Tumpeng di Jawa (dimuat di Koran Joglosemar 12 Februari 2014)



Tumpeng di Jawa



Perayaan Imlek di Kota Solo bulan kemarin berlangsung unik dengan melangsungkan Grebeg Sudiro. Di perayaan etnis Tionghoa tersebut terdapat tumpeng atau gunungan yang diarak kemudian diperebutkan oleh masyarakat setempat. Hal ini mengingatkan kita tentang tradisi Sekatenan saat Grebeg Muludan. Tumpeng kemudian tak hanya berisi makanan hasil bumi, namun berubah menjadi benda keramat pembawa berkah. Kehadirannya menerobos sekat lintas batas, ujud akulturatif yang tak hanya dimiliki oleh manusia Jawa, namun segala lapisan masyarakat tak terkecuali etnis Tionghoa di Solo. Tumpeng menyatukan dua etis yang berbeda (Jawa-Tionghoa). Kisah tumpeng diperayaan Imlek tersebut menjadi penting untuk senantiasa didengungkan demi mengikis konflik-konflik yang berbau rasial di Indonesia. Jejak sejarah menarasikan tumpeng sebagai ungkapan ujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Tumpeng mempertemukan satu manusia dengan yang lain untuk bersosialiasasi, berbagi dan berkomunikasi. Tumpeng mengisahkan detak hidup kebudayaan manusia Jawa.

Gunung
Tumpeng merupakan cara penyajian nasi –kuning atau uduk- beserta lauk-pauknya berbentuk kerucut menyerupai gunung, karenanya disebut juga dengan “Gunungan” –dalam perayaan sekaten-. Bagi masyarakat Jawa, nasi tumpeng dihadirkan saat kenduri atau perayaan sebuah peristiwa penting. Tradisi tumpengan tetap bertahan hingga detik ini. Zaman boleh saja melaju pesat, namun tumpeng masih berusaha menemani masyarakat Jawa untuk menelisik jejak habitus akar tradisinya. Karena itu, tumpeng berisi tentang apapun yang diolah dan didapatkan dari hasil kebudayaan –kearifan- lokal. Dalam tumpeng itu berisi timbunan imajinasi, cita-cita dan harapan tentang hidup idaman. Masyarakat akar rumput membuat tumpeng tidak sekedar untuk dimakan bersama. Namun menjadi katalisator dalam komunikasi sosial. Di area tumpeng itu pelbagai hal diobrolkan, dari masalah pengairan –irigasi- sawah hingga persoalan politik dan laku hidup yang membelit masyarakat desa. Bercengkrama untuk saling bertukar pikiran, memecahkan persoalan dan bahkan menjalin kesepakatan tertentu terkait dengan pertanian dan pembangunan desa. Tumpeng mempertautkan satu dengan yang lain.
Tumpeng berasal dari tradisi purbawi, di mana masyarakat Jawa masih meyakini Gunung (Giri: Jawa) sebagai tempat bersemayamnya arwah atau roh para leluhur. Banyak ritual yang diberlangsungkan di area gunung. Mulai dari meminta keselamatan hidup dengan menyajikan pelbagai sesaji, semerbak harum dupa, pekatnya kemenyan dan warna-wani bunga tujuh rupa hingga laku berserah diri seperti bertapa dan menyepi. Dalam epos Mahabarata, dikisahkan bagaimana gunung memegang peranan kunci yang menghubungkan manusia dengan para dewa. Arjuna harus bertapa digunung Indrakila untuk mendapatkan anugerah berupa panah Pasopati dalam lakon Arjuna Wiwaha. Begitupun saat para raja -di pewayangan- paripurna dari tugasnya, mereka akan memilih menyepi di gunung untuk berpasrah dan bertapa hingga ajal menjemput.
Wajar kemudian jika konsep tersebut masih dianut hingga kini, gunung menjadi tempat pemakaman penguasa Jawa. Imogiri misalnya menjadi kompleks pemakaman raja-raja Mataram, serta Giribangun sebagai peristirahatan mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Gunung adalah dataran tinggi yang seolah mampu memangkas jarak antara langit tempat dewa –tuhan- bernanung dengan dunia sebagai tempat hidup manusia. Masyarakat membuat gunung rekaan dengan menghadirkan tumpeng sebagai modal. Kala Islam masuk ke Jawa, tradisi tumpengan masih dipertahankan dalam acara kenduri selametan. Sebelum tumpeng dikeluarkan, terlebih dahulu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Hal ini menarasikan jejak sejarah Islam di Jawa yang mampu luruh dengan budaya asal tanpa ada usaha untuk merusak dan “mengharamkannya”.
Terdapat aturan tak tertulis yang menganjurkan pucuk tumpeng agar diberikan pada orang yang dianggap penting, terhormat, pemimpin, atau paling dituakan. Hal ini bertujuan untuk menghargai dan menunjukkan rasa hormat pada mereka yang dianggap spesial. Setelahnya, tumpeng dimakan bersama dalam suasana guyup dan lebih cair. Tumpeng mengobati kerinduan akan makanan lokal yang selama ini semakin tertepikan oleh menu-menu baru yang memanjakan mulut. Tumpeng menjadi pilar yang menyangga kebudayaan Jawa agar tetap berdetak. Di pesta Maulud Nabi, tumpeng menjelma sebagai “gunungan” yang bentuknya raksasa. Terdapat dua tumpeng inti¸ lanang dan wadon. Tumpeng itu berisi sayur hasil bumi yang dilegalkan atas nama kuasa Keraton sebagai pusat mikrokosmis kehidupan budaya Jawa. Sayur hasil bumi laksana jimat keramat, dianggap membawa petuah. Gunungan itu diarak, dipertontonkan, kemudian menjadi ajang kontestasi untuk diperebutkan. Jika dimakan mampu menyembuhkan dari segala penyakit, di buang kesawah akan menyuburkan tanaman dan panen melimpah, sementara jika diselipkan di lapak pasar akan meningkatkan pemasukan dagang.


Mitos
Ahimsa Putra (2006) memandang mitos sebagai penggerak laku hidup masyarakat di Nusantara, termasuk Jawa. Mereka hidup berbekal mitos yang diyakini akan kebenarannya. Sebaliknya akan ada bencana atau tragedi jika peristiwa berbekal mitos tak dilaksanakan atau dihiraukan. Tumpeng adalah salah satunya. Beberapa masyarakat Jawa masih meyakini tumpeng sebagai peninggalan adat yang tak boleh hilang. Tumpeng adalah ruang yang menyadarkan manusia tentang siapa dan darimana ia berasal. Lebih dari itu, tumpeng juga menjadi jembatan yang menghubungkan manusia Jawa dengan masa depan –imajinasi- dan akar sejarahnya –memori-. Dengan menghadirkan tumpeng, berarti meneruskan jejak peradaban sebagai manusia Jawa. Di sisi lain meenggurat angan dan harapan, kesungguhan diri dalam menggapai cita-cita masa depan dengan lebih baik.
Tumpeng bukanlah semata ritual makan, namun syarat bagi bertemunya pelbagai elemen kehiduapan. Antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhannya. Tumpeng mengharuskan manusia bertemu dengan sesama manusia yang selama ini disibukkan oleh rutinitas kerja dan mengikis individualisme. Tumpeng juga mengharuskan manusia menghargai alam –sayur dan makanan- yang selama ini memberi bekal untuk berlangsungnya kehidupan. Tumpeng juga mengharuskan manusia untuk bersyukur kepada tuhannya atas segala limpahan karunia hidup. Dengan demikian, tumpeng adalah alat ukur objektif dalam melihat dinamikan kebudayaan pada masyarakat Jawa. Selama ia masih ada dan dihadirkan berarti Jawa masih memegang erat “kejawaannya”.
Kehadiran tumpeng menjadi penanda penting sebuah ritus. Masyarakat akar rumput masih begitu lekat meyakini arti penting kehadirannya. Segala persoalan tentang kehidupan dapat diselesaikan dengan medium tumpeng. Namun sayang, budaya tumpeng semakin jarang dijumpai dalam konteks masyarakat abad XXI yang konon lebih berbudaya kota –modern-. Mereka lebih khusyuk menyajikan kue tart saat ulang tahun dari pada tumpeng. Anak-anak lebih suka makan cepat saji digedung berpendingin ruangan dari pada hasil bumi kearifan lokal. Tumpeng kemudian hanya sebatas seremonial semata. Dihadirkan sebagai pelengkap, bukan narasai utama. Tumpeng semakin kehilangan makna. Genersi masa kini tak mampu melacak filosofi tentang gunung di Jawa. Seolah tak qatam dalam mengkaji jejak sejarah manusia Jawa. Alpa dalam menelisik jati diri akan siapa kita.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut