Ludruk Membuku (dimuat di Radar Surabaya Jawa Pos, edisi 23 Februari 2014)



Ludruk Membuku


Ludruk, kesenian khas Jawa Timur itu telah banyak terbekukan lewat teks berupa buku. Kisah-kisah lakon ludruk selama ini terlihat tak paripurna dalam kisaran dongeng dan mitos. Namun telisik tentang ludruk justru belum mampu menjadi daya tarik tersendiri sebagai fondasi pembentuk identitas wajah kebudayaan –kesenian tradisi- di Jawa Timur masa kini. Kita patut berbangga kala Eko Edi Susanto, pemilik Ludruk Karya Budaya Mojokerto, mempelopori dengan melukiskan kisah ludruknya lewat buku di tahun 2013 lalu. Buku yang berjudul Ludruk Karya Budaya Mbeber Urip itu berisi telisik perjalanan Ludruk Karya Budaya dari generasi ke generasi. Menuliskan sejarah ludruk dari kacamata “orang dalam” memang sangat jarang terjadi. Hasilnyapun dapat ditebak, kajian yang dilakukan Edi lebih komprehensif, realistis, gamblang dan dapat dipertanggungjawabkan. Ludruk Karya Budaya menjadi cendela dan tolok ukur objektif dalam melihat tantangan dan problematika dunia ludruk  di Jawa Timur mutakhir.
Sebelum Edi, nukilan tentang ludruk berpendar dan berserakan dalam banyak kajian. Henri Suprianto (1992) menuliskan tentang lakon-lakon ludruk yang cukup terkenal, seperti Sakerah dan Sarip Tambak Yoso. Sunaryo (1997) mendudukkan pertunjukan ludruk dalam analisis wacana. Maryeni (2002) dalam disertasinya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta mengambil bahasa ludruk sebagai subjek penelitian. Disebutkan bahwa gaya bahasa ludruk mencerminkan kelas sosial masyarakat akar rumput yang sederhana namun tegas dan blak-blakan. Kasiyanto Kasemin (1999) memandang ludruk sebagai teater sosial di mana adegan dan tragedi hidup sehari-hari dapat direka ulang secara bebas di atas panggung pertunjukan ludruk. Dengan demikian, Kasemin memandang bahwa panggung ludruk adalah representasi kehidupan sosial masyarakat Jawa Timur.
Tak hanya berhenti dalam takaran kontekstual, persoalan musik dalam pertunjukan ludrukpun menjadi hal yang seolah tiada tuntas diperdebatkan. Sutowo (1994), Luckman Siswo Bintoro (1999), Edi Susetyo (2002) dan Joko Santoso (2007) megkaji garap kidungan jula-juli ludrukan versi Kartolo untuk melengkapi gelar kesarjanaan mereka dari berbagai sudut pandang. Kartolo dianggap sebagai maestro yang mampu memberi pengaruh dan warna baru ludruk di Jawa Timur. Kidungannya (vokal) eksotis, kisaran nadanya unik dan tipikal, tema dan topiknya merakyat. Kartolo menyulap dirinya menjadi subjek kajian di banyak skripsi dan tesis. Kartolo mendekonstruksi gaya ludruk di Jawa Timur, dagelan tak semata hanya berisi humor dan canda, namun juga berbalut cerita yang penuh dengan muatan pesan kehidupan. Kartolo kemudian juga menyampaikannya lewat lantunan vokal kidungan. Ia berjaya di era 80-an kala kaset (analog) rekamannya laris manis di pasaran.
Awal mula menuliskan ludruk justru diawali oleh kaum non-pribumi. Mereka tertarik melihat ludruk, baik sebagai misionaris, penjajah maupun murni peneliti. James L Peacock (1967) mendeskripsikan pertunjukan dan respon masyarakat Surabaya terhadap pertunjukan ludruk. Kita bisa melihat potret kehidupan masyarakat Surabaya dari tulisan Peacock yang seolah tak terpisahkan dari ludruk. Menjadi sajian pertunjukan unggulan, ditunggu-tunggu, penuh sesak oleh penonton, di samping panggung bertaburan hiburan laksana pasar malam. Matthew Isaac Cohen lewat bukunya Komedie Steamboel 1891-1903 (2006), ludruk pada dasarnya adalah komedi yang berpentas keliling atau tobong. Tak ada pernak-pernik pakaian glamour yang dikenakan oleh para pemainnya. Semua berpenampilan sederhana, berbeda dengan wayang wong di Jawa Tengah. Pertunjukan ludruk kemudian menghapus sekat antara penonton dan pemain, tak ada jarak. Karena persoalan itulah Carl Hefner (1994) memandang ludruk sebagai teater rakyat yang tak dapat tergantikan. Lakok-lakon ludruk tidak menjadi beku, setiap saat dapat berubah menuruti apa yang sedang ramai diperbincangkan. Jangan heran kemudian jika melihat judul lakon ludruk tak jauh beda dengan sinetron yang ada di televisi, cinta segi tiga, ratapan anak tiri dan tukang bubur naik haji adalah salah satunya.
Ludruk menjadi kesenian komunal, milik semua lapisan. Ia tak terikat oleh hukum-hukum tradisi –pakem- sebagaimana kesenian kratonis. Begitu cair hingga pada masa tertentu kesenian ini dimanfaatkan sebagai corong propaganda politik. Era Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di tahun 50-60an adalah puncaknya. Soedarsono (2002) menjelaskan terdapat 30 grup ludruk dihidupi oleh PKI dengan nama “Lembaga Ludruk” yang bermarkas di Surabaya. Sementara di Jawa Tengah terdapat Badan Kethoprak Indonesia (BAKOKSI) yang juga difasilitasi oleh PKI. Di Jawa Timur sendiri terdapat dua ludruk yang cukup terkenal kala itu yakni Ludruk Marhaen dibawah PKI dan Ludruk Tresno Enggal di bawah PNI. Ludruk menjadi katalisator yang menyampaikan visi-misi politik partai pada publik. Bahkan saat era penjajahan Jepang, ludruk juga menjadi ajang perjuangan dalam menyampaikan kritik pada penjajah. Cak Gondo Durasim, seniman ludruk, melantunkan kidungan bakupan omahe dara, melok nipon awak tambah sara mengakibatkan dirinya harus ditangkap penjajah Jepang dan dipenjarakan.
Pemain ludruk terbilang unik, karena semua diperankan oleh laki-laki. Dengan demikian, si pemain laki-laki juga harus berias layaknya wanita untuk memerankan sosok wanita. Suyanto lewat tulisannya Ludruk dan Tranvesty (1995) menjelaskan peran laki-laki feminin menambah daya kelucuan tersendiri saat pentas ludruk digelar. Selain itu juga menghindari prilaku anarkis penonton yang kurang sopan pada pemain (jika diperankan oleh wanita sesungguhnya). Barbara Hetley menulis Gender Ideology in Java (1983), beberapa peran wanita yang dibawakan oleh laki-laki berpengaruh dalam realitas kehidupan nyata. Akibatnya, banyak laki-laki yang begitu feminin, baik di atas panggug ludruk maupun tidak. Hal yang kemudian kita sebut sebagai waria atau bencong. Kini banyak ludruk di Jawa Timur yang memasukkan wanita sebagai pemain, menggusur peran “laki-laki feminin”. Sementara salah satu ludruk yang hingga kini masih mempertahankan laki-laki sebagai keseluruhan pemain adalah Ludruk Karya Budaya di Mojokerto.
Ludruk telah mewarnai kebudayaan di Jawa Timur. Sayang, kesenian itu kini telah surut pamor, tak lagi digemari. Kalah oleh sajian hiburan yang setiap saat berlalu-lalang di layar televisi kita. Buku-buku yang bertebaran tentang ludruk tersebut kemudian menjadi penting sebagai “bank-data”. Diceritakan dan dibacakan kembali pada anak cucu kala ludruk telah benar-benar mati. Atau justru tak sekedar dibaca, namun juga menjadi satir, betapa ludruk telah memberi arti penting dalam jejak peradaban kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
                     







Tidak ada komentar:

Pengikut