Presiden, Raja
dan Keraton
Langkah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Keraton Kasunanan
patut mendapat apresiasi. Walau pekat beraroma politis menjelang pemilu. Namun
peristiwa tersebut seolah mengingatkan kita tentang kisah pertemuan antara
penguasa “alit” dalam bingkai kerajaan di Jawa –Solo- dengan penguasa “ageng”
dalam bingkai negara dan republik –Indonesia-. Soekarno dan Soeharto tentu
sangat mafhum kala dirinya tak dapat dilepaskan dalam pengaruh Jawa dan Keraton
sebagai sumber kosmis-religius kehidupan. Namun demikian, jejak itu tak lantas dapat
ditemui pada Presiden-Presiden setelahnya.
Hubungan antara negara dan kerajaan tak
serta merta menempatkan keduanya dapat lentur membaur. Penyerahan kerajaan
(keraton) menjadi bagian dari negara republik bukannya tanpa asa dan
pengorbanan. Kisah itu mengharuskan keraton merelakan sebagian besar legitimasi
kekuasaanya, terutama secara politis. Keraton dan kerajaan menjadi bagunan masa
lampau yang dilindungi keberadaannya oleh undang-undang. Raja masih ada, namun
sebatas simbol kultural. Setiap tahun mendapat kucuran dana yang kadang tak
mencukupi untuk perawatan bangunan dan kegiatan ritual-ritual budaya.
Karenanya, konflik tak berujung di Keraton Kasunanan Surakarta sangat
disayangkan. Apa sebenarnya yang diperebutkan antar pihak yang bertikai?
Bukankah hal itu semakin menambah kebangkrutan eksistensi keraton di mata
masyarakat. Presiden kemudian diharapkan mampu menjadi jembatan “negosiasi”
yang memberi solusi ideal tanpa pamrih tersembunyi.
Tempat Berteduh
Masyarakat Solo telah jemu dengan
konflik yang selama ini terjadi. Karenanya, kehadiran Presiden yang mencoba
memediasi konflik tersebut juga ditanggapi dingin oleh sebagian besar masyarakat.
Terlebih turun tangan Presiden juga banyak dihubungkan dengan ambisi mengeruk kepentingan
dalam mendulang suara di momen pemilu tahun ini. Tentu saja pelbagai sinisme
tersebut tak dapat dihindarkan. Namun, kita masih menjumpai secercah harapan,
bahwa sejatinya pemerintah pusat masih menunjukkan perhatian seriusnya bagi
keraton. Lebih dari itu, keraton adalah “tempat berteduh” yang memberi kekuatan
ingantible bagi kehidupan penguasa.
Pelbagai sesaji dan benda pusaka dianggap memiliki petuah yang mampu
menentramkan jiwa. Bahkan konon Soekarno dan Soeharto membutuhkan benda-benda
keramat keraton untuk mengukuhkan supremasi kekuasaanya. Merekapun tak segan
untuk “lari” ke keraton guna mendapat ketentraman jiwa kala situasi politik
sedang kacau. Keraton dengan demikian bukan semata tempat dan bangunan atau
benda mati, namun menjadi “ruang terapis” yang memberi kesejukan jiwa penguasa
negeri.
Penguasa masa kini mengingat keraton
kala mendekati puncak akhir kekuasaannya. Hiruk pikuk kehidupan pilitik dan
hukum yang tiada tuntas membutuhkan keraton sebagai tempat berteduh. Ritual-ritual
kratonis yang dilangsungkan memberi kesan kuat bahwa keberadaan keraton tak
semata menyangkut hajat hidup manusia yang ada di dalamnya, tapi juga hubungan
vertikal dengan sang pencipta. Era kerajaan menarasikan bahwa raja adalah
manusia yang ditempa secara sempurna dan paripurna. Ia dianggap memiliki ilmu linuwih
yang tak dimiliki manusia pada umumnya. Hal yang kemudian begitu jelas
membedakan kala Indonesia “berkerajaan” dengan “berepublik”. Di era republik
yang menjunjung tinggi demokrasi sebagai pilar utama, raja dalam konteks ini Presiden
kehilangan ruang legitimasi yang menghubungkan dirinya dengan sang pencipta. Presiden
hanya sebatas manusia biasa yang memiliki kekuatan mengatur roda pemerintahan,
namun tak memiliki kuasa memberi dalil ketuhanan dan kuktural layaknya titah
raja. Di ruang yang “irasional” itulah seorang raja masih unggul jika
dibandingkan dengan Presiden.
Presiden tak memiliki ritual sakral yang
dihelat untuk mengukuhkan supremasi kekuasaannya. Ia berurusan dengan waktu
yang mengharuskan dirinya kembali menjadi manusia biasa. Sementara menjadi raja
akan selamanya hingga akhir hayat menjemput. Kesetiaan para sentana dan abdi
dalem kerajaan tulus tanpa mengharap pamrih. Mereka mengabdi pada raja
menandakan jalan ibadah pada tuhannya. Sementara mengabdi pada Presiden berarti
memuja pamrih berupa materi dan jabatan. Keduanya seolah sama namun sejatinya
berbeda. Presiden kaya akan kuasa namun miskin legitimasi kultural, berbanding
terbalik dengan raja. Pada konteks inilah pertemuan SBY dengan Raja Kasunanan
selain bisa dikategorikan pekat unsur politis, namun juga wujud kerinduan untuk
menjadikan keraton sebagai “ruang teduh” bagi keduanya. Kisah itu menjadi
ironis kala melihat penghuni keraton lain yang menaruh curiga dan apriori
terhadap pertemuan kedua “raja” itu. Kita pun cemas Jika sekelas Presiden tak
sanggup meredam dan mendamaikan konflik keraton, lalu siapa lagi yang mampu?
Kehadiran Presiden di tengah-tengah konflik menunjukkan jika masalah yang
terjadi telah akut dan parah.
Bijak
Raja tanpa kuasa politis bertemu Presiden
tanpa kuasa kultural menjadi nukilan dalam pembabakan sejarah –kebudayaan- di
Indonesia. Keduanya dapat saja saling mengadu dan berkeluh tentang keadaan. Berbagi pandangan dan bertukar
pengalaman. Sangat mungkin konflik yang terjadi tak lantas menjadi satu-satunya
tujuan dari pertemuan tersebut. Tapi juga usaha dalam membuat keraton kembali
ke habitus akar tradisinya. Muara kosmis, tempat di mana manusia Jawa menemukan
oase spiritual dalam menjalani kegamangan hidup di balik situasi ekonomi, hukum
dan politik yang semakin tak menentu. Manusia di abad XXI telah jauh
meninggalkan tradisi, berlagak menjadi manusia modern yang parlente, namun
semakin lama merasa kehilangan pegangan hidup berupa jati diri kebudayaan.
Mereka kemudian merindukan keraton, raja dan kisah-kisah kulturalnya. Menjadi
acuan dalam kehidupan. Karenanya, masalah keraton dan kehadiran Presiden harus
ditanggapi secara bijak.
Presiden butuh sentuhan kultural. Ia
memilih hadir di tengah konflik Keraton Kasunanan dibanding mengurus masalah
ekonomi, hukum dan politik negeri ini menunjukkan dirinya rindu budaya Jawa
yang damai. Bahkan mungkin ia membutuhkan pegangan kala menjelang pensiun dari
tugasnya. Kisah-kisah kerajaan dalam mitologi Mahabarata dan Ramayana
menjelaskan bahwa raja akan menenangkan diri, berserah diri, dan bertapa kala
ia paripurna dari tugasnya. Ia membutuhkan tempat bernaung dan berteduh untuk
mendukung keiinginannya tersebut. Bagi SBY, keraton mungkin menjadi tempat
paling ideal untuk menziarahkan hidup menjadi lebih “agak” berbudaya. Budaya keraton
menunjukkan sebuah peradaban yang dibangun dari hasil seleksi karakter manusia
Jawa. Karenanya ia disebut yang “adi luhung”, “santun” dan “mempesona”. Jangan
biarkan hal tersebut hilang begitu saja karena konflik yang mendera.
Masyarakat kota Solo memiliki Presiden
namun seolah tak memiliki raja. Kehadiran raja semakin tak terbaca dengan
jalas. Ritual-ritual penting diadakan tanpa kehadirannya. Raja kemudian menjadi
mitos di keratonnya sendiri. Di balik pertemuan keduanya (raja-Presiden), mari
dengan bijak kita lepaskan terlebih dahulu beban-beban apriori dan sinisme.
Kita tunggu saja bagaimana hasil yang dapat dicapai dari pertemuan tersebut.
Apakah mampu menghasilkan satu solusi yang mengangkat hidup keraton menjadi
lebih baik? Atau hanya sebatas angin lalu yang tiada guna. Presiden, raja dan
keraton memiliki hubungan “mesra” yang tak dapat dilupakan. Jawa membawa dampak
besar bagi kepemimpinan nasional. Siapa tau setelah Presiden SBY paripurna dari
tugasnya, ia justru memilih keraton Solo sebagai penziarahan laku hidupnya
kelak.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta