Kebun (Budaya) Binatang (dimuat di Kompas edisi 15 Februari 2014)



Kebun (Budaya) Binatang


Kebun Binatang Surabaya (KBS) akhir-akhir ini menjadi sorotan karena kematian sejumlah hewan koleksinya. Keberadaan hewan di kebun binatang tersebut semakin terancam –punah- akibat ulah manusia. Kehadiran kebun binatang harusnya sebagai sarana kebertahanan hidup satwa, tak semata sebagai wahana hiburan, tontonan, tempat rekreasi dan bisnis pariwisata pelancongan. Hewan-hewan kemudian seolah menjadi pajangan semata, “makhluk aneh” yang setiap saat dikagumi. Ironi muncul ketika kebun binatang tak lagi menjadi rumah yang nyaman bagi binatang. Sakit dan mati menjadi pemandangan yang biasa. Padahal keberadaan kebun binatang yang rindang dan sejuk dewasa ini dianggap penting sebagai oase yang memberi kesejukan di tengah gersang dan panasnya kota.

Jejak
Kita mengenal kebun binatang dengan singkatan “bonbin” merupakan tempat (semacam hutan) buatan yang diperuntukkan bagi “rumah” hewan. Lecky (1869) dan Wilfred (1976) mengisahkan awal mula kebun binatang yang tak dapat dipisahkan dari pengaruh besar seorang raja. Pada abad ke-II raja Wen dari Zhou China membangun kebun binatang Ling-Yu dengan luas 600 hektar. Terdapat pula Raja Semirami dari Assyria dan Raja Nebukadnezar dari Babilonia. Semua membangun kebun binatang untuk melampiaskan kerinduannya pada hewan-hewan antik kesayangan. Bahkan pada abad ke-IV hampir semua kota-kota besar di Yunani mempunyai kebun binatang. Para raja dan kasiar memiliki koleksi hewan pribadi yang didapat dari hasil perburuan dan penaklukan kerajaan lain. Hewan-hewan itu bukan semata dianggap sebagai sebuah “makhluk”. Namun “simbol” dfan “tanda” dari legitimasi kekuatan seorang raja dan bangsanya. Hewan mampu mengisahkan superioritas manusia dan negara. Surabaya misalnya, mengkultuskan dirinya dengan simbol buaya dan ikan hiu. Lihat pula Singapura dengan Singanya, raja dari segala hewan. Atau densus (88) anti teror yang berlambangkan Burung Hantu. Serta Papua dengan Cendrawasihnya. Bahkan simbol negara kita adalah burung Garuda.
Kita menyakini bahwa hewan membawa peruntungan tersendiri. Kitapun mafhum untuk memperlakukan hewan dengan baik. Raja dan penguasa zaman dahulu menyadari akan hal ini, banyak hewan dipuja dan dikeramatkan. Lihatlah Kebo Bule (albino) di keraton Surakarta, Sapi dan Monyet di India, Gajah di Thailand atau Kucing di Mesir. Bahkan kisah-kisah para nabi erat bersentuhan dengan hewan. Keunikan hewan membawa pikat bagi manusia untuk menjadikannya benda koleksi. Kebun binatang kemudian menjadi etalase besar yang berisi hewan langka dan unik. Mereka dikurung dan dipamerkan kepada publik. Indonesia bergerak menuju negara pengoleksi hewan. Kebun binatang bertaburan di pelosok kota. Jakarta memulai mengesahkan dibukanya kebun binatang untuk pertama kalinya pada tahun 1864 dengan nama Taman Marga Satwa Ragunan di Cikini oleh Batavia. Kemudian diikuti oleh kota-kota lain di Indonesia. Hewan-hewan tak hanya berwarna lokal atau pribumi, namun diimpor dari pelbagai negara. Mata manusia Indonesia termanjakan, mampu melihat hewan yang selama ini hanya berada dalam kisah dongeng dan mitos.
Surabaya menjadi kota yang enggan tertinggal. Di kota metropolis itu juga dibangun kebun binatang pada tahun 1916 dengan nama Soerabaiasche Planten-en Dierentuin. Para pendiri dan pengurusnya adalah orang Belanda. Berdasar situs resmi pemerintah kota Surabaya (www.surabaya.go.id) menjelaskan bahwa lokasi KBS pertama kali di Kaliondo, kemudian tanggal 28 September 1917 pindah ke jalan Groedo. Atas jasa Oost-Java Stoomtram Maatschppij (maskapai kereta api) pada tahun 1920 pindah ke daerah Darmo. Pada bulan April 1918 KBS dibuka dengan menarik biaya masuk (tiket) bagi pengunjung. Dalam jejak sejarahnya, KBS pernah menjadi kebun binatang dengan koleksi terlengkap se-Asia Tenggara, lebih dari 2.806 hewan yang terdiri dari 351 spesies satwa. Kejayaan tersebut menjadikan KBS ramai dikunjungi oleh para turis dari luar kota Surabaya. KBS menyulap dirinya sebagai “surga binatang” yang memanjakan para pengunjung. Tak sekadar dipajang untuk dilihat, namun pelbagai atraksi hewan juga dipertontonkan, mulai dari ular, gajah hingga akrobatik burung, singa dan macan.
KBS memberi nuansa baru bagi Surabaya di balik gemerlapnya kota, kemacetan, bising dan rentetan gedung menjulang. Letaknya di tengah kota yang dihuni dengan lebatnya pepohonan memberi asupan oksigen, mengikis debu dan polusi. KBS adalah magnet Surabaya. Misi yang diembannya tak sekadar sebagai sarana rekreasi, namun juga pelestarian, perlindungan, pendidikan dan penelitian. KBS menjadi “laboratorium kreatif” untuk melihat pernak-pernik seputar hewan. Darinya pelbagai gagasan besar terkait kelangsungan dan kelestarian hidup hewan harusnya dapat digurat. Namun sayang, misi itu tak berjalan dengan baik. Satu demi satu hewan koleksi tumbang dan tak jelas sebab musababnya. Terlebih dualisme kepemilikan KBS menjadikan hidup hewan hanya sebatas objek untuk diperebutkan. Hewan-hewan itu bukan lagi subjek yang selayaknya diperlakukan dengan arif. KBS bergerak menjadi “kuburan masal” hewan. Sementara pihak-pihak terkait justru terkesan lepas tangan dan enggan bertanggung jawab. Bahkan muncul curiga, KBS akan berubah mal dan gedung bertingkat. Lokasinya yang setrategis menjadikannya “lahan empuk” investasi masa depan oleh para cukong dan pengusaha penuh pamrih.


Dilematis
Kebun Binatang bukanlah penjara bagi hewan. Darinya bukan sekadar bisnis pariwisata dengan berfoto ria di depan hewan yang sedang lara. Namun menuntut kuasa moral untuk memperhatikan dan mengurusnya dengan bijak. Detak peradaban tak hanya ditentukan oleh seberapa maju perekonomian sebuah kota. Namun juga sikap menghargai dan melestarikan adab budaya. Bagaimanapun juga KBS telah memberi sumbangan besar bagi Surabaya untuk berproses menjadi lebih dewasa sebagai sebuah kota. Membicarakan KBS berarti “cendela” untuk melihat prilaku kota. Matinya hewan koleksi menunjukkan sikap arogansi yang tak lagi berpegang pada sisi kemanusiaan dan tanggangungjawab moral. Oleh karena itu, kebun binatang dewasa ini tak lebih dari perangkap untuk membunuh hewan secara perlahan. Manusia tak qatam mengkaji hewan sebagai sesama makhluk penghuni bumi. Mereka alpa dalam menelisik sejarah bahwa hewan mempresentasikan kekuatan.
Kisah raja dan kuasa negara di masa lalu mengajarkan arti penting menghargai hewan. Membekukannya sebagai sebuah simbol seolah ingin berpesan agar merawat dan menghargai hewan. Kisah KBS menjadi satir, bahwa sejatinya kita telah menyiksa dan memperlakukan hewan dengan tidak adil.  Jika memang kebun binatang tak lagi mampu menjadi hunian yang layak bagi hewan, bukankah lebih baik jika hewan-hewan itu mati di tanah asalnya, hutan. Lebih ironis lagi saat melihat hutan-hutan kini juga telah merana, gundul dan gersang. Kita dihadapkan dengan pilihan yang menyakitkan, merawat hewan-hewan itu tak mampu, mengembalikannyapun tak rela dan tega.
Peristiwa KBS menjadi nukilan dari kisah-kisah hewan di masa kini, tak menemukan ruang hidup. Kita hanya memandang mereka dalam kebekuan sebuah simbol untuk senantiasa dipuja dan diagungkan, tanpa mampu merealisasikannya. Tentu kita masih ingat kisah Hanoman si moyet dalam lakon Ramayana itu. Ia sejatinya adalah hewan yang cerdas dan sakti. Cerdas laksana manusia, ujud monyet representasi dari alam, kekuatan sakti laksana dewata. Berdiamnya tiga unsur kehidupan, “manusia-alam-tuhan”. Epos itu mengajarkan bahwa menyiksa hewan tak ubahnya menyiksa manusia, terlebih tuhan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut