Kelud, Kisah Tentang Peradaban (dimuat di Jawapos edisi 16 Februari 2014)


Kelud, Kisah Tentang Peradaban



Gunung Kelud telah membuncahkan pasir dan batu. Lagit gelap dan jalan penuh debu. Bagi masyarakat Jawa, meletusnya gunung berapi tersebut tidaklah sekadar peristiwa alam yang alamiah. Namun berkait erat dengan ranah pemikiran lokal (local wisdom) penduduk setempat yang masih menyakini bahwa gunung kelud sedang nduwe gawe atau menggelar hajat agung. Pemikiran transenden atau nir nalar yang ditujukan pada kehadiran gunung telah bertahan selama ribuan tahun. Masyarakat Jawa mempercayai gunung sebagai pusat kosmis-mistis, dianggap mampu menghubungkan atau mendekatkan diri dengan para dewa dan arwah leluhur mereka. Tak mengherankan kemudian jika di hampir semua gunung di Jawa memiliki tempat, bangunan, bahkan peninggalan suci yang dikeramatkan. Pelbagai pemujaan diberlangsungkan. Sesaji menjadi syarat wajib. Bunga dan dupa serta kemenyan tak boleh ditiadakan. Segala persembahan itu adalah wujud “negosiasi” manusia dengan gunung atau alam untuk saling menjaga harmonisasi kehidupan. Karenanya, saat gunung itu meletus kerangka pemilikian logis-akademis kadang tak serta merta dapat begitu saja diterima. Lebih dari itu, pelbagai mitos juga menyelimuti kehadiran gunung berapi di Jawa, begitu juga dengan Gunung Kelud. Masyarakat setempat mengenal Kelud sebagai sebagai simbol dari kisah cinta tak sampai.

Mitos
Suara gemuruh dari letusan Kelud adalah ujud raungan dari Lembu Sura karena cintanya yang telah dihianati oleh Dewi Kalisuci. Konon, Prabu Jenggala Manik yang memerintah Kerajaan Kadiri (versi lain menyebutkan Brawijaya -Majapahit-) hendak mencari menantu untuk putri kesayangannya yang bernama Dewi Kalisuci. Banyak raja dan pangeran datang melamar. Hal ini membuat binggung Jenggala Manik dalam memilih salah satu di antara pelamar. Sayembarapun digelar, barang siapa yang berhasil merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat Gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak mempersunting putri dari Jenggala Manik yang berparas cantik dan molek itu. Ironisnya, tak ada satupun raja dan para pangeran yang berhasil melaksanakan tugas itu. Sebelum perlombaan ditutup, tiba-tiba datanglah Lembu Sura, si manusia berwajah lembu. Ia dengan mudahnya merentang busur dan mengangkat gong keramat yang diperlombakan.
Namun Kalisuci merasa jijik jika memiliki suami yang berwajah hewan. Ia pun mengajukan syarat tambahan agar Lembu Sura membuat sumur di puncak Gunung Kelud dalam waktu semalam. Tanpa pikir panjang, Lembu Suro mulai menggali dengan kedua tanduknya. Sang putri mulai khawatir jika tugas itu mampu diselesaikan sebelum fajar datang. Akhirnya, ia dan ayahnya memerintahkan prajurit di kerajaan untuk menimbun Lembu Sura yang sedang menggali sampai dasar gunung. Batu dan tanah dijatuhkan dari atas sumur. Dalam sekejap, Lembu Sura telah terkubur. Putri dan ayahnya senang bukan kepalang. Namun tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari dalam gunung. Bunyi itu tak lain adalah suara dari Lembu Sura yang mengutuk Dewi Kalisuci dan kerajaannya, nisacaya akan hancur oleh muntahan lahar dan abu Gunung Kelud. Masyarakat Kediri (khususnya Desa Sugih Waras) meyakini kebenaran mitos ini, dan berusaha menjaga agar Lembu Sura tidak marah. Mereka membuat ritual yang biasa dinamakan dengan Larung Sesaji di lereng Gunung Kelud setiap tanggal 23 Suro.
Kisah Lembu Sura seolah menjadi kenyataan kala menelisik bekas peninggalan Kerajaan Kadiri berupa candi dan tempat peribadatan yang terkubur oleh muntahan lahar dan abu Gunung Kelud. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bersama Universitas Gadjah Mada pada 1987 menyimpulkan, Kerajaan Kadiri (Panjalu) sering terganggu oleh letusan Gunung Kelud. Beberapa situs kerajaanpun terendam lahar dan pasir Kelud, di anataranya Lirboyo, Botolengket, Totok Kerot, Sebanen, dan Semen. Hujan abu, lahar dan kerikil juga menyebabkan banyak manusia yang terbunuh. Guna menghindari amuk Kelud, raja Kadiri lantas memerintahkan untuk dibangunnya Candi Penataran, sebagai sarana pemujaan pada dewa gunung (Acalapati). Kelud menjadi inspirasi bagi manusia Jawa untuk tak sekadar memandang gunung sebagai tumpukan tanah dan batu. Namun makhluk yang harus dirawat, dilindungi bahkan dipuja.
Kelud -dan gunung lain di Jawa- adalah tempat yang suci dan sakral bagi manusia untuk kontemplasi, bertapa mengharap wahyu dan berserah diri. Pemikiran mistis-religius terhadap gunung menjadikan manusia Jawa membuat “gunung rekaan” berujud tumpeng atau gunungan. Tumpeng adalah tumpukan nasi dan sayur hasil bumi yang ditata menyerupai gunung (mengerucut). Ia adalah ujud penghormatan orang Jawa terhadap gunung berapi. Dalam kisah-kisah pewayangan, gunung menjadi tempat para kesatria mendapatkan wahyu berupa ilmu kanuragan dan senjata sakti. Lihatlah Arjuna yang mendapat panah Pasopati di Gunung Indrakila –lakon Arjuna Wiwaha-. Gunung adalah tempat para raja menyepi dan berserah diri kala paripurna dari tugasnya memimpin kerajaan. Bahkan makam raja dan penguasa Jawa senantiasa berlokasi di Gunung (Giri: Jawa). Lihatkan pemakaman keluarga Presiden Soeharto di Giribangun dan raja-raja Mataram di Imogiri. Dalam kisah wayang kulit, pertunjukan senantiasa dibuka dan ditutup dengan kehadiran “Gunungan”. Di balik gunungan wayang itu berlukiskan air dan api. Menjelaskan gunung adalah pusat kelahiran (sumber air) namun juga pusat kematian (sumber api). Gunung menjadi lambang dari awal dan akhir sebuah kehidupan.

Muntah
Sesaji dan persembahan untuk gunung bukan berarti manusia telah menyembah gunung. Ritual di gunung membawa pesan bahwa penghormatan untuk gunung mutlak diperlukan. Penghormatan itu tak lain adalah dengan merawat, tak menebang hutan dan kayu di lerengnya. Letusan Kelud kemudian tak harus dimaknai sebagai sebuah musibah. Namun ujud rotasi kehidupan yang memberi babak baru dalam bentuk kesuburan bumi. Semburan lahar dan debu ibarat jamu, pahit di awal namun manis di akhir. Sesudahnya, tanah menjadi lebih gembur, udara menjadi lebih bersih dan langit menjadi lebih biru. Karena itu, letusan Kelud adalah pesta alam yang patut untuk dirayakan. Hal ini juga mengilhami masyarakat di Magelang -Jawa Tengah- yang mendiami lereng-lereng gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh) mengekspresikan kegairahan mereka tentang gunung lewat seni dalam sebuah festival tahunan yang dinamakan Festival Lima Gunung. Kelud menjadi salah satu dari rangkaian cincin gunung berapi (ring of fire) di Jawa. Berusaha menarasikan bahwa “kehidupan kita adalah kehidupan gunung”. Acuh terhadap gunung berarti acuh terhadap kehidupan.
Nukilan tentang eksistensi “kisah” dan “makna” gunung dewasa ini telah mengalami kebangkrutan. Masyarakat Jawa dan Indonesia khususnya lebih mampu memahami letusan gunung sebagai peristiwa bencana alam yang semata membawa nestapa. Tak lagi mampu memetik kisah positif dan indah di baliknya. Padahal sejarah telah memberi pelajaran yang berharga. Hadirnya mitos, ritual dan laku religius di gunung menunjukkan bahwa manusia Jawa adalah “manusia gunung”. Dibentuk dan dibesarkan dari pemikiran lokal tentang gunung. Mengetahui telisik kebudayaan dan sejarah gunung berarti menyadari siapa dan dari mana kita berasal. Kelud mengingatkan kita tentang kisah Lembu Sura yang sedang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Gejolak Kelud akhir-akhir ini membawa kita untuk berkontemplasi, betapa dahsyatnya alam dalam menunjukkan eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah kita. Kisah kelud kemudian juga menjelma sebagai kisah tentang kebudayaan dan peradaban manusia di Jawa.   
Aris Setiawan
Etnomusikolog Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut