Cara Cina-Jawa
BerIndonesia
Ada yang unik dari perayaan Imlek di
Solo. Masyarakat setempat melangsungkan acara Grebek Sudiro (26/1/14). Sebuah
prosesi –arak-arakan- dengan mempertontonkan pelbagai kesenian Cina dan Jawa.
Tak lupa juga terdapat tumpeng berisi kue yang diperebutkan. Grebeg Sudiro
menunjukkan pekatnya akulturasi antara Cina dan Jawa. Bermula saat warga Cina
peranakan di Sudiroprajan Solo yang telah menetap puluhan tahun dan
berdampingan harmonis dengan masyarakat Jawa. Lambat laun, antara kedua etnis tersebut
terjadi perkawinan dan menciptakan generasi keturunan baru “CinaJawa”. Untuk
menghormati hal itu mereka membuat tradisi baru dengan nama Grebek Sudiro. Sebelumnya,
masyarakat etnis Tionghoa telah menemukan kebebasan berekspresi sejak era pemerintahan
Gus Dur yang mencabut Inpres Nomor 14/1967
tentang pelarangan segala aktifitas berbau Cina. Padahal jika melihat jejak
sejarah Cina di Indonesia dan Jawa khususnya, telah turut memberi warna bagi
terbentuknya varian kebudayaan baru.
Akulturasi
Budaya
Raden Arif Nugroho dalam tulisannya
berjudul Akulturasi antara Cina dan Jawa
(2010) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto, etnis Tionghoa
dikekang hak dan kebebasannya. Segala aktifitas peribadatan dan kesenian
digelar dalam ruang yang terbatas dan sembunyi-sembunyi. Namun di sisi lain justru
memaksa mereka untuk berkembang lewat akulturasi dengan masyarakat pribumi.
Akulturasi itu berwujud perkawinan. Hal ini semata dilakukan untuk “memutihkan”
keturunan mereka menjadi bercita rasa Jawa. Implikasinya membawa pertemuan
antar dua kebudayaan yang berbeda untuk saling menyesuaikan. Hal tersebut
mengingatkan kita tentang kisah masyarakat Cina yang telah mampu memberi
sumbangan besar bagi bentuk ornamentasi masjid di Jawa. Handinoto dalam Pengaruh Pertukangan Cina pada Mesjid Kuno
di Jawa abad 15-16 (2007) menjelaskan dengan detail bagiamana masjid-masjid
di Jawa, terutama Pantai Utara seperti Masjid Kudus, Demak dan Mantingan –dekat
Jepara- banyak terpengaruh oleh gaya Tionghoa. Hal ini dapat dilihat lewat
hiasan piring porselen Cina pada dinding masjid. Bahkan di dinding menara
Masjid Kudus terdapat piring-piring yang langsung didatangkan dari negeri Cina.
Hal ini menunjukkan bahwa akulturasi budaya terjadi berlangsung dengan damai,
tanpa penolakan.
Begitupun pada prosesi Grebek Sudiro di
Solo beberapa waktu lalu. Tumpeng atau gunungan biasanya identik dengan
kebudayaan Jawa. Namun di perayaan itu, gunungan justru seolah mampu menjadi
bagian penting dari ritus keagamaan Tionghoa. Masyarakat setempat kemudian
berebut kue sambil mengharap berkah layaknya dalam Gunungan Grebek Mulud
Sekatenan. Tradisi kemudian mengajarkan bagaimana akulturasi kebudayaan
berdampak besar bagi dinamisasi peradaban. Masyarakat Cina dan Jawa tak ada
beda. Keduanya menyatu dan hidup rukun. Walaupun tak dapat dipungkiri, dalam
beberapa rentang waktu terpatik persoalan etnisitas antara keduanya, tapi
kemudian mampu redam kembali. Kesenian dan kebudayaan menjadi sarana diplomasi
paling efisien untuk merawat pluralitas negeri ini. Masyarakat Jawa menyukai
bakpao, capjay dan pangsit. Sementara masyarakat Cina juga menggemari pecel dan
lemper.
Orang-orang Cina mengubah namanya
menjadi lebih Jawa atau Indonesia. Lampion-lampion menghiasi pinggiran jalan
kala Implek datang. Warna merah kemudian menjadi warna yang tak sekedar
mengisahkan Tionghoa namun juga Jawa. Lihatlah di Pasar Gedhe Solo, lampu dan
warna merah begitu indah menghiasi sudut jalan. Tempat para pemuda-pemudi
bertemu dan berfoto ria. Kemeriahan imlek menjadi milik bersama, tanpa
memandang suku dan golongan. Pertunjukan barongsai dan musik khas Cina tak lagi
dimainkan oleh etnis Tionghoa namun juga seniman Jawa. Hal ini mengisahkan
jejak pertemuan lebih lampau yang menyakini bahwa kesenian (terutama musik
Cina) banyak memengaruhi musik di Jawa. Lihatlah rebab -alat musik gesek-, yang
konon berasal dari Erhu, instrumen musik Cina. Atau gong Jawa yang diyakini
sebagai evolusi dari gong beri di Cina. Serta siter yang merupakan metemorosis
dari kecapi.
Santoso (2009) memandang akulturasi
sebagai sebuah perpaduan dua atau lebih budaya yang bersinergi untuk saling
menjembatani karakter masing-masing. Dengan demikian, karakter kebudayaan Cina
yang dipandang kurang baik bagi orang Jawa tentu tidak akan dipakai, begitupun
sebaliknya. Hasil akulturasi kemudian berisi karakter unggulan dari dua
kebudayaan itu yang mampu luruh. Konsep ini juga yang dipegang oleh para
misionaris Islam kala memasuki Jawa. Mereka tidak dengan serta merta
menghilangkan kebudayaan Jawa dan pengaruh Hindu-Budha, namun berusaha memadukannya.
Akibatnya timbullah Islam yang menJawa. Begitupun dengan kaum Tionghoa yang
melahirkan “Cina menJawa”. Kisah-kisah akulturatif budaya ini harus senantiasa
didengungkan, baik di masa kini maupun yang akan datang agar tidak lagi timbul
konflik-konflik yang berbau rasial atau etnisitas. Mengingat Indonesia adalah
negara majemuk dengan banyak suku bangsa.
Merawat
Tentu saja keharmonisan antara dua etnis
yang berbeda tersebut harus senantiasa dirawat. Solo yang selama ini dikenal
sebagai “sumbu pendek” konflik suku (Cina-Jawa) berusaha menghapus stereotip
tersebut. Jejak sejarah mengisahkan, pada tahun 1911 terjadi kerusuhan di
Lawean Solo yang disebabkan oleh persaingan usaha antara para pedagang Cina dan
Jawa. Kemudian pada 19 November 1980 terjadi konflik yang konon disebabkan oleh
masalah sepele. Masyarakat Jawa membakar toko-toko dan gedung milik etnis Tionghoa
(Heri Priyatmoko, 2013). Terakhir pada tahun 1998, Solo menjadi lautan api.
Masyarakat Cina menjadi kaum minor yang diburu dan dijarah harta bendanya. Peristiwa-peristiwa
itu menimbulkan traumatik yang dalam. Persoalan etnisitas memang mudah sekali
terpatik lantaran masalah yang kadang sepele. Oleh karena itu, segala usaha
yang digelar demi terciptanya kerukunan antar suku patut mendapat apresiasi
tinggi. Grebeg Sudiro, adalah contoh akulturasi yang mampu menjadi simpul,
mengikat kencang hubungan harmonis antara Cina dan masyarakat Jawa di abad XXI.
Hari raya Imlek menjadi momentum penting
untuk memupuk rasa saling menghormati. Ritus Grebek Sudiro di Solo juga menjadi
satir bagi manusia masa kini yang dirasa semakin individual dan tak lagi
menghargai perbedaan. Di daerah lain di Indonesia, konflik suku dan golongan
tak kunjung usai. Dibutuhkan usaha yang tak hanya sekedar dialog untuk
menyatukan perbedaan. Namun juga bentuk kongkrit yang dapat dirasakan antar semua
pihak. Kesenian dan kebudayaan sebenarnya dapat menjembatani akan hal itu. Tapi
sayang jarang digunakan karena berbagai dalih dan alasan. Penyelesaian masalah
selama ini lebih mengedepankan pada hitung-hitungan aset, antara untung dan
rugi. Belum masuk dalam ranah yang lebih realistis, kolaborasi kesenian
misalnya. Dengan demikian, momentum Imlek di Solo lewat Grebeg Sudiro semoga
menjadi awal yang mampu memicu lahirnya kerukunan antar etnis, suku dan golongan
di Indonesia tercinta ini lewat gerakan budaya berujud atraksi akulturasi kesenian.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar