Tumpeng di Jawa
Perayaan Imlek di Kota Solo bulan kemarin berlangsung unik dengan melangsungkan Grebeg
Sudiro. Di perayaan etnis Tionghoa tersebut terdapat tumpeng atau gunungan yang
diarak kemudian diperebutkan oleh masyarakat setempat. Hal ini mengingatkan
kita tentang tradisi Sekatenan saat Grebeg Muludan. Tumpeng kemudian tak hanya
berisi makanan hasil bumi, namun berubah menjadi benda keramat pembawa berkah. Kehadirannya
menerobos sekat lintas batas, ujud akulturatif yang tak hanya dimiliki oleh
manusia Jawa, namun segala lapisan masyarakat tak terkecuali etnis Tionghoa di
Solo. Tumpeng menyatukan dua etis yang berbeda (Jawa-Tionghoa). Kisah tumpeng diperayaan
Imlek tersebut menjadi penting untuk senantiasa didengungkan demi mengikis
konflik-konflik yang berbau rasial di Indonesia. Jejak sejarah menarasikan tumpeng
sebagai ungkapan ujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Tumpeng
mempertemukan satu manusia dengan yang lain untuk bersosialiasasi, berbagi dan
berkomunikasi. Tumpeng mengisahkan detak hidup kebudayaan manusia Jawa.
Gunung
Tumpeng merupakan cara penyajian nasi
–kuning atau uduk- beserta lauk-pauknya berbentuk kerucut menyerupai gunung,
karenanya disebut juga dengan “Gunungan” –dalam perayaan sekaten-. Bagi
masyarakat Jawa, nasi tumpeng dihadirkan saat kenduri atau perayaan sebuah
peristiwa penting. Tradisi tumpengan tetap bertahan hingga detik ini. Zaman
boleh saja melaju pesat, namun tumpeng masih berusaha menemani masyarakat Jawa
untuk menelisik jejak habitus akar tradisinya. Karena itu, tumpeng berisi
tentang apapun yang diolah dan didapatkan dari hasil kebudayaan –kearifan- lokal.
Dalam tumpeng itu berisi timbunan imajinasi, cita-cita dan harapan tentang
hidup idaman. Masyarakat akar rumput membuat tumpeng tidak sekedar untuk
dimakan bersama. Namun menjadi katalisator dalam komunikasi sosial. Di area
tumpeng itu pelbagai hal diobrolkan, dari masalah pengairan –irigasi- sawah
hingga persoalan politik dan laku hidup yang membelit masyarakat desa.
Bercengkrama untuk saling bertukar pikiran, memecahkan persoalan dan bahkan
menjalin kesepakatan tertentu terkait dengan pertanian dan pembangunan desa.
Tumpeng mempertautkan satu dengan yang lain.
Tumpeng berasal dari tradisi purbawi, di
mana masyarakat Jawa masih meyakini Gunung (Giri: Jawa) sebagai tempat
bersemayamnya arwah atau roh para leluhur. Banyak ritual yang diberlangsungkan
di area gunung. Mulai dari meminta keselamatan hidup dengan menyajikan pelbagai
sesaji, semerbak harum dupa, pekatnya kemenyan dan warna-wani bunga tujuh rupa
hingga laku berserah diri seperti bertapa dan menyepi. Dalam epos Mahabarata,
dikisahkan bagaimana gunung memegang peranan kunci yang menghubungkan manusia
dengan para dewa. Arjuna harus bertapa digunung Indrakila untuk mendapatkan
anugerah berupa panah Pasopati dalam lakon Arjuna
Wiwaha. Begitupun saat para raja -di pewayangan- paripurna dari tugasnya,
mereka akan memilih menyepi di gunung untuk berpasrah dan bertapa hingga ajal
menjemput.
Wajar kemudian jika konsep tersebut
masih dianut hingga kini, gunung menjadi tempat pemakaman penguasa Jawa.
Imogiri misalnya menjadi kompleks pemakaman raja-raja Mataram, serta Giribangun
sebagai peristirahatan mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Gunung adalah
dataran tinggi yang seolah mampu memangkas jarak antara langit tempat dewa
–tuhan- bernanung dengan dunia sebagai tempat hidup manusia. Masyarakat membuat
gunung rekaan dengan menghadirkan tumpeng sebagai modal. Kala Islam masuk ke
Jawa, tradisi tumpengan masih dipertahankan dalam acara kenduri selametan.
Sebelum tumpeng dikeluarkan, terlebih dahulu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran.
Hal ini menarasikan jejak sejarah Islam di Jawa yang mampu luruh dengan budaya
asal tanpa ada usaha untuk merusak dan “mengharamkannya”.
Terdapat aturan tak tertulis yang
menganjurkan pucuk tumpeng agar diberikan pada orang yang dianggap penting, terhormat,
pemimpin, atau paling dituakan. Hal ini bertujuan untuk menghargai dan
menunjukkan rasa hormat pada mereka yang dianggap spesial. Setelahnya, tumpeng
dimakan bersama dalam suasana guyup dan lebih cair. Tumpeng mengobati kerinduan
akan makanan lokal yang selama ini semakin tertepikan oleh menu-menu baru yang
memanjakan mulut. Tumpeng menjadi pilar yang menyangga kebudayaan Jawa agar
tetap berdetak. Di pesta Maulud Nabi, tumpeng menjelma sebagai “gunungan” yang
bentuknya raksasa. Terdapat dua tumpeng inti¸ lanang dan wadon. Tumpeng
itu berisi sayur hasil bumi yang dilegalkan atas nama kuasa Keraton sebagai pusat
mikrokosmis kehidupan budaya Jawa. Sayur hasil bumi laksana jimat keramat, dianggap
membawa petuah. Gunungan itu diarak, dipertontonkan, kemudian menjadi ajang
kontestasi untuk diperebutkan. Jika dimakan mampu menyembuhkan dari segala
penyakit, di buang kesawah akan menyuburkan tanaman dan panen melimpah,
sementara jika diselipkan di lapak pasar akan meningkatkan pemasukan dagang.
Mitos
Ahimsa Putra (2006) memandang mitos
sebagai penggerak laku hidup masyarakat di Nusantara, termasuk Jawa. Mereka
hidup berbekal mitos yang diyakini akan kebenarannya. Sebaliknya akan ada
bencana atau tragedi jika peristiwa berbekal mitos tak dilaksanakan atau
dihiraukan. Tumpeng adalah salah satunya. Beberapa masyarakat Jawa masih
meyakini tumpeng sebagai peninggalan adat yang tak boleh hilang. Tumpeng adalah
ruang yang menyadarkan manusia tentang siapa dan darimana ia berasal. Lebih
dari itu, tumpeng juga menjadi jembatan yang menghubungkan manusia Jawa dengan
masa depan –imajinasi- dan akar sejarahnya –memori-. Dengan menghadirkan
tumpeng, berarti meneruskan jejak peradaban sebagai manusia Jawa. Di sisi lain
meenggurat angan dan harapan, kesungguhan diri dalam menggapai cita-cita masa
depan dengan lebih baik.
Tumpeng bukanlah semata ritual makan,
namun syarat bagi bertemunya pelbagai elemen kehiduapan. Antara manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhannya. Tumpeng mengharuskan manusia bertemu dengan sesama
manusia yang selama ini disibukkan oleh rutinitas kerja dan mengikis
individualisme. Tumpeng juga mengharuskan manusia menghargai alam –sayur dan
makanan- yang selama ini memberi bekal untuk berlangsungnya kehidupan. Tumpeng
juga mengharuskan manusia untuk bersyukur kepada tuhannya atas segala limpahan
karunia hidup. Dengan demikian, tumpeng adalah alat ukur objektif dalam melihat
dinamikan kebudayaan pada masyarakat Jawa. Selama ia masih ada dan dihadirkan
berarti Jawa masih memegang erat “kejawaannya”.
Kehadiran tumpeng menjadi penanda
penting sebuah ritus. Masyarakat akar rumput masih begitu lekat meyakini arti
penting kehadirannya. Segala persoalan tentang kehidupan dapat diselesaikan
dengan medium tumpeng. Namun sayang, budaya tumpeng semakin jarang dijumpai
dalam konteks masyarakat abad XXI yang konon lebih berbudaya kota –modern-.
Mereka lebih khusyuk menyajikan kue tart saat ulang tahun dari pada tumpeng.
Anak-anak lebih suka makan cepat saji digedung berpendingin ruangan dari pada
hasil bumi kearifan lokal. Tumpeng kemudian hanya sebatas seremonial semata.
Dihadirkan sebagai pelengkap, bukan narasai utama. Tumpeng semakin kehilangan
makna. Genersi masa kini tak mampu melacak filosofi tentang gunung di Jawa. Seolah
tak qatam dalam mengkaji jejak sejarah manusia Jawa. Alpa dalam menelisik jati
diri akan siapa kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar