Ludruk Membuku
Ludruk, kesenian khas Jawa Timur itu telah
banyak terbekukan lewat teks berupa buku. Kisah-kisah lakon ludruk selama ini terlihat
tak paripurna dalam kisaran dongeng dan mitos. Namun telisik tentang ludruk
justru belum mampu menjadi daya tarik tersendiri sebagai fondasi pembentuk
identitas wajah kebudayaan –kesenian tradisi- di Jawa Timur masa kini. Kita
patut berbangga kala Eko Edi Susanto, pemilik Ludruk Karya Budaya Mojokerto,
mempelopori dengan melukiskan kisah ludruknya lewat buku di tahun 2013 lalu.
Buku yang berjudul Ludruk Karya Budaya
Mbeber Urip itu berisi telisik perjalanan Ludruk Karya Budaya dari generasi
ke generasi. Menuliskan sejarah ludruk dari kacamata “orang dalam” memang
sangat jarang terjadi. Hasilnyapun dapat ditebak, kajian yang dilakukan Edi
lebih komprehensif, realistis, gamblang dan dapat dipertanggungjawabkan. Ludruk
Karya Budaya menjadi cendela dan tolok ukur objektif dalam melihat tantangan
dan problematika dunia ludruk di Jawa
Timur mutakhir.
Sebelum Edi, nukilan tentang ludruk
berpendar dan berserakan dalam banyak kajian. Henri Suprianto (1992) menuliskan
tentang lakon-lakon ludruk yang cukup terkenal, seperti Sakerah dan Sarip
Tambak Yoso. Sunaryo (1997) mendudukkan pertunjukan ludruk dalam analisis
wacana. Maryeni (2002) dalam disertasinya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta
mengambil bahasa ludruk sebagai subjek penelitian. Disebutkan bahwa gaya bahasa
ludruk mencerminkan kelas sosial masyarakat akar rumput yang sederhana namun tegas
dan blak-blakan. Kasiyanto Kasemin (1999) memandang ludruk sebagai teater
sosial di mana adegan dan tragedi hidup sehari-hari dapat direka ulang secara
bebas di atas panggung pertunjukan ludruk. Dengan demikian, Kasemin memandang
bahwa panggung ludruk adalah representasi kehidupan sosial masyarakat Jawa
Timur.
Tak hanya berhenti dalam takaran
kontekstual, persoalan musik dalam pertunjukan ludrukpun menjadi hal yang
seolah tiada tuntas diperdebatkan. Sutowo (1994), Luckman Siswo Bintoro (1999),
Edi Susetyo (2002) dan Joko Santoso (2007) megkaji garap kidungan jula-juli ludrukan
versi Kartolo untuk melengkapi gelar kesarjanaan mereka dari berbagai sudut
pandang. Kartolo dianggap sebagai maestro yang mampu memberi pengaruh dan warna
baru ludruk di Jawa Timur. Kidungannya (vokal) eksotis, kisaran nadanya unik
dan tipikal, tema dan topiknya merakyat. Kartolo menyulap dirinya menjadi subjek
kajian di banyak skripsi dan tesis. Kartolo mendekonstruksi gaya ludruk di Jawa
Timur, dagelan tak semata hanya berisi humor dan canda, namun juga berbalut
cerita yang penuh dengan muatan pesan kehidupan. Kartolo kemudian juga
menyampaikannya lewat lantunan vokal kidungan. Ia berjaya di era 80-an kala
kaset (analog) rekamannya laris manis di pasaran.
Awal mula menuliskan ludruk justru
diawali oleh kaum non-pribumi. Mereka tertarik melihat ludruk, baik sebagai
misionaris, penjajah maupun murni peneliti. James L Peacock (1967)
mendeskripsikan pertunjukan dan respon masyarakat Surabaya terhadap pertunjukan
ludruk. Kita bisa melihat potret kehidupan masyarakat Surabaya dari tulisan
Peacock yang seolah tak terpisahkan dari ludruk. Menjadi sajian pertunjukan
unggulan, ditunggu-tunggu, penuh sesak oleh penonton, di samping panggung
bertaburan hiburan laksana pasar malam. Matthew Isaac Cohen lewat bukunya Komedie Steamboel 1891-1903 (2006),
ludruk pada dasarnya adalah komedi yang berpentas keliling atau tobong. Tak ada
pernak-pernik pakaian glamour yang dikenakan oleh para pemainnya. Semua
berpenampilan sederhana, berbeda dengan wayang wong di Jawa Tengah. Pertunjukan
ludruk kemudian menghapus sekat antara penonton dan pemain, tak ada jarak.
Karena persoalan itulah Carl Hefner (1994) memandang ludruk sebagai teater
rakyat yang tak dapat tergantikan. Lakok-lakon ludruk tidak menjadi beku,
setiap saat dapat berubah menuruti apa yang sedang ramai diperbincangkan.
Jangan heran kemudian jika melihat judul lakon ludruk tak jauh beda dengan
sinetron yang ada di televisi, cinta segi
tiga, ratapan anak tiri dan tukang
bubur naik haji adalah salah satunya.
Ludruk menjadi kesenian komunal, milik
semua lapisan. Ia tak terikat oleh hukum-hukum tradisi –pakem- sebagaimana
kesenian kratonis. Begitu cair hingga pada masa tertentu kesenian ini
dimanfaatkan sebagai corong propaganda politik. Era Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di tahun 50-60an adalah puncaknya.
Soedarsono (2002) menjelaskan terdapat 30 grup ludruk dihidupi oleh PKI dengan
nama “Lembaga Ludruk” yang bermarkas di Surabaya. Sementara di Jawa Tengah
terdapat Badan Kethoprak Indonesia (BAKOKSI) yang juga difasilitasi oleh PKI.
Di Jawa Timur sendiri terdapat dua ludruk yang cukup terkenal kala itu yakni
Ludruk Marhaen dibawah PKI dan Ludruk Tresno Enggal di bawah PNI. Ludruk
menjadi katalisator yang menyampaikan visi-misi politik partai pada publik. Bahkan
saat era penjajahan Jepang, ludruk juga menjadi ajang perjuangan dalam
menyampaikan kritik pada penjajah. Cak Gondo Durasim, seniman ludruk,
melantunkan kidungan bakupan omahe dara,
melok nipon awak tambah sara mengakibatkan dirinya harus ditangkap penjajah
Jepang dan dipenjarakan.
Pemain ludruk terbilang unik, karena
semua diperankan oleh laki-laki. Dengan demikian, si pemain laki-laki juga
harus berias layaknya wanita untuk memerankan sosok wanita. Suyanto lewat
tulisannya Ludruk dan Tranvesty
(1995) menjelaskan peran laki-laki feminin menambah daya kelucuan tersendiri
saat pentas ludruk digelar. Selain itu juga menghindari prilaku anarkis
penonton yang kurang sopan pada pemain (jika diperankan oleh wanita
sesungguhnya). Barbara Hetley menulis Gender
Ideology in Java (1983), beberapa peran wanita yang dibawakan oleh
laki-laki berpengaruh dalam realitas kehidupan nyata. Akibatnya, banyak
laki-laki yang begitu feminin, baik di atas panggug ludruk maupun tidak. Hal
yang kemudian kita sebut sebagai waria atau bencong. Kini banyak ludruk di Jawa
Timur yang memasukkan wanita sebagai pemain, menggusur peran “laki-laki
feminin”. Sementara salah satu ludruk yang hingga kini masih mempertahankan laki-laki
sebagai keseluruhan pemain adalah Ludruk Karya Budaya di Mojokerto.
Ludruk telah mewarnai kebudayaan di Jawa
Timur. Sayang, kesenian itu kini telah surut pamor, tak lagi digemari. Kalah
oleh sajian hiburan yang setiap saat berlalu-lalang di layar televisi kita. Buku-buku
yang bertebaran tentang ludruk tersebut kemudian menjadi penting sebagai
“bank-data”. Diceritakan dan dibacakan kembali pada anak cucu kala ludruk telah
benar-benar mati. Atau justru tak sekedar dibaca, namun juga menjadi satir,
betapa ludruk telah memberi arti penting dalam jejak peradaban kita.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar