Kebun (Budaya)
Binatang
Kebun Binatang Surabaya (KBS) akhir-akhir
ini menjadi sorotan karena kematian sejumlah hewan koleksinya. Keberadaan hewan
di kebun binatang tersebut semakin terancam –punah- akibat ulah manusia.
Kehadiran kebun binatang harusnya sebagai sarana kebertahanan hidup satwa, tak
semata sebagai wahana hiburan, tontonan, tempat rekreasi dan bisnis pariwisata pelancongan.
Hewan-hewan kemudian seolah menjadi pajangan semata, “makhluk aneh” yang setiap
saat dikagumi. Ironi muncul ketika kebun binatang tak lagi menjadi rumah yang
nyaman bagi binatang. Sakit dan mati menjadi pemandangan yang biasa. Padahal
keberadaan kebun binatang yang rindang dan sejuk dewasa ini dianggap penting
sebagai oase yang memberi kesejukan di tengah gersang dan panasnya kota.
Jejak
Kita mengenal kebun binatang dengan
singkatan “bonbin” merupakan tempat (semacam hutan) buatan yang diperuntukkan
bagi “rumah” hewan. Lecky (1869) dan Wilfred (1976) mengisahkan awal mula kebun
binatang yang tak dapat dipisahkan dari pengaruh besar seorang raja. Pada abad
ke-II raja Wen dari Zhou China membangun kebun binatang Ling-Yu dengan luas 600 hektar. Terdapat pula Raja Semirami dari
Assyria dan Raja Nebukadnezar dari Babilonia. Semua membangun kebun binatang
untuk melampiaskan kerinduannya pada hewan-hewan antik kesayangan. Bahkan pada
abad ke-IV hampir semua kota-kota besar di Yunani mempunyai kebun binatang.
Para raja dan kasiar memiliki koleksi hewan pribadi yang didapat dari hasil
perburuan dan penaklukan kerajaan lain. Hewan-hewan itu bukan semata dianggap
sebagai sebuah “makhluk”. Namun “simbol” dfan “tanda” dari legitimasi kekuatan
seorang raja dan bangsanya. Hewan mampu mengisahkan superioritas manusia dan
negara. Surabaya misalnya, mengkultuskan dirinya dengan simbol buaya dan ikan
hiu. Lihat pula Singapura dengan Singanya, raja dari segala hewan. Atau densus
(88) anti teror yang berlambangkan Burung Hantu. Serta Papua dengan
Cendrawasihnya. Bahkan simbol negara kita adalah burung Garuda.
Kita menyakini bahwa hewan membawa peruntungan
tersendiri. Kitapun mafhum untuk memperlakukan hewan dengan baik. Raja dan
penguasa zaman dahulu menyadari akan hal ini, banyak hewan dipuja dan
dikeramatkan. Lihatlah Kebo Bule (albino)
di keraton Surakarta, Sapi dan Monyet di India, Gajah di Thailand atau Kucing
di Mesir. Bahkan kisah-kisah para nabi erat bersentuhan dengan hewan. Keunikan
hewan membawa pikat bagi manusia untuk menjadikannya benda koleksi. Kebun
binatang kemudian menjadi etalase besar yang berisi hewan langka dan unik. Mereka
dikurung dan dipamerkan kepada publik. Indonesia bergerak menuju negara
pengoleksi hewan. Kebun binatang bertaburan di pelosok kota. Jakarta memulai
mengesahkan dibukanya kebun binatang untuk pertama kalinya pada tahun 1864
dengan nama Taman Marga Satwa Ragunan di Cikini oleh Batavia. Kemudian diikuti
oleh kota-kota lain di Indonesia. Hewan-hewan tak hanya berwarna lokal atau
pribumi, namun diimpor dari pelbagai negara. Mata manusia Indonesia termanjakan,
mampu melihat hewan yang selama ini hanya berada dalam kisah dongeng dan mitos.
Surabaya menjadi kota yang enggan
tertinggal. Di kota metropolis itu juga dibangun kebun binatang pada tahun 1916
dengan nama Soerabaiasche Planten-en
Dierentuin. Para pendiri dan pengurusnya adalah orang Belanda. Berdasar
situs resmi pemerintah kota Surabaya (www.surabaya.go.id) menjelaskan bahwa
lokasi KBS pertama kali di Kaliondo, kemudian tanggal 28 September 1917 pindah
ke jalan Groedo. Atas jasa Oost-Java
Stoomtram Maatschppij (maskapai kereta api) pada tahun 1920 pindah ke
daerah Darmo. Pada bulan April 1918 KBS dibuka dengan menarik biaya masuk (tiket)
bagi pengunjung. Dalam jejak sejarahnya, KBS pernah menjadi kebun binatang
dengan koleksi terlengkap se-Asia Tenggara, lebih dari 2.806 hewan yang terdiri
dari 351 spesies satwa. Kejayaan tersebut menjadikan KBS ramai dikunjungi oleh para
turis dari luar kota Surabaya. KBS menyulap dirinya sebagai “surga binatang”
yang memanjakan para pengunjung. Tak sekadar dipajang untuk dilihat, namun
pelbagai atraksi hewan juga dipertontonkan, mulai dari ular, gajah hingga
akrobatik burung, singa dan macan.
KBS memberi nuansa baru bagi Surabaya di
balik gemerlapnya kota, kemacetan, bising dan rentetan gedung menjulang. Letaknya
di tengah kota yang dihuni dengan lebatnya pepohonan memberi asupan oksigen,
mengikis debu dan polusi. KBS adalah magnet Surabaya. Misi yang diembannya tak sekadar
sebagai sarana rekreasi, namun juga pelestarian, perlindungan, pendidikan dan
penelitian. KBS menjadi “laboratorium kreatif” untuk melihat pernak-pernik seputar
hewan. Darinya pelbagai gagasan besar terkait kelangsungan dan kelestarian
hidup hewan harusnya dapat digurat. Namun sayang, misi itu tak berjalan dengan
baik. Satu demi satu hewan koleksi tumbang dan tak jelas sebab musababnya.
Terlebih dualisme kepemilikan KBS menjadikan hidup hewan hanya sebatas objek
untuk diperebutkan. Hewan-hewan itu bukan lagi subjek yang selayaknya
diperlakukan dengan arif. KBS bergerak menjadi “kuburan masal” hewan. Sementara
pihak-pihak terkait justru terkesan lepas tangan dan enggan bertanggung jawab.
Bahkan muncul curiga, KBS akan berubah mal dan gedung bertingkat. Lokasinya
yang setrategis menjadikannya “lahan empuk” investasi masa depan oleh para
cukong dan pengusaha penuh pamrih.
Dilematis
Kebun Binatang bukanlah penjara bagi
hewan. Darinya bukan sekadar bisnis pariwisata dengan berfoto ria di depan
hewan yang sedang lara. Namun menuntut kuasa moral untuk memperhatikan dan
mengurusnya dengan bijak. Detak peradaban tak hanya ditentukan oleh seberapa
maju perekonomian sebuah kota. Namun juga sikap menghargai dan melestarikan
adab budaya. Bagaimanapun juga KBS telah memberi sumbangan besar bagi Surabaya
untuk berproses menjadi lebih dewasa sebagai sebuah kota. Membicarakan KBS
berarti “cendela” untuk melihat prilaku kota. Matinya hewan koleksi menunjukkan
sikap arogansi yang tak lagi berpegang pada sisi kemanusiaan dan tanggangungjawab
moral. Oleh karena itu, kebun binatang dewasa ini tak lebih dari perangkap
untuk membunuh hewan secara perlahan. Manusia tak qatam mengkaji hewan sebagai
sesama makhluk penghuni bumi. Mereka alpa dalam menelisik sejarah bahwa hewan
mempresentasikan kekuatan.
Kisah raja dan kuasa negara di masa lalu
mengajarkan arti penting menghargai hewan. Membekukannya sebagai sebuah simbol
seolah ingin berpesan agar merawat dan menghargai hewan. Kisah KBS menjadi
satir, bahwa sejatinya kita telah menyiksa dan memperlakukan hewan dengan tidak
adil. Jika memang kebun binatang tak
lagi mampu menjadi hunian yang layak bagi hewan, bukankah lebih baik jika
hewan-hewan itu mati di tanah asalnya, hutan. Lebih ironis lagi saat melihat
hutan-hutan kini juga telah merana, gundul dan gersang. Kita dihadapkan dengan pilihan
yang menyakitkan, merawat hewan-hewan itu tak mampu, mengembalikannyapun tak rela
dan tega.
Peristiwa KBS menjadi nukilan dari
kisah-kisah hewan di masa kini, tak menemukan ruang hidup. Kita hanya memandang
mereka dalam kebekuan sebuah simbol untuk senantiasa dipuja dan diagungkan,
tanpa mampu merealisasikannya. Tentu kita masih ingat kisah Hanoman si moyet dalam
lakon Ramayana itu. Ia sejatinya adalah hewan yang cerdas dan sakti. Cerdas
laksana manusia, ujud monyet representasi dari alam, kekuatan sakti laksana
dewata. Berdiamnya tiga unsur kehidupan, “manusia-alam-tuhan”. Epos itu
mengajarkan bahwa menyiksa hewan tak ubahnya menyiksa manusia, terlebih tuhan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar