Solo memiliki Presiden namun seolah tak memiliki raja. Kehadiran raja semakin tak terbaca dengan jalas. Ritual-ritual penting diadakan tanpa kehadirannya. Raja kemudian menjadi mitos di keratonnya sendiri. Di balik pertemuan keduanya (raja-Presiden), mari dengan bijak kita lepaskan terlebih dahulu beban-beban apriori dan sinisme. Kita tunggu saja bagaimana hasil yang dapat dicapai dari pertemuan tersebut. Apakah mampu menghasilkan satu solusi yang mengangkat hidup keraton menjadi lebih baik? Atau hanya sebatas angin lalu yang tiada guna. Presiden, raja dan keraton memiliki hubungan “mesra” yang tak dapat dilupakan. Jawa membawa dampak besar bagi kepemimpinan nasional. Siapa tau setelah Presiden SBY paripurna dari tugasnya, ia justru memilih keraton Solo sebagai penziarahan laku hidupnya kelak.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Ludruk Membuku (dimuat di Radar Surabaya Jawa Pos, edisi 23 Februari 2014)



Ludruk Membuku


Ludruk, kesenian khas Jawa Timur itu telah banyak terbekukan lewat teks berupa buku. Kisah-kisah lakon ludruk selama ini terlihat tak paripurna dalam kisaran dongeng dan mitos. Namun telisik tentang ludruk justru belum mampu menjadi daya tarik tersendiri sebagai fondasi pembentuk identitas wajah kebudayaan –kesenian tradisi- di Jawa Timur masa kini. Kita patut berbangga kala Eko Edi Susanto, pemilik Ludruk Karya Budaya Mojokerto, mempelopori dengan melukiskan kisah ludruknya lewat buku di tahun 2013 lalu. Buku yang berjudul Ludruk Karya Budaya Mbeber Urip itu berisi telisik perjalanan Ludruk Karya Budaya dari generasi ke generasi. Menuliskan sejarah ludruk dari kacamata “orang dalam” memang sangat jarang terjadi. Hasilnyapun dapat ditebak, kajian yang dilakukan Edi lebih komprehensif, realistis, gamblang dan dapat dipertanggungjawabkan. Ludruk Karya Budaya menjadi cendela dan tolok ukur objektif dalam melihat tantangan dan problematika dunia ludruk  di Jawa Timur mutakhir.
Sebelum Edi, nukilan tentang ludruk berpendar dan berserakan dalam banyak kajian. Henri Suprianto (1992) menuliskan tentang lakon-lakon ludruk yang cukup terkenal, seperti Sakerah dan Sarip Tambak Yoso. Sunaryo (1997) mendudukkan pertunjukan ludruk dalam analisis wacana. Maryeni (2002) dalam disertasinya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta mengambil bahasa ludruk sebagai subjek penelitian. Disebutkan bahwa gaya bahasa ludruk mencerminkan kelas sosial masyarakat akar rumput yang sederhana namun tegas dan blak-blakan. Kasiyanto Kasemin (1999) memandang ludruk sebagai teater sosial di mana adegan dan tragedi hidup sehari-hari dapat direka ulang secara bebas di atas panggung pertunjukan ludruk. Dengan demikian, Kasemin memandang bahwa panggung ludruk adalah representasi kehidupan sosial masyarakat Jawa Timur.
Tak hanya berhenti dalam takaran kontekstual, persoalan musik dalam pertunjukan ludrukpun menjadi hal yang seolah tiada tuntas diperdebatkan. Sutowo (1994), Luckman Siswo Bintoro (1999), Edi Susetyo (2002) dan Joko Santoso (2007) megkaji garap kidungan jula-juli ludrukan versi Kartolo untuk melengkapi gelar kesarjanaan mereka dari berbagai sudut pandang. Kartolo dianggap sebagai maestro yang mampu memberi pengaruh dan warna baru ludruk di Jawa Timur. Kidungannya (vokal) eksotis, kisaran nadanya unik dan tipikal, tema dan topiknya merakyat. Kartolo menyulap dirinya menjadi subjek kajian di banyak skripsi dan tesis. Kartolo mendekonstruksi gaya ludruk di Jawa Timur, dagelan tak semata hanya berisi humor dan canda, namun juga berbalut cerita yang penuh dengan muatan pesan kehidupan. Kartolo kemudian juga menyampaikannya lewat lantunan vokal kidungan. Ia berjaya di era 80-an kala kaset (analog) rekamannya laris manis di pasaran.
Awal mula menuliskan ludruk justru diawali oleh kaum non-pribumi. Mereka tertarik melihat ludruk, baik sebagai misionaris, penjajah maupun murni peneliti. James L Peacock (1967) mendeskripsikan pertunjukan dan respon masyarakat Surabaya terhadap pertunjukan ludruk. Kita bisa melihat potret kehidupan masyarakat Surabaya dari tulisan Peacock yang seolah tak terpisahkan dari ludruk. Menjadi sajian pertunjukan unggulan, ditunggu-tunggu, penuh sesak oleh penonton, di samping panggung bertaburan hiburan laksana pasar malam. Matthew Isaac Cohen lewat bukunya Komedie Steamboel 1891-1903 (2006), ludruk pada dasarnya adalah komedi yang berpentas keliling atau tobong. Tak ada pernak-pernik pakaian glamour yang dikenakan oleh para pemainnya. Semua berpenampilan sederhana, berbeda dengan wayang wong di Jawa Tengah. Pertunjukan ludruk kemudian menghapus sekat antara penonton dan pemain, tak ada jarak. Karena persoalan itulah Carl Hefner (1994) memandang ludruk sebagai teater rakyat yang tak dapat tergantikan. Lakok-lakon ludruk tidak menjadi beku, setiap saat dapat berubah menuruti apa yang sedang ramai diperbincangkan. Jangan heran kemudian jika melihat judul lakon ludruk tak jauh beda dengan sinetron yang ada di televisi, cinta segi tiga, ratapan anak tiri dan tukang bubur naik haji adalah salah satunya.
Ludruk menjadi kesenian komunal, milik semua lapisan. Ia tak terikat oleh hukum-hukum tradisi –pakem- sebagaimana kesenian kratonis. Begitu cair hingga pada masa tertentu kesenian ini dimanfaatkan sebagai corong propaganda politik. Era Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di tahun 50-60an adalah puncaknya. Soedarsono (2002) menjelaskan terdapat 30 grup ludruk dihidupi oleh PKI dengan nama “Lembaga Ludruk” yang bermarkas di Surabaya. Sementara di Jawa Tengah terdapat Badan Kethoprak Indonesia (BAKOKSI) yang juga difasilitasi oleh PKI. Di Jawa Timur sendiri terdapat dua ludruk yang cukup terkenal kala itu yakni Ludruk Marhaen dibawah PKI dan Ludruk Tresno Enggal di bawah PNI. Ludruk menjadi katalisator yang menyampaikan visi-misi politik partai pada publik. Bahkan saat era penjajahan Jepang, ludruk juga menjadi ajang perjuangan dalam menyampaikan kritik pada penjajah. Cak Gondo Durasim, seniman ludruk, melantunkan kidungan bakupan omahe dara, melok nipon awak tambah sara mengakibatkan dirinya harus ditangkap penjajah Jepang dan dipenjarakan.
Pemain ludruk terbilang unik, karena semua diperankan oleh laki-laki. Dengan demikian, si pemain laki-laki juga harus berias layaknya wanita untuk memerankan sosok wanita. Suyanto lewat tulisannya Ludruk dan Tranvesty (1995) menjelaskan peran laki-laki feminin menambah daya kelucuan tersendiri saat pentas ludruk digelar. Selain itu juga menghindari prilaku anarkis penonton yang kurang sopan pada pemain (jika diperankan oleh wanita sesungguhnya). Barbara Hetley menulis Gender Ideology in Java (1983), beberapa peran wanita yang dibawakan oleh laki-laki berpengaruh dalam realitas kehidupan nyata. Akibatnya, banyak laki-laki yang begitu feminin, baik di atas panggug ludruk maupun tidak. Hal yang kemudian kita sebut sebagai waria atau bencong. Kini banyak ludruk di Jawa Timur yang memasukkan wanita sebagai pemain, menggusur peran “laki-laki feminin”. Sementara salah satu ludruk yang hingga kini masih mempertahankan laki-laki sebagai keseluruhan pemain adalah Ludruk Karya Budaya di Mojokerto.
Ludruk telah mewarnai kebudayaan di Jawa Timur. Sayang, kesenian itu kini telah surut pamor, tak lagi digemari. Kalah oleh sajian hiburan yang setiap saat berlalu-lalang di layar televisi kita. Buku-buku yang bertebaran tentang ludruk tersebut kemudian menjadi penting sebagai “bank-data”. Diceritakan dan dibacakan kembali pada anak cucu kala ludruk telah benar-benar mati. Atau justru tak sekedar dibaca, namun juga menjadi satir, betapa ludruk telah memberi arti penting dalam jejak peradaban kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
                     







Kelud, Kisah Tentang Peradaban (dimuat di Jawapos edisi 16 Februari 2014)


Kelud, Kisah Tentang Peradaban



Gunung Kelud telah membuncahkan pasir dan batu. Lagit gelap dan jalan penuh debu. Bagi masyarakat Jawa, meletusnya gunung berapi tersebut tidaklah sekadar peristiwa alam yang alamiah. Namun berkait erat dengan ranah pemikiran lokal (local wisdom) penduduk setempat yang masih menyakini bahwa gunung kelud sedang nduwe gawe atau menggelar hajat agung. Pemikiran transenden atau nir nalar yang ditujukan pada kehadiran gunung telah bertahan selama ribuan tahun. Masyarakat Jawa mempercayai gunung sebagai pusat kosmis-mistis, dianggap mampu menghubungkan atau mendekatkan diri dengan para dewa dan arwah leluhur mereka. Tak mengherankan kemudian jika di hampir semua gunung di Jawa memiliki tempat, bangunan, bahkan peninggalan suci yang dikeramatkan. Pelbagai pemujaan diberlangsungkan. Sesaji menjadi syarat wajib. Bunga dan dupa serta kemenyan tak boleh ditiadakan. Segala persembahan itu adalah wujud “negosiasi” manusia dengan gunung atau alam untuk saling menjaga harmonisasi kehidupan. Karenanya, saat gunung itu meletus kerangka pemilikian logis-akademis kadang tak serta merta dapat begitu saja diterima. Lebih dari itu, pelbagai mitos juga menyelimuti kehadiran gunung berapi di Jawa, begitu juga dengan Gunung Kelud. Masyarakat setempat mengenal Kelud sebagai sebagai simbol dari kisah cinta tak sampai.

Mitos
Suara gemuruh dari letusan Kelud adalah ujud raungan dari Lembu Sura karena cintanya yang telah dihianati oleh Dewi Kalisuci. Konon, Prabu Jenggala Manik yang memerintah Kerajaan Kadiri (versi lain menyebutkan Brawijaya -Majapahit-) hendak mencari menantu untuk putri kesayangannya yang bernama Dewi Kalisuci. Banyak raja dan pangeran datang melamar. Hal ini membuat binggung Jenggala Manik dalam memilih salah satu di antara pelamar. Sayembarapun digelar, barang siapa yang berhasil merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat Gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak mempersunting putri dari Jenggala Manik yang berparas cantik dan molek itu. Ironisnya, tak ada satupun raja dan para pangeran yang berhasil melaksanakan tugas itu. Sebelum perlombaan ditutup, tiba-tiba datanglah Lembu Sura, si manusia berwajah lembu. Ia dengan mudahnya merentang busur dan mengangkat gong keramat yang diperlombakan.
Namun Kalisuci merasa jijik jika memiliki suami yang berwajah hewan. Ia pun mengajukan syarat tambahan agar Lembu Sura membuat sumur di puncak Gunung Kelud dalam waktu semalam. Tanpa pikir panjang, Lembu Suro mulai menggali dengan kedua tanduknya. Sang putri mulai khawatir jika tugas itu mampu diselesaikan sebelum fajar datang. Akhirnya, ia dan ayahnya memerintahkan prajurit di kerajaan untuk menimbun Lembu Sura yang sedang menggali sampai dasar gunung. Batu dan tanah dijatuhkan dari atas sumur. Dalam sekejap, Lembu Sura telah terkubur. Putri dan ayahnya senang bukan kepalang. Namun tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari dalam gunung. Bunyi itu tak lain adalah suara dari Lembu Sura yang mengutuk Dewi Kalisuci dan kerajaannya, nisacaya akan hancur oleh muntahan lahar dan abu Gunung Kelud. Masyarakat Kediri (khususnya Desa Sugih Waras) meyakini kebenaran mitos ini, dan berusaha menjaga agar Lembu Sura tidak marah. Mereka membuat ritual yang biasa dinamakan dengan Larung Sesaji di lereng Gunung Kelud setiap tanggal 23 Suro.
Kisah Lembu Sura seolah menjadi kenyataan kala menelisik bekas peninggalan Kerajaan Kadiri berupa candi dan tempat peribadatan yang terkubur oleh muntahan lahar dan abu Gunung Kelud. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bersama Universitas Gadjah Mada pada 1987 menyimpulkan, Kerajaan Kadiri (Panjalu) sering terganggu oleh letusan Gunung Kelud. Beberapa situs kerajaanpun terendam lahar dan pasir Kelud, di anataranya Lirboyo, Botolengket, Totok Kerot, Sebanen, dan Semen. Hujan abu, lahar dan kerikil juga menyebabkan banyak manusia yang terbunuh. Guna menghindari amuk Kelud, raja Kadiri lantas memerintahkan untuk dibangunnya Candi Penataran, sebagai sarana pemujaan pada dewa gunung (Acalapati). Kelud menjadi inspirasi bagi manusia Jawa untuk tak sekadar memandang gunung sebagai tumpukan tanah dan batu. Namun makhluk yang harus dirawat, dilindungi bahkan dipuja.
Kelud -dan gunung lain di Jawa- adalah tempat yang suci dan sakral bagi manusia untuk kontemplasi, bertapa mengharap wahyu dan berserah diri. Pemikiran mistis-religius terhadap gunung menjadikan manusia Jawa membuat “gunung rekaan” berujud tumpeng atau gunungan. Tumpeng adalah tumpukan nasi dan sayur hasil bumi yang ditata menyerupai gunung (mengerucut). Ia adalah ujud penghormatan orang Jawa terhadap gunung berapi. Dalam kisah-kisah pewayangan, gunung menjadi tempat para kesatria mendapatkan wahyu berupa ilmu kanuragan dan senjata sakti. Lihatlah Arjuna yang mendapat panah Pasopati di Gunung Indrakila –lakon Arjuna Wiwaha-. Gunung adalah tempat para raja menyepi dan berserah diri kala paripurna dari tugasnya memimpin kerajaan. Bahkan makam raja dan penguasa Jawa senantiasa berlokasi di Gunung (Giri: Jawa). Lihatkan pemakaman keluarga Presiden Soeharto di Giribangun dan raja-raja Mataram di Imogiri. Dalam kisah wayang kulit, pertunjukan senantiasa dibuka dan ditutup dengan kehadiran “Gunungan”. Di balik gunungan wayang itu berlukiskan air dan api. Menjelaskan gunung adalah pusat kelahiran (sumber air) namun juga pusat kematian (sumber api). Gunung menjadi lambang dari awal dan akhir sebuah kehidupan.

Muntah
Sesaji dan persembahan untuk gunung bukan berarti manusia telah menyembah gunung. Ritual di gunung membawa pesan bahwa penghormatan untuk gunung mutlak diperlukan. Penghormatan itu tak lain adalah dengan merawat, tak menebang hutan dan kayu di lerengnya. Letusan Kelud kemudian tak harus dimaknai sebagai sebuah musibah. Namun ujud rotasi kehidupan yang memberi babak baru dalam bentuk kesuburan bumi. Semburan lahar dan debu ibarat jamu, pahit di awal namun manis di akhir. Sesudahnya, tanah menjadi lebih gembur, udara menjadi lebih bersih dan langit menjadi lebih biru. Karena itu, letusan Kelud adalah pesta alam yang patut untuk dirayakan. Hal ini juga mengilhami masyarakat di Magelang -Jawa Tengah- yang mendiami lereng-lereng gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh) mengekspresikan kegairahan mereka tentang gunung lewat seni dalam sebuah festival tahunan yang dinamakan Festival Lima Gunung. Kelud menjadi salah satu dari rangkaian cincin gunung berapi (ring of fire) di Jawa. Berusaha menarasikan bahwa “kehidupan kita adalah kehidupan gunung”. Acuh terhadap gunung berarti acuh terhadap kehidupan.
Nukilan tentang eksistensi “kisah” dan “makna” gunung dewasa ini telah mengalami kebangkrutan. Masyarakat Jawa dan Indonesia khususnya lebih mampu memahami letusan gunung sebagai peristiwa bencana alam yang semata membawa nestapa. Tak lagi mampu memetik kisah positif dan indah di baliknya. Padahal sejarah telah memberi pelajaran yang berharga. Hadirnya mitos, ritual dan laku religius di gunung menunjukkan bahwa manusia Jawa adalah “manusia gunung”. Dibentuk dan dibesarkan dari pemikiran lokal tentang gunung. Mengetahui telisik kebudayaan dan sejarah gunung berarti menyadari siapa dan dari mana kita berasal. Kelud mengingatkan kita tentang kisah Lembu Sura yang sedang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Gejolak Kelud akhir-akhir ini membawa kita untuk berkontemplasi, betapa dahsyatnya alam dalam menunjukkan eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah kita. Kisah kelud kemudian juga menjelma sebagai kisah tentang kebudayaan dan peradaban manusia di Jawa.   
Aris Setiawan
Etnomusikolog Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Cara Cina-Jawa BerIndonesia (dimuat di Suara Merdeka 16 Februari 2014)



Cara Cina-Jawa BerIndonesia



Ada yang unik dari perayaan Imlek di Solo. Masyarakat setempat melangsungkan acara Grebek Sudiro (26/1/14). Sebuah prosesi –arak-arakan- dengan mempertontonkan pelbagai kesenian Cina dan Jawa. Tak lupa juga terdapat tumpeng berisi kue yang diperebutkan. Grebeg Sudiro menunjukkan pekatnya akulturasi antara Cina dan Jawa. Bermula saat warga Cina peranakan di Sudiroprajan Solo yang telah menetap puluhan tahun dan berdampingan harmonis dengan masyarakat Jawa. Lambat laun, antara kedua etnis tersebut terjadi perkawinan dan menciptakan generasi keturunan baru “CinaJawa”. Untuk menghormati hal itu mereka membuat tradisi baru dengan nama Grebek Sudiro. Sebelumnya, masyarakat etnis Tionghoa telah menemukan kebebasan berekspresi sejak era pemerintahan Gus Dur yang mencabut Inpres Nomor 14/1967 tentang pelarangan segala aktifitas berbau Cina. Padahal jika melihat jejak sejarah Cina di Indonesia dan Jawa khususnya, telah turut memberi warna bagi terbentuknya varian kebudayaan baru.

Akulturasi Budaya
Raden Arif Nugroho dalam tulisannya berjudul Akulturasi antara Cina dan Jawa (2010) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto, etnis Tionghoa dikekang hak dan kebebasannya. Segala aktifitas peribadatan dan kesenian digelar dalam ruang yang terbatas dan sembunyi-sembunyi. Namun di sisi lain justru memaksa mereka untuk berkembang lewat akulturasi dengan masyarakat pribumi. Akulturasi itu berwujud perkawinan. Hal ini semata dilakukan untuk “memutihkan” keturunan mereka menjadi bercita rasa Jawa. Implikasinya membawa pertemuan antar dua kebudayaan yang berbeda untuk saling menyesuaikan. Hal tersebut mengingatkan kita tentang kisah masyarakat Cina yang telah mampu memberi sumbangan besar bagi bentuk ornamentasi masjid di Jawa. Handinoto dalam Pengaruh Pertukangan Cina pada Mesjid Kuno di Jawa abad 15-16 (2007) menjelaskan dengan detail bagiamana masjid-masjid di Jawa, terutama Pantai Utara seperti Masjid Kudus, Demak dan Mantingan –dekat Jepara- banyak terpengaruh oleh gaya Tionghoa. Hal ini dapat dilihat lewat hiasan piring porselen Cina pada dinding masjid. Bahkan di dinding menara Masjid Kudus terdapat piring-piring yang langsung didatangkan dari negeri Cina. Hal ini menunjukkan bahwa akulturasi budaya terjadi berlangsung dengan damai, tanpa penolakan.
Begitupun pada prosesi Grebek Sudiro di Solo beberapa waktu lalu. Tumpeng atau gunungan biasanya identik dengan kebudayaan Jawa. Namun di perayaan itu, gunungan justru seolah mampu menjadi bagian penting dari ritus keagamaan Tionghoa. Masyarakat setempat kemudian berebut kue sambil mengharap berkah layaknya dalam Gunungan Grebek Mulud Sekatenan. Tradisi kemudian mengajarkan bagaimana akulturasi kebudayaan berdampak besar bagi dinamisasi peradaban. Masyarakat Cina dan Jawa tak ada beda. Keduanya menyatu dan hidup rukun. Walaupun tak dapat dipungkiri, dalam beberapa rentang waktu terpatik persoalan etnisitas antara keduanya, tapi kemudian mampu redam kembali. Kesenian dan kebudayaan menjadi sarana diplomasi paling efisien untuk merawat pluralitas negeri ini. Masyarakat Jawa menyukai bakpao, capjay dan pangsit. Sementara masyarakat Cina juga menggemari pecel dan lemper.
Orang-orang Cina mengubah namanya menjadi lebih Jawa atau Indonesia. Lampion-lampion menghiasi pinggiran jalan kala Implek datang. Warna merah kemudian menjadi warna yang tak sekedar mengisahkan Tionghoa namun juga Jawa. Lihatlah di Pasar Gedhe Solo, lampu dan warna merah begitu indah menghiasi sudut jalan. Tempat para pemuda-pemudi bertemu dan berfoto ria. Kemeriahan imlek menjadi milik bersama, tanpa memandang suku dan golongan. Pertunjukan barongsai dan musik khas Cina tak lagi dimainkan oleh etnis Tionghoa namun juga seniman Jawa. Hal ini mengisahkan jejak pertemuan lebih lampau yang menyakini bahwa kesenian (terutama musik Cina) banyak memengaruhi musik di Jawa. Lihatlah rebab -alat musik gesek-, yang konon berasal dari Erhu, instrumen musik Cina. Atau gong Jawa yang diyakini sebagai evolusi dari gong beri di Cina. Serta siter yang merupakan metemorosis dari kecapi.
Santoso (2009) memandang akulturasi sebagai sebuah perpaduan dua atau lebih budaya yang bersinergi untuk saling menjembatani karakter masing-masing. Dengan demikian, karakter kebudayaan Cina yang dipandang kurang baik bagi orang Jawa tentu tidak akan dipakai, begitupun sebaliknya. Hasil akulturasi kemudian berisi karakter unggulan dari dua kebudayaan itu yang mampu luruh. Konsep ini juga yang dipegang oleh para misionaris Islam kala memasuki Jawa. Mereka tidak dengan serta merta menghilangkan kebudayaan Jawa dan pengaruh Hindu-Budha, namun berusaha memadukannya. Akibatnya timbullah Islam yang menJawa. Begitupun dengan kaum Tionghoa yang melahirkan “Cina menJawa”. Kisah-kisah akulturatif budaya ini harus senantiasa didengungkan, baik di masa kini maupun yang akan datang agar tidak lagi timbul konflik-konflik yang berbau rasial atau etnisitas. Mengingat Indonesia adalah negara majemuk dengan banyak suku bangsa.

Merawat
Tentu saja keharmonisan antara dua etnis yang berbeda tersebut harus senantiasa dirawat. Solo yang selama ini dikenal sebagai “sumbu pendek” konflik suku (Cina-Jawa) berusaha menghapus stereotip tersebut. Jejak sejarah mengisahkan, pada tahun 1911 terjadi kerusuhan di Lawean Solo yang disebabkan oleh persaingan usaha antara para pedagang Cina dan Jawa. Kemudian pada 19 November 1980 terjadi konflik yang konon disebabkan oleh masalah sepele. Masyarakat Jawa membakar toko-toko dan gedung milik etnis Tionghoa (Heri Priyatmoko, 2013). Terakhir pada tahun 1998, Solo menjadi lautan api. Masyarakat Cina menjadi kaum minor yang diburu dan dijarah harta bendanya. Peristiwa-peristiwa itu menimbulkan traumatik yang dalam. Persoalan etnisitas memang mudah sekali terpatik lantaran masalah yang kadang sepele. Oleh karena itu, segala usaha yang digelar demi terciptanya kerukunan antar suku patut mendapat apresiasi tinggi. Grebeg Sudiro, adalah contoh akulturasi yang mampu menjadi simpul, mengikat kencang hubungan harmonis antara Cina dan masyarakat Jawa di abad XXI.
Hari raya Imlek menjadi momentum penting untuk memupuk rasa saling menghormati. Ritus Grebek Sudiro di Solo juga menjadi satir bagi manusia masa kini yang dirasa semakin individual dan tak lagi menghargai perbedaan. Di daerah lain di Indonesia, konflik suku dan golongan tak kunjung usai. Dibutuhkan usaha yang tak hanya sekedar dialog untuk menyatukan perbedaan. Namun juga bentuk kongkrit yang dapat dirasakan antar semua pihak. Kesenian dan kebudayaan sebenarnya dapat menjembatani akan hal itu. Tapi sayang jarang digunakan karena berbagai dalih dan alasan. Penyelesaian masalah selama ini lebih mengedepankan pada hitung-hitungan aset, antara untung dan rugi. Belum masuk dalam ranah yang lebih realistis, kolaborasi kesenian misalnya. Dengan demikian, momentum Imlek di Solo lewat Grebeg Sudiro semoga menjadi awal yang mampu memicu lahirnya kerukunan antar etnis, suku dan golongan di Indonesia tercinta ini lewat gerakan budaya berujud atraksi akulturasi kesenian.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut