Kelud, Kisah Tentang Peradaban
Gunung Kelud telah membuncahkan pasir
dan batu. Lagit gelap dan jalan penuh debu. Bagi masyarakat Jawa, meletusnya
gunung berapi tersebut tidaklah sekadar peristiwa alam yang alamiah. Namun
berkait erat dengan ranah pemikiran lokal (local wisdom) penduduk setempat yang masih menyakini
bahwa gunung kelud sedang nduwe gawe
atau menggelar hajat agung. Pemikiran transenden atau nir nalar yang ditujukan
pada kehadiran gunung telah bertahan selama ribuan tahun. Masyarakat Jawa mempercayai
gunung sebagai pusat kosmis-mistis, dianggap mampu menghubungkan atau
mendekatkan diri dengan para dewa dan arwah leluhur mereka. Tak mengherankan
kemudian jika di hampir semua gunung di Jawa memiliki tempat, bangunan, bahkan
peninggalan suci yang dikeramatkan. Pelbagai pemujaan diberlangsungkan. Sesaji
menjadi syarat wajib. Bunga dan dupa serta kemenyan tak boleh ditiadakan.
Segala persembahan itu adalah wujud “negosiasi” manusia dengan gunung atau alam
untuk saling menjaga harmonisasi kehidupan. Karenanya, saat gunung itu meletus kerangka
pemilikian logis-akademis kadang tak serta merta dapat begitu saja diterima. Lebih
dari itu, pelbagai mitos juga menyelimuti kehadiran gunung berapi di Jawa, begitu
juga dengan Gunung Kelud. Masyarakat setempat mengenal Kelud sebagai sebagai simbol
dari kisah cinta tak sampai.
Mitos
Suara gemuruh dari letusan Kelud adalah
ujud raungan dari Lembu Sura karena cintanya yang telah dihianati oleh Dewi
Kalisuci. Konon, Prabu Jenggala Manik yang memerintah Kerajaan Kadiri (versi
lain menyebutkan Brawijaya -Majapahit-) hendak mencari menantu untuk putri
kesayangannya yang bernama Dewi Kalisuci. Banyak raja dan pangeran datang melamar.
Hal ini membuat binggung Jenggala Manik dalam memilih salah satu di antara
pelamar. Sayembarapun digelar, barang siapa yang berhasil merentang busur sakti
Kyai Garudayeksa dan mengangkat Gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak
mempersunting putri dari Jenggala Manik yang berparas cantik dan molek itu. Ironisnya,
tak ada satupun raja dan para pangeran yang berhasil melaksanakan tugas itu.
Sebelum perlombaan ditutup, tiba-tiba datanglah Lembu Sura, si manusia berwajah
lembu. Ia dengan mudahnya merentang busur dan mengangkat gong keramat yang
diperlombakan.
Namun Kalisuci merasa jijik jika
memiliki suami yang berwajah hewan. Ia pun mengajukan syarat tambahan agar
Lembu Sura membuat sumur di puncak Gunung Kelud dalam waktu semalam. Tanpa
pikir panjang, Lembu Suro mulai menggali dengan kedua tanduknya. Sang putri
mulai khawatir jika tugas itu mampu diselesaikan sebelum fajar datang.
Akhirnya, ia dan ayahnya memerintahkan prajurit di kerajaan untuk menimbun
Lembu Sura yang sedang menggali sampai dasar gunung. Batu dan tanah dijatuhkan
dari atas sumur. Dalam sekejap, Lembu Sura telah terkubur. Putri dan ayahnya
senang bukan kepalang. Namun tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari dalam
gunung. Bunyi itu tak lain adalah suara dari Lembu Sura yang mengutuk Dewi
Kalisuci dan kerajaannya, nisacaya akan hancur oleh muntahan lahar dan abu
Gunung Kelud. Masyarakat Kediri (khususnya Desa Sugih Waras) meyakini kebenaran
mitos ini, dan berusaha menjaga agar Lembu Sura tidak marah. Mereka membuat
ritual yang biasa dinamakan dengan Larung Sesaji di lereng Gunung Kelud setiap
tanggal 23 Suro.
Kisah Lembu Sura seolah menjadi
kenyataan kala menelisik bekas peninggalan Kerajaan Kadiri berupa candi dan
tempat peribadatan yang terkubur oleh muntahan lahar dan abu Gunung Kelud.
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bersama Universitas Gadjah Mada
pada 1987 menyimpulkan, Kerajaan Kadiri (Panjalu) sering terganggu oleh letusan
Gunung Kelud. Beberapa situs kerajaanpun terendam lahar dan pasir Kelud, di
anataranya Lirboyo, Botolengket, Totok Kerot, Sebanen, dan Semen. Hujan abu,
lahar dan kerikil juga menyebabkan banyak manusia yang terbunuh. Guna
menghindari amuk Kelud, raja Kadiri lantas memerintahkan untuk dibangunnya
Candi Penataran, sebagai sarana pemujaan pada dewa gunung (Acalapati). Kelud menjadi
inspirasi bagi manusia Jawa untuk tak sekadar memandang gunung sebagai tumpukan
tanah dan batu. Namun makhluk yang harus dirawat, dilindungi bahkan dipuja.
Kelud -dan gunung lain di Jawa- adalah tempat
yang suci dan sakral bagi manusia untuk kontemplasi, bertapa mengharap wahyu
dan berserah diri. Pemikiran mistis-religius terhadap gunung menjadikan manusia
Jawa membuat “gunung rekaan” berujud tumpeng atau gunungan. Tumpeng adalah tumpukan
nasi dan sayur hasil bumi yang ditata menyerupai gunung (mengerucut). Ia adalah
ujud penghormatan orang Jawa terhadap gunung berapi. Dalam kisah-kisah pewayangan,
gunung menjadi tempat para kesatria mendapatkan wahyu berupa ilmu kanuragan dan
senjata sakti. Lihatlah Arjuna yang mendapat panah Pasopati di Gunung Indrakila
–lakon Arjuna Wiwaha-. Gunung adalah tempat para raja menyepi dan berserah diri
kala paripurna dari tugasnya memimpin kerajaan. Bahkan makam raja dan penguasa
Jawa senantiasa berlokasi di Gunung (Giri: Jawa). Lihatkan pemakaman keluarga
Presiden Soeharto di Giribangun dan raja-raja Mataram di Imogiri. Dalam kisah
wayang kulit, pertunjukan senantiasa dibuka dan ditutup dengan kehadiran
“Gunungan”. Di balik gunungan wayang itu berlukiskan air dan api. Menjelaskan
gunung adalah pusat kelahiran (sumber air) namun juga pusat kematian (sumber
api). Gunung menjadi lambang dari awal dan akhir sebuah kehidupan.
Muntah
Sesaji dan persembahan untuk gunung
bukan berarti manusia telah menyembah gunung. Ritual di gunung membawa pesan
bahwa penghormatan untuk gunung mutlak diperlukan. Penghormatan itu tak lain
adalah dengan merawat, tak menebang hutan dan kayu di lerengnya. Letusan Kelud
kemudian tak harus dimaknai sebagai sebuah musibah. Namun ujud rotasi kehidupan
yang memberi babak baru dalam bentuk kesuburan bumi. Semburan lahar dan debu
ibarat jamu, pahit di awal namun manis di akhir. Sesudahnya, tanah menjadi lebih
gembur, udara menjadi lebih bersih dan langit menjadi lebih biru. Karena itu,
letusan Kelud adalah pesta alam yang patut untuk dirayakan. Hal ini juga
mengilhami masyarakat di Magelang
-Jawa Tengah- yang mendiami lereng-lereng gunung (Merapi, Merbabu, Andong,
Sumbing, dan Pegunungan Menoreh) mengekspresikan kegairahan mereka tentang
gunung lewat seni dalam sebuah festival tahunan yang dinamakan Festival Lima
Gunung. Kelud menjadi salah satu dari rangkaian cincin gunung berapi (ring of
fire) di Jawa. Berusaha menarasikan
bahwa “kehidupan kita adalah kehidupan gunung”. Acuh terhadap gunung berarti
acuh terhadap kehidupan.
Nukilan tentang eksistensi “kisah” dan “makna” gunung
dewasa ini telah mengalami kebangkrutan. Masyarakat Jawa dan Indonesia khususnya
lebih mampu memahami letusan gunung sebagai peristiwa bencana alam yang semata
membawa nestapa. Tak lagi mampu memetik kisah positif dan indah di baliknya. Padahal
sejarah telah memberi pelajaran yang berharga. Hadirnya mitos, ritual dan laku religius
di gunung menunjukkan bahwa manusia Jawa adalah “manusia gunung”. Dibentuk dan
dibesarkan dari pemikiran lokal tentang gunung. Mengetahui telisik kebudayaan
dan sejarah gunung berarti menyadari siapa dan dari mana kita berasal. Kelud
mengingatkan kita tentang kisah Lembu Sura yang sedang membutuhkan perhatian
dan kasih sayang. Gejolak Kelud akhir-akhir ini membawa kita untuk berkontemplasi,
betapa dahsyatnya alam dalam menunjukkan eksistensi dan keberadaannya di
tengah-tengah kita. Kisah kelud kemudian juga menjelma sebagai kisah tentang
kebudayaan dan peradaban manusia di Jawa.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar